Panggilan Itu Bernama Umroh

Tengah malam itu saya berkali-kali menatap Ka’bah dengan tanpa memikirkan apapun. Saya hanya mengingat kebesaran Allah Subhanahu Wataala yang mampu membawa saya menuju tanah haram itu. Betapa Ia baik memberikan kesempatan bagi saya yang masih banyak dosa ini diterima dengan layak disana. Betapa perjuangan untuk meluluhkan hati orangtua, terutama Mama, untuk merelakan anak perempuannya lagi berangkat ke luar negeri tanpa mahram. Betapa tidak pelak saya bersyukur atas semuanya.

 
Tulisan pertama ini hanya mengupas segelintir kejadian sebelum keberangkatan. Teman-teman, ini bukan untuk pamer, riya, sombong, atau apalah yang mungkin sempat terlintas di benak kalian. Tulisan ini tidak lain hanya ingin berbagi kepada teman-teman yang mungkin membutuhkan informasi sebelum berangkat, atau juga ingin sekedar membaca tulisan saya yang sudah lama tidak menghiasi blog ini. Sekiranya ada manfaat yang bisa diambil, saya akan bersyukur sekali, karena tujuan hidup saya ya itu, menjadi manusia yang bermanfaat bagi banyak orang. Saya mohon maaf jika dalam penyampaian ini ada yang kurang berkenan, karena sejatinya pun saya banyak kekurangan. InsyaAllah tulisan blog kedepannya akan dibagikan per tahap tentang perjalanan yang saya rasakan bulan lalu.

 

 

Saya Dipanggil, Segera!

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umroh karena Allah…” (QS. Al-baqarah: 196)

 
Sebenarnya ajakan untuk berumroh sudah terlontar dari orangtua saya sejak November 2014. Kala itu Mama dan Papa akan berangkat umroh pada Desember 2014. Hanya saja saat itu saya merasa harus banyak memperbaiki diri dan berkeinginan untuk berangkat kesana dengan uang sendiri (saat itu uang saya belum cukup dan akan banyak menggunakan uang orangtua daripada uang saya sendiri). Saya bilang ke Mama bahwa saya akan berangkat jika waktunya telah tepat dan murni menggunakan uang saya sendiri. Dalam hati saya berpikir, kapankah waktu yang tepat itu?

 
2017. Ya panggilan itu hadir di awal 2017. Saya merasa saya harus kesana untuk mengadukan semuanya, untuk bercerita kepadaNya, untuk meminta pada Sang Pencipta jagad raya ini, untuk bermuhasabah di hadapan Ka’bah langsung, dan untuk-untuk lainnya. Hanya saja saat itu kendalanya adalah izin belum didapatkan dari orangtua, terutama Mama. Beliau khawatir saya ke tanah yang nggak biasa itu sendirian tanpa mahram, sedangkan orangtua juga sudah umroh dan haji, jadi belum dulu untuk berangkat kesana. Saya paham, saya mafhum, saya nurut.

 
Kemudian pertengahan menuju akhir 2017 saya ‘merengek’ lagi ke Mama. Kali ini khusus ke Mama, karena Papa sejatinya telah merelakan saya berangkat sendiri. Saya bilang ke mama bahwa keberangkatan ini nggak sama seperti saya ke Amerika Serikat dulu. Ini bukan untuk jalan-jalan, tapi untuk beribadah. Saya ingin Mama merestui harapan saya. Namun, restu itu belum juga didapatkan.

 
Hingga saya legowo dan nggak terus-terusan meminta permohonan ke Mama, saya pun berusaha untuk “Ya sudahlah.” Dalam hati mikir, kok ya nggak boleh, kan disana bakal dengan bapak ibu lainnya juga. Apa Mama takut anaknya ini diculik orang Arab karena terlalu hobi jalan-jalan sendirian, apa mungkin Mama khawatir kalo saya bakal hilang disana, dan kebingungan lainnya yang saya simpan sendiri. Di sisi lain, keberangkatan saya semakin kuat karena niat dan uang tabungan yang telah mencukupi (uangnya terkumpul dari tabungan bertahun-tahun dengan Mama dan disokong uang beasiswa S2). Kedua hal ini sudah di tangan, namun Mama masih diam nggak bergeming.

 
Pun 2018 berganti, menuju awal Februari. Di bulan itu saya mengalami apa yang orang bilang saat di SPBU: “Mulai dari nol ya.” Saya merasa saya harus mulai dari nol. Saya merasa saya harus memohon ampun atas segala keburukan, kekhilafan, dosa, dan kejelekan yang pernah ada pada diri saya, yang mungkin secara sengaja atau nggak sengaja saya lakukan, baik itu kepada diri sendiri atau orang lain. Saya meyakini pula Allah Subhanahu Wataala insyaAllah akan mengampuni semua itu kepada saya. Saya juga berharap rezeki dariNya untuk saya akan diberikan pada tahun ini. Rezeki yang saya rasa hidup saya belum bermakna, saya belum membahagiakan orangtua, dan saya harus sukses bersama orang yang saya yakini akan membimbing saya menuju surga jannah. Terlebih lagi sebuah kejadian membuat saya akhirnya terus berpikir bahwa saya harus ke Mekkah. Yang saya yakini adalah Allah Subhanahu Wataala adalah Sang Pemberi Keputusan Terbaik. Apapun keputusanNya, saya siap. Maka bermodal kedua hal itulah, akhirnya Mama memberikan izin kepada saya. Dan pada tanggal 9 Februari 2018, saya mantap melangkahkan kaki ke kantor bimbingan perjalanan haji dan umroh, Chairul Umam dengan Papa saya.

 
Teman, perjuangan ini belum selesai, tidak hanya mendaftar dan menyerahkan uang 1 bulan sebelum keberangkatan saja, namun juga selama 1 bulan itu saya dituntut harus bisa mengatur waktu dengan baik. Membaginya dengan seefisien mungkin, termasuk harus meluangkan waktu dari Jum’at hingga Minggu untuk mengikuti manasik umroh. Manasik umroh di Chairul Umam dilaksanakan selama 3 kali dalam 1 minggu. Pertama hari Jum’at di kantor Chairul Umam di Beringin, disana hadir ustadz yang memberikan tausiyah tentang persiapan keberangkatan haji dan umroh. Hari kedua pada hari Sabtu bertempat di Masjid Sukarejo di TheHok, dengan tema yang sama di hari pertama. Hari ketiga adalah hari Minggu di Asrama Haji Kotabaru, dimana saya melaksanakan praktek dari teori yang sudah didapatkan selama 2 hari sebelumnya.

 
Selama 1 bulan itulah saya bertemu dengan bapak dan ibu, ya sebuah perkenalan yang nggak biasa. Karena selama ini biasanya kenal dengan anak muda, nah sekarang harus bisa beradaptasi dengan orang yang lebih dewasa daripada saya. Bermodalkan salam, senyum, sapa, dan bertanya “Ibu berangkat haji atau umroh?”, maka perbincangan terus mengalir. Kerap saya sedih saat ditanya berangkat dengan siapa, karena memang hanya saya sendiri yang berangkat. Dan serentetan kalimat tanya berikutnya yang saya jawab dengan senyum.

 
Bukan hanya perkenalan dengan sesama jamaah umroh yang harus saya lakukan, saya juga harus menyiapkan fisik yang prima dan perlengkapan yang nggak boleh tinggal sepeserpun dari Jambi. Saya jadi makin intens olahraga setiap pagi atau sore dengan cara jogging di sekitar area RSJ dekat komplek rumah saya. Saya mendorong diri untuk berlari (meski dengan terengah-engah) dalam waktu dan jarak tertentu agar tubuh saya terbiasa untuk berjalan jauh. Saya juga berusaha untuk mengatur pola makan yang nggak hanya sekedar tekwan, bakso, soto, dan teman-temannya, namun juga mengikuti anjuran dokter untuk makan buah dan istirahat lebih awal (nggak bergadang). Di sisi lain saya juga mendapatkan selembar kertas tentang barang-barang apa saja yang harus saya bawa, saya juga membeli perlengkapan yang sekiranya Mama nggak ada (karena sebagian besar barang-barang umroh saya pakai dari milik Mama). Saya membuat daftar barang yang akan dibeli dan memastikan sudah ada di koper 1 minggu sebelum berangkat. Tambahan lagi, mendekati minggu sebelum berangkat saya harus sementara off mengajar dan menyelesaikan tugas kuliah. Lumayan hectic sih, karena meski saya sudah off mengajar, tetap saja tugas kuliah dituntut harus selesai sebelum saya berangkat, agar saya tenang beribadah di Mekkah. Dan satu hal lagi, setiap malam nggak henti-hentinya saya diingatkan dari A sampai Z mengenai apa yang harus dan tidak harus saya lakukan di Mekkah dan Madinah oleh orangtua saya, pun di sisi lain orang-orang terdekat juga mendukung dan memberikan wejangan. Alhamdulillah bekal ini lumayan membuat saya siap berangkat.

 
Lantas hari itu tiba. Hari dimana saya harus berangkat sendiri, yang seumur hidup saya bahkan nggak pernah menangis sesenggukan seperti kemarin. Hari dimana saya telah menyelesaikan perlengkapan yang akan saya bawa, hari dimana saya harus melaksanakan sholat safar pertama kali di hidup saya, hari dimana hati saya terombang-ambing dan bertanya: “Apakah saya diterima dengan baik di tanah haram?”

 
Hingga pagi di tanggal 14 Maret 2018, orangtua dan kedua adik mengantar saya ke bandara. Memakai jilbab Chairul Umam berwarna kuning, baju gamis putih dilapisi baju batik Chairul Umam, dan segenap doa dan restu dari mereka, hingga air mata yang keluar saat saya harus masuk ruang pemeriksaan bandara Sultan Thaha Jambi sambil memegang tisu untuk menyeka air mata, dan berkata kepada Mama, “Ma, doain Ayuk disano yo.”

 

 

Hanya itu, hanya itu yang saya ucapkan kepada Mama, sembari mencium tangan Mama dan Papa, serta kedua adik laki-laki. Langkah kaki saya

Traveling with Garuda Indonesia

Foto di pesawat sebelum take off dari Jakarta ke Jeddah

mantap. Ya, restu itu telah didapatkan. Doa-doa telah dikabulkan untuk tahap pertama keberangkatan ini. Alhamdulillah, panggilan bernama umroh itu akhirnya tiba. (bersambung)

Irama Musik Pagi Hari

IMG-20150913-WA0032

Mendengar alunan musik Sungai Detroit di Detroit, Michigan, USA, sembari menatap Kanada di depan saya.

Dua hari ini saya libur (yaayy!). Dua hari ini pula saya punya banyak waktu istirahat di rumah dan bercengkrama dengan keluarga. Dua hari ini rasanya begitu damai, tidak melakukan aktivitas sehari-hari di tempat kerja dan tidak melakukan aktivitas di luar rumah. Dua hari ini pula energi saya kembali, setelah runtutan kehidupan yang dipastikan selalu sama untuk dilewati.

Pagi ini saya terbangun. Mendengar kicauan burung bersuara merdu. Saya langsung meraih laptop ini untuk menulis, sembari mendengar lagu Tak Perlu Kelilling Dunia. Saya meraih es teh sis tadi malam. Masih segar untuk menyambut hari libur kedua ini. Ngomong-ngomong soal irama musik pagi hari, saya jadi terkenang akan suara-suara merdu nan menarik yang saya dengar di beberapa tempat.

Pertama dan yang utama adalah di rumah saya di Jambi. Kicauan burung di sekitar rumah yang sudah sedikit pohonnya tentu menjadi pendengaran langka. Tapi berkali-kali saya mendengarnya, meski tidak terlalu lama ia berkicau. Ketika mendengar kicauan ini, saya terdiam dan memejamkan mata. Akankah hari esok saya masih diberi kesempatan untuk mendengarnya?

Irama musik pagi hari kedua saya dengar saat di Rote dulu. Kali ini irama musiknya lebih komplit. Tak hanya bunyi burung saja, namun juga hewan-hewan lainnya. Ditambah lagi kadang pada pagi hari lagu-lagu beat pop dan lagu daerah Timur turut hadir berdendang. Semuanya bersahut-sahutan, memanggil kami yang masih terlelap dalam buaian. Kadang ibu angkat saya, Ibu Femi, sempat merisaukan musik yang diputar teramat kencang, saya juga ikut-ikutan mengeluh, namun akhirnya malah jadi bernyanyi bersama haha.. Oya irama musik di Rote juga terdengar indah jika kita berdiri di tepi pantai. Debur ombak di laut memecah kesunyian, membuat saya rindu akan hal itu.

Lain halnya di rumah keluarga mama dan papa di Palembang. Suara musik yang berasal dari lalu lalangnya kendaraan mendominasi, khususnya jika di rumah keluarga mama di Kertapati (karena rumah akas dan ombai terletak di pinggir jalan). Dulu kata orangtua saya, anaknya ini hobi banget bikin orang jantungan, mendadak sudah berdiri di tepi jalan yang tepat berada di depan rumah akas 😀

Selain di kota, rumah keluarga papa berada di dusun kecil, dusun yang kata orang Komering “Alangkah kerasnyo nian wong yang tinggal disano.” Campang Tiga menjadi daerah dengan irama musik kedua di Palembang. Saya masih ingat dulu ketika bermain di sungai depan rumah almarhumah ombai, sorak sorai hewan dan aliran sungai berbaur menjadi satu. Bersama sepupu kami bisa berjam-jam disana.

Well, diantara sekian provinsi dan kota yang saya jelajahi saat menjadi mahasiswa, irama musik pagi hari di Dieng adalah favorit saya. Tidak hanya mendengar kicauan burung dan hewan lain, tapi juga hembusan nafas yang terlihat seperti asap menjadi irama unik. Bahkan beberapa kali menghembuskan nafas hanya untuk mendengar dinginnya udara yang terlontar membentuk asap. Ditambah lagi awan-awan cantik Dieng yang membuat kita pengen kembali lagi kesana (ya, saya pengen banget kesana lagi!). Tiba-tiba duo sunrise pun muncul, golden dan silver. Makin mempesona!

Terakhir, irama musik yang tak akan saya lupakan pula, ketika saya berada di Detroit, Michigan, USA, September lalu. Pagi itu, saya keluar hotel bersama peserta IVLP. Tak dinyana, udara pagi yang demikian segar itu mengharuskan saya memakai sarung tangan dan jaket. Yup, udara dingin melanda! Namun saya memaksakan tubuh untuk menikmati udara pagi hari. Saya berjalan menuju Detroit River di belakang kantor General Motors, menyusuri sungai dan menatap Kanada dari negeri seberang ini. Disini saya mendengar irama musik pagi hari yang berbeda dengan negara saya, riuhnya suara para bule, deburan air sungai yang jernih, dan tertibnya lalu lintas.

Layaknya manusia, ia justru butuh untuk berkicau. Dan itu, alangkah lebih tepatnya jika ia berkicau hanya kepada Sang Maha Besar, Allah Azza Wajalla. Saya menganalogikan kicauan ini sama seperti musik pagi hari yang saya dengar di beberapa tempat di atas. Kicauan manusia itu seperti musik. Iramanya kadang rendah, dan tak jarang tinggi. Saya memang jarang menikmati pagi hari yang tidak tergesa-gesa, tapi saya tentu tak akan melewatkan momen kicauan saya bersama Allah Swt setiap harinya. Ayo jangan kalah dengan irama musik pagi hari ini ya!

Cerita Dibalik Perjalanan ke Amerika #1

New Journey Will Come
Saya mengemasi barang-barang di koper dan tas ransel. Saya memastikan tak ada satupun barang yang tertinggal. Pakaian, makanan, peralatan mandi dan berhias, peralatan sholat, oleh-oleh, dan makanan, semuanya ‘dipaksakan’ masuk ke dalam koper yang kupinjam dari papa. Sambil melirik pemintai waktu di arloji yang sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB, saya merasakan waktu berjalan lambat. Tak sabar ingin memulai perjalanan baru dalam hidup saya, sesuatu yang telah lama ditunggu.

 

Dikepung Asap
Pagi itu saya merasakan semangat yang mengalir dalam nadi melesat hingga 100%. Bangun pagi tak pernah semenarik ini, pikir saya. Semangat pagi yang saya rasakan dipompa oleh impian yang perlahan-lahan semakin mendekat. Pagi itu saya menyiapkan diri untuk memulai petualangan baru. Saya mengecek kembali perlengkapan yang akan dibawa. Tak lupa pula mengingatkan orangtua untuk mengantarkan saya ke bandara pukul 09.30 WIB.
Pesawat ternama di Indonesia itu akan mengantarkan saya ke provinsi dengan magis yang kuat. hedonisme Jakarta menanti saya pada hari itu juga. Jadwal penerbangan dengan maskapai yang tergabung dalam Sky Team itu diprediksikan akan berangkat dari Jambi pukul 11.00. Itu artinya saya sudah harus berada di Bandara Sultan Thaha Syaifuddin maksimal 30 menit sebelum keberangkatan. Tiket itu saya simpan di bagian belakang ransel, karena akan sangat mudah diambil ketika dibutuhkan.
Saya mengedarkan pandangan ke luar jendela kamar dan teras samping rumah, yang keduanya terletak pada lantai dua. Hati ini risau. Hati ini bimbang. Mungkinkah Allah Swt menundanya lagi kali ini? Mungkinkah Allah Swt sebenarnya tidak merestui saya ke negara super power itu? Mungkinkah kali ini saya harus merelakan lagi? Akankah saya harus mengubur impian itu kembali? Seribu prasangka berkecamuk dalam pikiran saya. Seiring itu pula, status update dari beberapa teman di BBM seolah-olah melumpuhkan harapan, “Asap tebal di Jambi membuat banyak penerbangan dibatalkan.”

 

Keputusan Dalam Situasi Tersulit
Dari 10 skala kepemimpinan yang saya ketahui saat menjadi bagian dari Pengajar Muda, salah satunya ialah decision making yang membuat saya harus belajar lebih banyak. Belajar mengaplikasikan pengambilan keputusan. Ya, siapapun pasti tak ingin di-php-in, terluntang-lantung di bandara tanpa kepastian. Berharap pesawat akan mendarat pukul 11.00, dan membawa saya beserta penumpang lainnya ke Soekarno-Hatta. Namun harapan itu sirna seketika setelah 4 jam menunggu, sebuah pengumuman diberitakan, “Garuda membatalkan penerbangan siang dan sore.”
Dengan handphone di tangan, secepat kilat saya menghubungi beberapa teman-teman di kontak BBM, yang saya pikir tahu jadwal keberangkatan mobil travel ke Palembang. Ya, saya memutuskan ke Palembang! Awalnya saya masih berharap Garuda Indonesia akan mendarat pada sore hari di Jambi, namun dikarenakan pengumuman itu, saya semakin tidak yakin pesawat sekelas Garuda akan mendarat di Jambi pada malam hari. BBM saya banyak dibalas teman-teman, namun kebanyakan menginformasikan mobil travel yang penumpangnya telah penuh ketika papa menghubugi terlebih dahulu.
Saya duduk di kursi tunggu penumpang sambil tetap fokus pada keajaiban orang-orang yang mungkin menginformasikan saya mobil travel yang masih bisa dipesan untuk berangkat pukul 19.00. Tiba-tiba saya melihat BBM seorang teman, Windy, yang menginformasikan travel di dekat Simpang Kawat berikut dengan kontaknya. Secepat mungkin saya menghubungi nomor tersebut, dan betapa bahagianya saya saat orang di seberang telepon mengatakan bahwa kursi masih ada!
Situasi sulit itu hampir saja membuat saya melelehkan air mata. Meski mata sudah berkaca-kaca dan menatap ke langit-langit bandara, pikiran saya melayang ke beberapa tahun silam. Kerasnya perjuangan meraih mimpi mengeraskan tekad saya untuk tetap berdiri meski diterpa badai. Saya melayang pada perjuangan itu.
Saya bahkan sempat berpikir, kenapa Allah Swt memberikan cobaan sesulit ini untuk keluar dari Jambi? Kenapa asap harus datang pada awal September di saat saya mau berangkat? Kenapa saya harus capek-capek berangkat ke Palembang naik travel selama 6 jam untuk menjangkau Jakarta? Badan ini sudah letih, ya Allah.. Pikiran saya sudah capek sekali. Hingga akhirnya seorang penumpang menyadarkan lamunan saya sembari bertanya nomor telepon mobil travel yang baru saja saya telpon.

 

Right or Wrong Decision?
Saya bersyukur di saat saya sedang down karena batal berangkat dari Jambi, Allah Swt memberikan pertolongan lewat teman saya, Dhanny. Pria keturunan Tionghoa ini menawarkan bantuan kepada saya untuk mencari mobil travel ke Palembang. Letak rumahnya yang dekat di bandara dan waktu pulang kerja yang sudah seharusnya membuat saya tak bisa menolak bantuannya.
Awalnya saya sungkan merepoti orang lain, tapi karena satu koper dan satu ransel yang saya bawa tak mungkin dibawa dengan motor, maka Dhanny adalah penyelamat saya waktu itu. Sedangkan orang tua sudah di rumah dan letak antara rumah dan bandara yang jauh, tidak mungkin saya meminta orangtua kembali ke bandara. Meski begitu, saya bertemu dengan papa di loket keberangkatan travel, ia membawakan botol minuman dan obat-obatan dari mama.
Palembang adalah satu-satunya jawaban untuk memutus rantai kesulitan hari itu. Akhirnya setelah diantar Dhanny ke loket, berangkatlah saya menuju Palembang. Di tengah jalan saya bahkan berharap keajaiban, kalau saja pesawat mendarat di Jambi malam itu, saya akan membatalkan keberangkatan menuju Palembang, dan mengubah jadwal penerbangan lagi dari Jambi ke Jakarta pada waktu Subuh. Saya membuang pikiran itu jauh-jauh. Pikir saya itu adalah hal yang mustahil karena asap masih mengepung Jambi.
Guess what? Ternyata penerbangan dari Jakarta ke Jambi malam itu mendarat! Saya yang baru tahu informasi tersebut setelah 30 menit perjalanan langsung lemas. Saya tidak mungkin meminta berhenti mobil, apalagi membatalkan perjalanan sedangkan mobil sudah berjalan. Saya hanya menghela napas panjang. Mungkin Allah Swt sedang menguji saya melalui keputusan yang saya ambil. Tak ada definisi mutlak salah dan benar dalam hal ini, jadi saya pikir, “I have to enjoy my life.”

 

Akhirnya Meninggalkan Sumatera
Tiba tengah malam di Palembang bukan perkara mudah, apalagi saat itu jam tangan menunjukkan pukul 02.00. Saya harus waspada, pikir saya. Bagaimana tidak, ada seorang perempuan satu-satunya di mobil travel, yang diantar paling akhir dan rumah keluarganya agak jauh dari pusat kota. Kadang kalo ingat ini, saya nggak habis pikir sama diri sendiri, terlalu berani atau terlalu penakut ya? Hehe..
Tiba di rumah ombai dan akas adalah kebahagiaan pada tengah malam itu. Saya langsung bergegas mengangkut ransel dan koper menuju pekarangan rumah. Matiar, oom saya, membukakan pintu toko bagian bawah. Melihat ombai yang terbaring di sisi adik sepupu perempuan saya, bergegas saya menyalami tangan beliau. Saya melihat akas yang berada di kamar sebelah, akas sudah tertidur pulas. Biarlah esok pagi saya bercengkrama dengan akas, batinku.
Pagi hari, seisi rumah akas melontarkan banyak pertanyaan dan kesalutan yang tak biasa yang dilakukan oleh cucu pertama dari keluarga ibu saya. Perjalanan yang harus dilakukan sebelum malam nanti berangkat ke Amerika, hingga cuaca di Jambi yang tidak memungkinkan saya untuk berangkat, saya ceritakan semuanya. Akas, yang sudah sepuh, meski sudah saya jelaskan berulang kali kenapa harus ke Amerika, tetap bertanya. Maklum, akas saat ini tidak memiliki pendengaran yang baik, jadi saya harus berulang kali menjelaskan jawaban yang sama.
Setelah berjam-jam mengobrol dengan akas, ombai, oom, tante, dan adik sepupu, akhirnya saya harus berangkat dari rumah khas Palembang itu. Diantar oleh sepupu oom saya, satu mobil penuh dengan keluarga oom dan adik sepupu yang mengantar. Mau meleleh rasanya air mata melihat perjuangan orang-orang di sekitar saya yang membantu saya hari itu. Mungkin kalau tidak ada saudara di Palembang, mungkin saya sudah tidur di pelataran bandara tengah malam itu.
Pesawat pun menerbangkan saya ke Bandara Soekarno Hatta pukul 11.00. Saya tak henti berdoa dan bersyukur karena telah diselamatkan oleh orang-orang baik di sekitar saya. Jika tanpa seizin Allah Swt, pertolongan itu tidak akan menghampiri saya. Burung besi yang masuk dalam jajaran maskapai penerbangan terbaik se-dunia itu membawa saya meninggalkan tanah Sumatera, memberangkatkan saya ke Tangerang bertemu dengan peserta International Visitor Leadership Program lainnya. (bersambung)

happy faces

Bersama keluarga di Jambi, sebelum berangkat ke Jakarta (yang pada akhirnya berangkat dari Palembang)

Kekecewaan dan Kebahagiaan di Kongres Kebudayaan Pemuda Indonesia

“Membangun Karakter, Kreativitas dan Solidaritas.”

That was my first congress, even that was my first activity after graduate from my university J Yup, pada 6-9 November 2012 yang lalu, saya bersama 9 anak muda Jambi lainnya mengikuti kongres ini di Hotel Borobudur, Jakarta. Acara yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI ini menyimpan banyak cerita. Meski gak semua berjalan lancar, ada beberapa hal yang mungkin kita bisa petik pelajarannya dari acara ini.

Kongres Kebudayaan Pemuda Indonesia (KKPI) berlangsung selama 4 hari. Dalam kurun waktu itu pula banyak hal yang terjadi. Dari yang dipuji hingga dicerca. Ya memang karena gak semua yang peserta inginkan terjadi disini. Meski beberapa fasilitas tidur di hotel, acara di hotel mewah, dapat uang saku, hingga ketemu anak muda se-Indonesia tersedia, beberapa peserta ternyata banyak komplain. Hmm, bagai kutub utara dan selatan sih.

KKPI dibuka pada malam tanggal 6 November. Acara berlangsung di Flores Ballroom, Hotel Borobudur. Dengan susunan round table, pembukaan dan kenduri budaya pemuda berlangsung meriah. Selain ada kata sambutan dari pihak Kementrian, ketua panitia acara tersebut, Marcella Zalianti, juga memberi kata sambutan. Sampai disini saya sedikit agak heran, kenapa Marcella yang didaulat sebagai ketua panitia? Apa bargaining position dia terhadap KKPI? Meski begitu, keheranan saya sementara disimpan dulu.

Acara semakin keren ketika panitia menghadirkan Putri Ayu, pemain orkestra yang isinya anak-anak muda berprestasi, pemain Sasando, dan 9 anak muda Indonesia yang berprestasi. Yang paling memukau saya dalam acara ini adalah kesembilan pemuda tersebut yang sudah berkontribusi untuk negara sesuai passionnya. Mereka adalah Nancy (Batik Fraktal), Cicilia (Yayasan Kampung Halaman), Maria (Peneliti Linguistik), Cholil ERK (Musik Indie Meng-Indonesia), Alif (Situs You Antri), Abdhyatmika (Video Demokrasi Go USA), Mahasiswa ITS (Aplikasi Gamelan Tutul di Android), Siswa SMK 4 Bandung (Animasi IT mendunia), dan Agus beserta murid-murid dari SMK 4 Jakarta (Mesin Batik Tulis).

Kegiatan di hari selanjutnya gak kalah amazing. Saya menyaksikan pak Taufik Ismail dua kali membacakan puisi, yang kedua ini saya menyaksikan beliau membacakan puisi di KKPI. Dalam kesempatan ini, beliau mengatakan bahwa ada baiknya Indonesia Aku Bangga diubah menjadi Indonesia Aku Bersyukur. Puisi beliau yang menceritakan temannya, Kasim Arifin, yang mengabdi di Pulau Seram hampir membuat semua peserta menitikkan air mata. Dua puisi lainnya yakni Pesimis dan Solusi Masalah membuat kami semakin percaya bahwa Indonesia akan hebat jika berada di tangan pemuda yang berkontribusi untuk negaranya. Pada 7 November ini pula, beberapa speaker turut berbicara pada Sarasehan Pemuda yang bertemakan Nasionalisme Kebangsaan, mereka adalah Mas Ari, Mbak Ibet, Mas Frank, Bapak Sukesti, dan Bapak Gede Prama. Sarasehan kedua pun dilanjutkan sore harinya, dengan pembicara Suryadi Laidang, Nila Riwut, Inaya Wahid, Edo Kondologit, dan Didi Kwartanada.

Sedangkan pada sesi terakhir sarasehan, bagi saya ini merupakan puncaknya. Berbagai pelaku seni dihadirkan disini, sebut saja Mas Ario (pemain di film The Raid dan Merantau), dan menampar saya dengan kalimat “Semua Butuh Kerja Keras, Gak Ada Yang Instan.” Kemudian ada Mas Eko Supriyanto, penari internasional yang sempat bekerja dengan artis luar negeri (badannya lentur banget nge-dance gitu :D), ada mas Vicky Sianipar juga sebagai anak muda yang memadukan musik tradisional dan modern, Carmanita yang melukis batik di atas mobil (so WOWWW), dan mas Dynand Faiz, penggagas Jember Fashion Carnival yang bikin saya pengen secepatnya ke Jember tahun depan untuk menyaksikan karnaval terbesar ketiga di dunia ini! Pada malam harinya, kami berkesempatan menyaksikan film Atambua 39°C yang bikin otak saya berputar keras mengenai cerita film ini hehe. Namun tak mengapa, menyaksikan langsung mas Riri Riza dan Mbak Mira Lesmana ngomong di depan podium sedikitnya menuntaskan hasrat bertemu dengan mereka 😀 Well, most of all, acara pada hari itu keren banget, ditambah lagi dengan banyaknya komentar dari mahasiswa, plus penampilan yang keren banget dengan konsep indoor yang ditampilkan oleh para model JFC dengan kostum yang amaziiinnnggggg!

On next day, mulailah terlihat kekhawatiran yang bagi saya di awal-awal akan terjadi, pun akhirnya sedikit demi sedikit terjadi. Hari itu, 8 Desember, kami mengujungi Museum Nasional untuk memasuki paralel session yang bertemakan Rencana Aksi Pembangunan Karakter. Entah kenapa feeling saya kemudian tidak enak. Pada akhir sesi di Museum Nasional ini, para peserta mulai memanas. Sebagian besar menilai bahwa acara ini seperti sia-sia, tidak ada sesuatu yang ‘in’ yang bisa pemuda ambil pelajarannya. Di satu sisi ada yang menilai bahwa kementrian hanya ingin menghabiskan uang di akhir tahun. Glekkk.. Tapiiii..kericuhan tidak berhenti disitu saja, justru setelah mengunjungi Kawasan Kota Tua, Museum Bank Indonesia dan Museum Bank Mandiri, puncak kerisauan anak muda Indonesia berada pada malam dimana kami kumpul di Museum Bank Mandiri untuk makan malam. Selesai penampilan dari beragam kreativitas anak muda, beberapa orang perwakilan provinsi menyatakan sikapnya yang kecewa terhadap acara ini. Bahkan sempat adu jotos karena beberapa hal yang tidak beres, untungnya ini bisa dinetralisir oleh Kang Asep Kambali, founder Komunitas Historia Indonesia, mereka yang semula marah-marah kini teredam emosinya.

Hari terakhir entah kenapa malah peserta semakin sedikit. Setahu saya yang ikut kongres ini ada sekitar lebih dari 400 pemuda se-Indonesia, namun di hari terakhir, belum sampai acara penutupan, peserta berkurang. Hal ini terjadi karena beberapa peserta sudah ada yang memesan tiket pulang pagi, selebihnya ada yang tidak setuju dengan hasil kongres ini dan memilih pulang duluan. Saya? Karena tiket balik tanggal 11 November, jadinya saya adem ayem aja. Meski begitu, kondisi ruangan Flores Ballromm saat itu sama sekali nggak adem ayem. Banyak banget mahasiwa yang komplain dengan acara ini, semakin banyak yang menghujat, dan menuturkan kata-kata kasar.

Sungguh saya pikir, ini acara paling kacau yang saya ikuti. Entah kenapa judul acara yang ingin membentuk pribadi berkarakter semakin menjadi boomerang. Peserta banyak menuruti hawa nafsu waktu berbicara, akibatnya banyak yang saling nggak menghormati antara satu lawan bicara dengan lainnya. Di sisi lain, suara-suara keras mendominasi dan memekakkan telinga saya. Pun para peserta menilai, panitia acara dari kementrian dan EO tidak beres dalam menjalankan acara, akibatnya banyak yang protes dan menganggap kongres ini gagal. Acara penutupan yang saya kira pasti lebih meriah dari pembukaan ternyata berbanding terbalik. Saya pun terdiam. Ini sebenarnya salah siapa, salah peserta atau panitia? Hingga saya tiba di Jambi pun, saya nggak habis pikir,  gimana bisa saya menjadi bagian acara itu? Namun saya bersyukur (mengutip kata dari pak Taufik Ismail), saya banyak memetik pelajaran dari acara ini, dan mengenal orang-orang baru :’)100_6725

Destinasi Wisata Wajib Kunjung di Kerinci

Perjalanan ke Kerinci sudah hampir dua tahun saya kenang, namun masih terasa segarnya udara Kerinci yang saya rasakan dalam waktu 3-4 hari pada 28 Januari 2011 lalu. Perjalanan yang memang saya rencanakan untuk jalan-jalan itu terwujud berkat keringanan hati sahabat saya, Ana, yang mau mengajak saya ke Kerinci. Di saat banyak kawan nggak ada yang mau ikut kala itu, saya masih terus saja membujuk Ana untuk pulkam ke kampungnya tersebut. Bujukan saya berhasil! Akhirnya dengan biaya Rp. 100.000/orang, kami berdua berangkat ke Kerinci dengan menggunakan mobil travel pada pukul 20.00 WIB. And the journey had begun…

Meski saya merasa bahwa waktu 3-4 hari di Kerinci tidaklah cukup untuk mengeksplor negeri sakti ini dikarenakan sesuatu hal, namun akhirnya saya berusaha menikmati waktu yang singkat tersebut. Alam Kerinci yang dingin, pepohonan hijau, keramahan penduduknya, dan banyaknya destinasi wisata membuat saya merasa waktu berasa cepat berlalu. Namun saya beruntung tinggal di Desa Betung Mudik, desa keluarga Ana di Kerinci. Desa ini membuat saya melihat dengan mata kepala saya sendiri tradisi Kenduri Seko (saya akan memberikan pemaparan dibawah) dan baiknya penduduk di sekitar rumah Ana, wah khas penduduk desa yang ramah lho! Kalau ada yang memberikan tiket gratis kesini, saya nggak akan nolak deh 😀

Btw, menuju Kerinci artinya harus menyiapkan mental, begitulah kata Ana. Kenapa? Karena jalan menuju kesana agak rawan, terjal, dan sering terjadi kecelakaan. Saya pun bergidik mendengarnya. Namun itu tidak mematahkan semangat saya menuju Kerinci. Uang PP sebesar Rp. 200.000 terbayarkan oleh suasana wisata alam yang keren di Jambi ini. Pun perjalanan yang memakan waktu 12 jam lebih ini terbayarkan ketika saya melihat sinar matahari pagi menerobos masuk ke pelupuk mata saya, lalu mengerjapkan mata, dan takjub karena sinar tersebut memantul ke atas Danau Kerinci!

Penasaran dengan Kerinci? Berikut saya paparkan beberapa destinasi wisata yang wajib kalian kunjungi jika suatu saat melancong ke Kerinci. Here they are:

  1. Desa Betung Mudik

Untuk menempuh desa ini, kita memerlukan waktu dua jam dari Tutung Bungkuk, dengan menggunakan mobil. Jalanan ke Desa Betung Mudik ini pun dikatakan rawan, karena berada pada liukan bukit, dan jalannya agak rusak. Sesampainya disini, kita disambut dengan ramah. Penduduknya hampir selalu mengajak saya mampir kalau lewat rumahnya. Mampir untuk diajak makan lemang khas Kerinci! Well, khas rumah disini sama seperti rumah panggung di Sekoja (Seberang Kota Jambi). Di atas merupakan tempat berkumpulnya keluarga, dan di bawah biasanya tempat penyimpanan barang, seperti kayu manis yang ada di rumah keluarga Ana. Disini pula kita bisa melihat Gunung Kerinci yang menyembul di balik awan ketika pagi hari. Saya selalu tertantang untuk melihat Kerinci timbul lho, sungguh sensasi yang jarang saya rasakan ketika berada di kota. Oya, di desa ini pula setiap empat tahun sekali diadakan Kenduri Seko. Kenduri Seko adalah perayaan ucapan terima kasih kepada Tuhan YME, atas rahmatNya yang telah memberikan panen padi yang luar biasa di desa Kerinci. Menjelang Kenduri Seko diadakan, semua penduduk membuat lemang yang dihiasi kertas minyak warna warni dan membuat gulai daging khas mereka. Setiap rumah akan membawa semua itu ke masjid. Karena waktu itu saya di Desa Betung Mudik, saya menyaksikan perayaan yang dihadiri bupati tersebut di Masjid Baiturahmi. Pelaksanaan ini diadakan pada hari minggu, dan ketika itu minggu siang Desa Betung Mudik diguyur hujan lebat. Namun semangat untuk menghadiri Kenduri Seko tidak luntur, semua masyarakat berbondong-bondong menyaksikannya. Ada yang menggunakan payung, atau berteduh di rumah penduduk, atau bahkan rela hujan-hujanan lho 😀 Barangkali adat istiadat seperti Kenduri Seko ini bia dijadikan tujuan wisata, dan Desa Betung Mudik bisa pula diiniasikan sebagai desa wisata seperti yang banyak dilakukan oleh pemerintah Sleman, Jogjakarta.

2. Saya sendiri mengujungi beberapa tempat wisata pada Januari 2011 lalu, antara lain:

a. Kebun Teh Kayu Aro

Terletak di bawah kaki Gunung Kerinci, kebun teh ini menurut saya lebih asri dan sejuk daripada Puncak, Bogor, hehe.. Hawa dinginnya lebih menyengat, dan lebih banyak penduduk yang memetik daun teh berkeliaran di sekitar saya. Bahkan saya kerap melihat penduduk yang juga membawa sapi melewati kebun teh ini. Kalau ke kebun teh yang dimiliki oleh PTPN VI ini, jangan lupa siapkan jaket tebal ya, dinginnya minta ampun deh 😀

b. Air Terjun Telun Berasap

Destinasi ini merupakan destinasi kedua setelah Kebun Teh Kayu Aro. Air terjun yang memang berasap ini wajib kunjung karena terletak di antara rimbunnya pepohonan dan bebatuan. Menginjakkan kaki disini tak ubahnya seperti di Kayu Aro, sama dinginnya! Namun berhati-hatilah kalau kalian ingin menuju ke bawah, karena banyak lumut yang melingkupi tangga. Saya saja hampir tergelincir meski sudah hati-hati. Mungkin ada baiknya pemerintah Kerinci dan Jambi segera memperbaiki infrastruktur tersebut, agar tidak mencelakakan wisatawan bukan?

c. Air Panas Semurup

Air panas semurup identik dengan hal-hal yang mistis. Kata Ana, sewaktu saya berkunjung kesana, air panas disini sering dijadikan tempat bunuh diri. Hhiiiii! Nggak kebayang deh gimana rasanya meninggal di tempat yang suhu panasnya minta ampun itu! Tapi alhamdulillah sekarang tempat tersebut sudah ditutupi dengan pagar dan dijaga ketat. Kita pun dilarang masuk ke dalam, jadi saya hanya bisa memotret dari luar saja. Oya disini juga disediakan tempat untuk berleyeh-leyeh, kita juga bisa membeli telur dan merebusnya di air panas tersebut jika berani, hehe.. Tertarik untuk kesini guys?

d. Danau Kerinci

Danau Kerinci merupakan danau kebanggan masyarkakat Kerinci. Saya saja yang baru pertama kali mengunjunginya langsung takjub karena disambut oleh matahari pagi yang memantul ke atas air. Kami ke Danau Kerinci setelah selesai bersantap siang dengan keluarga Ana yang menemani jalan-jalan. Yup, di tepi danau ini banyak sekali tempat makan lho, jadi kita bisa makan sambil melihat danau yang asri. Pun bahkan ikan-ikan yang ditangkap berasal dari danau lho, so fresh from the open deh! Jangan lupa juga untuk mencelupkan kaki ke dalam danau, bagi saya ini pengalaman unik ketika saya bahkan tidak berani memasukkan kaki ke sungai Batanghari :p

e. Lubuk Nagodang

Ingin membeli dodol kentang khas Kerinci? Mau mencicipi sirup kayu manis yang terkenal itu? Atau mau serundeng khas Kerinci juga? Ayo mampir kesini! Di Lubuk Nagodang tersimpan banyak toko industri kecil yang menjual makanan Kerinci sebagai oleh-oleh yang wajib dibawa! Di sepanjang jalan Lubuk Nagodang ini, kita nggak akan kesulitan mencari oleh-oleh, pelayan di setiap tempatnya akan menawarkan kita oleh-oleh, harganya pun bervariatif, dan terbilang masuk akal di kantong kita 😀 Harga oleh-oleh berkisar di atas Rp. 3.000. Jadi jangan sampai nggak beli oleh-oleh khas Kerinci di tanahnya sendiri ya!

3.

Kerinciiiii, someday I will back to this town! 🙂

Danau Kaco

Danau yang airnya sangat bening ini terkenalnya bukan main! Selain karena terkenalnya lewat beningnya air danau, ia juga terkenal dengan hal-hal mistis dan perjalanan masuk hutan yang terjal. Meski saya belum kesini, saya mendapatkan cerita dari seorang teman yang beberapa hari lalu mengunjunginya, mbak Weni. Mbak Weni, Mul, dan Dicky, memang berniat ke Danau Kaco sejak lama. Mereka merasakan pengalaman yang sangat seru disini uys! Meski hanya 30 menit di Danau Kaco, pengalaman tersebut sangat berkesan bagi Mbak Weni. “Karena kondisi saat itu hujan lebat, jadi kami sebentar saja disana. Lagian kami khawatir kalau kemalaman pulangnya, jadi mau selesai cepat waktu itu. Yang nggak tahannya kami kena incaran pacet. Perjalanan menggunakan motor di medan yang berat selama empat jam tersebut terbayarkan karena indahnya melihat sosok Danau Kaco. Kami juga dibantu oleh guide yang ada disana, dan meminta izin kepada warga adat disana. Karena disana juga penuh mistik, sebaiknya jangan sedikit yang berangkat, lebih baik rombongan dan banyak cowoknya. Bagi yang memiliki niat aneh, mending nggak usah ikut, apalagi buat cewek yang haid lebih baik membatalkan.” Begitu kata mbak Weni sore ini via sms kepada saya. Jadi, meski banyak rintanngannya, jangan sampai kalian melewatkan panorama Danau Kaco yang airnya bening banget itu! Saya pun jadi tertantang untuk mengujunginya suatu saat nanti!

 

Well, sepertinya segitu saja dulu ya informasi destinasi wisata wajib kunjung selama liburan di Kerinci. Memang sih masih banyak lagi destinasi wisata, seperti Gunung Kerinci, Gunung Tujuh, Danau Gunung Tujuh, Bukit Kayangan, dan lainnya, namun saya belum berani menuliskannya secara emang belum pernah mengunjunginya, hehe.. Mudah-mudahan kita semakin mencintai negeri ini dengan mengenalnya sampai ke akar-akarnya. Karena kalau bukan kita sendiri yang menikmati alam Indonesia, siapa lagi? Jadi..kenali negerimu, cintai negerimu! (pssttt, ada yang mau ke Kerinci setelah baca tulisan saya ini? ) 😀

Melirik Potensi Wisata Kota Tua di Jambi

Sebagai peradaban Kerajaan Melayu Kuno, Jambi menurut saya merupakan provinsi yang bisa saja menjadi destinasi kota tua di Indonesia. Ditemukannya situs Percandian Muaro Jambi, peninggalan bersejarah di tepi sungai Batanghari, dan geopark di Merangin yang berumur jutaan tahun, membuat Jambi sebenarnya banyak potensi wisata kuno. Bukan berarti kuno disini tidak bisa dikembangkan, justru sesuatu hal yang jadul dan lama bisa membuat eksotis. Lihat saja Kota Tua di Jakarta, yang eksisnya bukan main. Atau mungkin kita bisa melihat sederet bangunan tua di Kota tua Semarang. Dua tempat yang menurut saya contoh kota tua yang sukses dijadikan objek wisata, bukan malah mengeksploitasinya dan merobohkan bangunan tua itu sendiri.

Di kota Jambi, justru banyak bangunan kuno yang layak dijadikan destinasi wisata kota tua. Hanya saja, mungkin pemerintah belum melihat potensi wisata ini. Menurut saya, potensi wisata kota tua di Jambi bisa mengalahkan kunjungan anak mudanya ke mall jika ditata lebih baik lagi. Berikut beberapa destinasi wisata kota tua yang tersebar di kota Jambi. Semoga membuat teman-teman jadi hobi jalan-jalan di kota kita sendiri ya J

Pertama, kita bisa melirik ke Menara Air PDAM di samping SD Al-Falah, Putri Ayu. Menara air ini konon dulunya merupakan tempat dimana bendera merah putih berkibar pada pelaksanaan kemerdekaan RI. Di simpang tiga lokasi ini pula pejuang dan masyarakat Jambi menaikkan bendera merah putih tanda Indonesia sudah merdeka. Jadi wajar saja di dekat menara air ini terdapat Museum Perjuangan Rakyat Jambi guys, karena melambangkan perjuangan rakyat Jambi dalam meraih kemerdekaan di bumi sepucuk Jambi sembilan lurah ini. Menara air awalnya milik orang Belanda, yang mereka gunakan untuk mengintai orang-orang yang lewat di aliran Sungai Batanghari. Karena terletak di dataran tinggi, jadi menara air ini bisa memantau hampir di seluruh penjuru kota. Meski bangunan di sekitar menara ini sudah dicat dan diperbaiki, anehnya bangunan asli menara tersebut bahkan belum diperbaiki lho. Menurut petugas sih, hal ini dikarenakan sulitnya mengecat alur bangunan yang agak rumit tersebut. Namun jika kalian punya nyali yang cukup kuat, silahkan naik ke menara yang tingginya hampir 90 meter ini guys. 😀

Destinasi kota tua lainnya ada di dua tempat peribadatan, yakni Mesjid Agung Al-Falah dan Kelenteng Hok Tek. Mesjid Agung Al-Falah awalnya merupakan benteng pertahanan Belanda, namun seiring berjalannya waktu ia diubah menjadi mesjid. Sedangkan Kelenteng Hok Tek yang terletak di simpang jalan menuju jembatan Makalam dari Pasar ini, merupakan tempat peribadatan umat Budha pertama kali di Jambi. Kelenteng ini berukuran kecil, sayangnya pagar yang memagari kelenteng ini membuat saya susah masuk ke dalam. Alhasil hanya bisa melewatinya saja. Dua tempat peribadatan ini pun membuat Jambi sebagai provinsi yang multikultur bukan?

Jika kita berkunjung ke SMP N 1 dan SMP N 2 Kota Jambi, tentu langsung akan terbayang sebuah bangunan tua yang dijadikan tempat sekolah. Yup, benar sekali! Bangunan tua di dua sekolah tersebut dulunya merupakan kediaman pemerintahan Belanda, namun ada pula yang menyebutkan bahwa itu adalah penjara Belanda. Jadi nggak heran kalau di dua sekolah ini sering terlihat penampakan hantu Belanda yang cukup mengerikan. Hhmmm, mirip Lawang Sewu-nya Semarang nih hehe.. Oya di sekitar SMP N 1 dan Simpang Sado juga terdapat Monumen Tugu Pelajar yang dibangun atas penghargaan bagi tentara pelajar Jambi yang turut serta berjuang merebut kemerdekaan Jambi. Monumen Tentara Pelajar ini dibangun pada 19 September 1992. Di monumen ini juga terdapat beragam relief yang menggambarkan kondisi pelajar Jambi waktu berjuang, SMP N 1 Kota Jambi, rumah dinas Gubernur Jambi yang berada di depan Sungai Batanghari, pesawat Catalina 005 yang replikanya ada di Museum Perjuangan Rakyat Jambi, Kilang Minyak di Tempino, Jembatang Aur Duri, Kapal Sanggat, Angso duo, Orang Kayo Hitam dengan keris di atas kepala, asal usul nama Jambi, dan relief-relief lainnya.

Destinasi keempat dari sejumlah bangunan tua di kota Jambi adalah rumah kuno peninggalan Belanda yang terletak di belakang RS Bratanata dan belakang rumah dinas Gubernur Jambi. Di kawasan ini banyak sekali rumah peninggalan Belanda yang didiami oleh penduduk Jambi. Dari mulai penduduk biasa, masyarakat Tionghoa, hingga pejabat-pejabat. Rumah salah satu teman, Eka, merupakan rumah dinas yang dahulunya ditinggali perwira TNI setelah dulu merupakan peninggalan Belanda. Rumah ini telah ditempati keluarga Eka sejak 1960-an. Rumah siswi SMA Xaverius 1 Jambi ini terbuat dari kayu jati, baik itu dinding maupun kayunya. Menurut informasi dari ayah Eka, lantai rumahnya bahkan terbuat dari kayu Bulian yang sangat terkenal itu. Pak Sugianto, ayah Eka, menyebutkan bahwa awalnya rumah ini ada 2 kamar, ruang utama terletak di tengah, dan pintu utama rumah menghadap ke timur. Sewaktu peserta tur Jambi Punyo Crito, komunitas jalan-jalan dengan berjalan kaki dalam mengeksplor tempat bersejarah dan berbudaya di Jambi, melakukan trip keduanya, ternyata bangunan seperti ini masih terawat dengan baik. Alangkah bagusnya jika suatu saat pemerintah Jambi bisa menunjuk salah satu rumah untuk dijadikan objek wisata. Kan keren tuh?! 😀

Destinasi wisata kota tua terakhir di Jambi ada di Seberang Kota Jambi! Yup, disin justru lebih banyak destinasinya lho. Dimulai dari rumah batu milik Pangeran Wirokusumo, yang bernama asli Ali Idrus Al Jufri. Rumah batu ini menjadi primadona masyarakat Jambi, cocok dijadikan foto pre-wedding juga sih :p Anyway singkat cerita, rumah batu ini konon merupakan pemberian dari pihak Belanda kepada Pangeran Wirokusumo, karena ia berhasil memberi tahu Belanda dimana Raden Mattaher berada dibalik persembunyiannya. Meski cerita ini agak ‘aneh’, dimana pangeran tersebut masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan Thaha, namun ia memberi tahukan kepada pihak Belanda orang pribumi yang mereka cari, yakni Raden Mattaher. Pada akhirnya rumah batu ini pun dihadiahkan kepadanya. Arsitektur bangunan ini merupakan perpaduan budaya Tionghoa, Melayu, dan Belanda. Dari sisi ukiran bangunan dan tempat masuk area rumah ini sudah menunjukkan bahwa ada 3 perpaduan budaya disana. Wowww sangat cantik sekali bangunan ini pada jaman dahulu kala ya! Istana ini akhirnya dijadikan cagar budaya oleh BP3 Jambi. Rumah hasil rancangan arsitek China, Shin Tai ini, sayangnya tidak dipugar, dibiarkan begitu saja yang menurut saya mirip rumah hantu. Namun kalau siang hari, tentu saja estimasi itu akan sirna hehe..

Di Sekoja juga ada rumah panggung milik masyarakat asli Jambi. Rumah panggung ini merupakan adat muslim di Jambi yang memiliki nilai-nilai yang tinggi. Meski saya nggak begitu ingat apa saja nilai-nilai yang ditanamkan pada rumah ini, seingat saya di bagian samping rumah selalu ada jendela atau pintu yang digunakan masyarakat untuk saling bertegur sapa dengan tetangga. Hal ini tentu menunjukkan kerukunan, keberagaman, serta keharmonisan masyarakat jaman dulu. Ahh semoga saja ini tidak luntur di jaman yang serba berteknologi ini ya J Btw di Sekoja merupakan pusat batik Jambi lho. Karena apa? Karena pada jaman dahulu kala para pedagang dari Arab dan beberapa daerah di Indonesia singgah di tepi sungai Batanghari ini sambil membawa barang-barang untuk membatik. Akhirnya lama kelamaan penduduknya pun membatik. Pengrajin batik Jambi pun mulai mencari motif baru sesuai daerah Jambi. Maka nggak heran kalau motif angso duo, kapal sanggat, durian pecah, melati, dan motif lainnya semakin memperkaya batik Jambi. Di sepanjang perkampungan di Sekoja ini juga terdapat industri batik Jambi di beberapa rumahnya. Sungguh kalau perkampungan batik Jambi ini dijadikan objek wisata belajar membatik, pasti keren deh! Apalagi kalau kesana nggak membutuhkan waktu yang lama, kita cukup menyeberang naik perahu dari Pasar Angso Duo atau dekat mall WTC Batanghari, atau bisa juga naik motor melewati jembatan Aur Duri. Setengah jam udah nyampe deh 😀

Nah bagi saya sih itulah beberapa destinasi wisata kota tua yang (mungkin) bisa dijadikan objek wisata. Kita pun sebagai masyarakat kota Jambi bisa mengajak sanak saudara mengunjungi tempat tersebut. So we don’t always spend our time in mall or supermarket, kita pun bisa melirik destinasi kota tua yang ada di Jambi tersebut bukan? Yuk, lebih mengenal sejarah Jambi dari peninggalan kota tuanya, daripada harus selalu menghabiskan uang di mall 😀 Hehe..

Di Monumen Tugu Tentara Pelajar 🙂

Heboh Candi Kimpulan di UII Jogja

Tidak ada yang menyangka bahwa dibawah bangunan institusi pendidikan tersimpan bangunan bersejarah. Pun bagi saya yang awam soal penemuan arkeologi tidak menyangka bahwa di Universitas Islam Indonesia justru memiliki candi. Berita kehebohan candi ini terdengar senusantara, termasuk saya yang berada di Jambi pada 2009 lalu. Toh meski hanya mendengar kisahnya melalui media, saya berkeinginan mengujungi candi ini langsung. Alhamdulillah impian ini terkabul melalui kegiatan Java Summer Camp di Jogja pada 10 Juni lalu.

Selidik punya selidik, akhirnya saya mendapatkan informasi akurat dari ibu-ibu di Dinas Budaya dan Pariwisata Sleman. Dikarenakan ada satu ibu yang menjelaskan tentang candi ini memakai pengeras suara, dan ada satu lagi wanita yang saya ingat namanya, yakni Ibu Ruslaini dari Budpar Sleman juga. Mereka dengan telaten menjelaskan tentang penemuan candi ini kepada peserta. Saya pun menyimak dengan baik, sambil sesekali melontarkan pertanyaan di hari yang sudah mulai terik itu.

Candi Hindu ini ditemukan pada 2009 lalu, dimana saat itu UII sedang merencanakan membangun perpustakaan. Pada awalnya hanya berupa tanah, namun setelah digali oleh pekerja, ditemukanlah candi yang diperkirakan sudah berada sejak abad 9-10. Penelitian dan penyelamatan candi ini tidak mengganggu jalannya pembangunan perpustakaan. Terbukti dengan pihak rektorat memperbolehkan arkeolog meneliti lebih lanjut soal Candi Kimpulan. Berbarengan dengan itu pula, UII dijadikan destinasi wisata sejarah bagi pengunjung yang ingin mengenal Candi Kimpulan. Sampai disini, saya berharap Universitas Jambi, almamater saya juga bisa dijadikan destinasi wisata suatu saat nanti 😀

Meski tidak ada prasasti kata Ibu Ruslaini, namun usia candi ini diperkirakan sama dengan Candi Prambanan. Saya pun melihat langsung ke bagian bawah perpus ini, dan memasuki area candi. Terbukti memang tidak ada prasasti. Jika anda berkunjung kesini, yang anda lihat hanya arca Ganesha (arca ini konon jarang sekali ditemukan lho di candi-candi), dan sisa tanah yang sengaja disingkirkan untuk menunjukkan bukti bahwa tanah setinggi itulah ketika digali dan ditemukan candi ini. Terdiri dari satu bangunan induk dan satu perwara, kemudian pagar yang mengelilingi candi dihiasi oleh batu-batuan yang simpel, serta tidak memiliki atap, itulah ciri-ciri Candi Kimpulan.

Meski terletak di dalam kampus, candi ini tetap menjadi primadona wisatawan. Toh pihak UII tidak mempermasalahkan bangunan ini. Masih menurut Ibu Ruslaini, ia mengatakan bahwa pihak UII tidak mempersoalkan agama dalam konteks ini, malah sebaliknya pihak UII melindungi cagar warisan budaya Indonesia. Belajar dari pengalaman institusi pendidikan yang menjadi ruang lingkup budaya, Candi Kimpulan layak anda tapaki ketika berada di Jogja 🙂

Arca Ganesha di Candi Kimpulan UII 🙂

Terpukau Dengan Tingkatan Candi Borobudur

Matahari belum begitu hangat menyapa pada 11 Juni 2012 lalu. Hangatnya nuansa Jogjakarta menyapa sejak saya menampatkan kaki di kota kecil ini. Sesaat setelah mengikuti kegiatan Java Summer Camp di Jogja dari tanggal 8-10 Juni, saya masih memiliki dua hari di Jogja untuk mengeksplorasinya. Kali ini, saya berpikir untuk menapaki kaki di Candi Borobudur, yang sejak dulu sudah saya impikan. Tanpa pikir panjang, saya lantas menghubungi kawan yang berada di kota tersebut untuk menemani berangkat ke Candi Borobudur. Dan voilaaa! 11 Juni impian itu terwujud!

Saya tidak tahu apa yang membuat saya tersihir oleh candi-candi yang ada di Indonesia. Baiknya lupakan sejenak persoalan agama. Saya entah kenapa selalu kagum dengan bangunan candi, yang terdiri dari perundakan batu bata atau andesit, memiliki nilai filosofi dari cerita yang berkembang, dan menjadi bukti sejarah peradaban kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Seperti halnya Candi Borobudur yang dibangun pada masa pemerintahan Dinasti Syailendra pada 826 masehi. Bayangin masehi! Entah apa bentuk candi pada awal berdiri, entah apa kejadian dibalik pembangunan candi, semuanya misteri dan membuat saya terkesima menatap bangunan tersebut.

Bangunan mahakarya ini menyimpan banyak pesona. Diawali oleh Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles, yang tertarik dengan Borobudur. Kemudian ia memerintahkan penggalian dan konservasi Borobudur kala itu. Dalam catatannya, Raffles menyebutkan bahwa Borobudur berasal dari kata Bore (nama suatu desa terdekat) dan Budur (dari kata Jawa kuno, buda, yang artinya kuno). Di sisi lain, bangunan setinggi 35,4 meter ini berasal dari dua kata, bara dan beduhur. Dimana bara berarti vihara yang bermaksud candi atau biara, sedangkan beduhur artinya tinggi. Jika dilihat seksama, memang Candi Borobudur terletak di atas perbukitan atau tempat yang tinggi.

Singkat cerita dari dua asal muasal kata Borobudur tersebut, saya semakin tidak sabar mengunjunginya. Akhirnya saya berangkat juga bersama kawan, kak Ardhy namanya, menuju candi ini. Dibutuhkan waktu sekitar 1 jam lebih untuk sampai disini dari pusat kota Jogja, dengan menggunakan motor. Di sepanjang jalan saya disuguhi pemandangan Jogja di pagi hari, sawah-sawah membentang, dan sisa-sisa hebatnya Gunung Merapi di jalan menuju Magelang. Panas matahari mulai menyengat tatkala jarum jam menunjukkan pukul 11.00 WIB. Kami pun bergegas membeli tiket karcis, kemudian diberikan kain batik untuk menutupi bagian perut dan paha. Begitupun dengan pengunjung lainnya. Ketika ditanyakan kenapa pakai sarung batik ini, kak Ardhy berujar bahwa ini sebagai bentuk penghormatan suci bagi siapa saja yang menapaki Borobudur, alias tidak serta merta memakai celana pendek saja.

Foto-foto merupakan acara yang wajib! Yup, saya pun nggak ketinggalan mengambil gambar Borobudur mulai dari bawah hingga atas. Saya menaiki tangga, dan hoplaaa sampailah di atas tanah Borobudur dimana bangunan ini didirkan. Bicara soal tingkatan tangga yang ada di Borobudur, ternyata ia memiliki keistimewaan filosofi yang agung. Saya diceritakan pula oleh kak Ardhy soal ini. Selain ukurannya yang megah, Candi Borobudur mempunyai 10 tingkat yang menggambarkan falsafah agama Budha. Bahwa kalau kita ingin mencapai tingkat kesempurnaan, haruslah melewati 10 tingkat yang ada.

Tingkat terbawah adalah Kamadhatu, merupakan bagian kaki Borobudur. Pada tingkat ini, manusia masih dikuasai hawa nafsu sehingga ia banyak berbuat kesalahan di dunia. Empat tingkat di atas Kamadhatu disebut dengan Rupadhatu. Lantainya pun berbentuk lingkaran. Jika kita sudah mencapai tingkat ini, itu artinya kita sudah bisa melepaskan diri dari nafsu meski masih terikat. Pada tingkat selanjutnya, mulai ketujuh hingga kesepuluh adalah Arupadhatu. Tingkat ini dinamakan kesempurnaan karena manusia telah meninggalkan keinginan duniawi dan menuju tahap nirwana. Tidak sama seperti tingkat sebelumnya yang terdiri atas relief-relief, tingkat ini hanya polis saja. Pada tingkat ini juga digambarkan bahwa Borobudur bukanlah biara pemujaan, namun lebih kepada ibadah ziarah.

Penjelasan yang diberikan kak Ardhy sebagai guide tour saya waktu itu membuat saya terpukau. Ternyata sisi filosofis candi semegah ini pun sangat dalam. Intinya pada masyarakat, jika ingin mencampai kesempurnaan maka naiklah hingga tangga kesepuluh. Di sisi lain, cerita yang mengatakan bahwa ketika tangan bisa menyentuh bagian tubuh arca yang ada di dalam setiap undakan candi akan membuat keinginan terkabul membuat saya tergelitik mendengarnya. Iseng-iseng saya menyentuh badan arca tersebut, namun sayangnya tidak tersetuh seluruhnya. Ah tak apalah, yang penting saya bisa memuaskan hasrat mengenal warisan budaya yang sudah ditetapkan UNESCO ini bukan? 🙂

Pesona Eksotika Negeri Para Dewa

“Dalam hidup ini kita pengin sesuatu yang luar biasa, antara lain ada pengalaman melihat matahari terbit sebanyak dua kali dalam satu hari. Penting untuk diketahui bahwa tujuan ke Dieng bisa mensucikan diri/jiwa atau hanya rekreasi saja.”

Kalimat itu dilontarkan oleh Pak Bogo, surveyor matahari terbit yang sering mengantarkan wisatawan. Pria paruh baya asal Wonosobo itu saya jumpai ketika menyaksikan golden sunrise (warna keemasan) untuk pertama kalinya di pegunungan Dieng pada 15 Juni lalu. Pak Bogo sangat ramah, meski baru bertemu di menara pandang saat melihat golden sunrise, beliau berbaik hati kepada saya dan teman-teman seperjalanan (Tala, Ika, Enra, Doni, Kamil, dan Rizki) mengantarkan kami melihat matahari terbit yang kedua yakni silver sunrise (warna keperakan) dari komplek Candi Arjuna dan bercerita mengenai Dieng. Kedua matahari terbit yang terpaut satu jam dalam satu hari itu sungguh menawan hati. Sinarnya menyilaukan mata, mengademkan hati, dan menenangkan jiwa. Benar-benar keagungan Sang Maha Kuasa, memberikan banyak keindahan di pagi hari.

Pagi itu, masih teringat dalam bayangan saya, sinar keemasan dan keperakan berpadu indah di balik bukit nan menjulang tinggi. Sekitar pukul 05.30 WIB, kami telah memasuki kawasan Dieng Segera saja kami membuka kaca jendela mobil, merasakan sejuknya hawa dingin yang masih bergelayut di pegunungan Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Pada pertengahan Juni tersebut, tidak ada yang berubah dari cuaca pagi Dieng. Menurut teman seperjalanan saya, Ika, dataran tinggi Dieng-lah yang membuat kulit terasa digigit semut dan badan menggigil hingga ke tulang. Tentu cuaca seperti ini tidak begitu akrab dengan saya, namun saya sudah mengantisipasinya dengan membawa jaket tebal. Meski begitu, embusan angin dari mulut saya tetap saja menimbulkan kekaguman luar biasa akan pesona alam Indonesia di pagi hari ini, yang mana suhunya mencapai belasan derajat celcius!

Saya mengenal Dieng dua tahun lalu, dimana liputan sebuah majalah berita mingguan menampilkan warisan kekayaan alam dan budaya Indonesia, dan salah satu warisan alam dan panorama itu adalah Dieng. Pun ketika saya berniat ke Jogjakarta dan Semarang, yang terpikir dalam benak saya adalah saya harus ke Dieng. Letaknya pasti tidak jauh dalam benak saya. Jarak tempuh kesana pun tentu akan terbayarkan dengan indahnya pemandangan alam Indonesia dari balik pegunungan. Meski saya sudah melancong ke beberapa daerah wisata Indonesia yang lumayan dingin, misalnya Kerinci, Puncak Bogor, dan kawasan Merapi, namun yang saya rasakan di Dieng sangat berbeda. Entahlah, sepertinya saya jatuh cinta dengan negeri para dewa ini.

Eksotisme Dieng terlihat dari banyaknya candi Hindu dari abad ke-8 yang berada di pegunungan. Keberadaan situs-situs pemujaan para dewa inilah yang menjadi asal mula nama Dieng. Dalam bahasa Jawa Kuno, dhi berarti “gunung” ata “tempat”, sedangkan hyang adalah sebutan untuk para dewa dewi. Jadi Dieng adalah gunung sakral tempat tinggal dewa. “Ada tiga hal yang biasanya kita inginkan di hidup ini yakni, Candi Srikandi (untuk meminta kekayaan), Candi Puntadewa (meminta tahta/jabatan) yang sedang kita duduki, Candi Arjuna dan Candi Sembrada (permintaan jodoh bagi laki-laki dan perempuan), serta Candi Semar. Dewa-dewa yang dipercaya berada di candi-candi inilah yang membuat Dieng dijuluki negeri para dewa,” kata Pak Bogo.

Masih menurut beliau, sejak jaman dahulu masyarakat sering bertandang kesini. Kenapa mereka memilih Dieng? Mencari kesempurnaan hidup-lah jawabnya. Langkah pertama yang dilakukan dalam mencari kesempurnaan hidup adalah mensucikan jasmani atau eksoteri (membersihkan diri), kemudian mensucikan rohani atau isoteri dengan membersihkan diri dari segala dosa. Setelah itu orang tersebut menjadi orang yang suci, dan kemudian ia memohon sesuatu kepada Tuhan yang diharapkan Tuhan akan mengabulkan permintaannya karena ia telah menjadi manusia yang suci. Mereka pun meminta di komplek Candi Arjuna ini untuk kesempurnaan hidupnya.

Tampaknya hal inilah yang menjadi alasan beberapa pria menetap di sebuah tenda di depan rumah warga. Ya, saya menyaksikan sendiri seorang pria yang menurut penduduk sekitar berasal dari Jawa Barat menetap di sebuah tenda berwarna orange di depan rumah warga, dia berada di dalam tenda tersebut bertahun-tahun lamanya dan tidak pernah keluar dari sana seumur hidupnya. Pun rasa penasaran tidak mampu saya tahan, saya dan teman-teman ingin menyaksikan siapa pria di balik tenda orange itu. Meski penduduk sekitar takut melihat secara langsung, justru kami memberanikan diri melihat pria tersebut. Bahkan teman saya cukup cekatan memotret wajah pria berkulit putih itu. Jari tangannya tampak berwarna hitam, wajahnya berkerut, kulitnya berwarna putih, dan raut wajahnya tanpa ekspresi. Teman saya, Enra dan Tala, mengulurkan satu kantong berisikan bakwan goreng, pisang goreng, dan tempe goreng ke beliau. Ia pun menyambut tanpa ekspresi. Well, sungguh mengerikan sih sebenernya, dan cukup saya bergidik melihat hasil foto yang diambil Enra kala itu.

Pesona Dieng belum berhenti disini. Kawasan seluas 39,6 hektare ini memiliki keajaiban alam deretan kawah belerang vulkanik. Kami mengunjungi Kawah Sikidang diantara beberapa kawah yang terdapat di Dieng. Setelah puas mengelilingi kawasan Candi Arjuna, kami bergegas menuju Kawah Sikidang. Dalam perjalanan menuju Kawah Sikidang ini, Candi Bima dan Candi Gatotkaca akan terlihat di sisi kiri jalan. Kedua candi ini mengantarkan kami menuju Kawah Sikidang. Sesampainya disana, kami ditawari penutup mulut alias masker, karena bau belerang lumayan menyengat dari kejauhan. Meski begitu, kami tetap menuju Kawah Sikidang dengan berjalan kaki. Kawah Sikidang memberikan atraksi semburan uap air dan lava kelabu yang melompat-lompat seolah-olah menyambut kedatangan kami. Magnet ini membuat saya berdiri hingga tepi kawah. Semakin dekat, kami semakin kuat menutup hidung.

Tidak beberapa lama di Kawah Sikidang, kami menuju Telaga Warna. Danau yang ada Dieng ini sangat mempesona ketika pantulan sinar matahari tertuju kepadanya. Pohon cemara dan tumbuhan lain yang berada di sekitar Telaga Warna terlihat menawan dipadu dengan sinar matahari pukul 8 pagi. Telaga Warna yang mengandung beleran itu menimbulkan tiga warna: hijau, kuning, dan biru. Ternyata udara di Telaga Warna cukup membuat kami kerasan. Selain berfoto-foto dan menikmati keindahan danau yang airnya sangat dingin ini, kami juga berkeliling memasuki beberapa goa yang ada di wilayah ini. Sayangnya kami tidak memasuki goa, karena beberapa diantaranya masih tertutup. Alhasil kami hanya mengintip dari luar goa saja.

Di daerah salah satu penghasil kentang terbesar se-Indonesia itu, Dieng tentu tempat yang sangat subur untuk bercocok tanam. Buktinya kentang menjadi komoditi terbesar para petani disana. Ketika berada di Kawah Sikidang, penjual keripik kentang banyak menjajakan dagangannya. Kreasi keripik kentang itu ketika saya goreng di rumah sangat renyah dan rasanya maknyus bener! Saya membeli 5 bungkus keripik kentang dengan harga Rp. 10.000 saja, plus dapat bonus satu keripik kentang dari ibu penjual yang baik hati. Saya juga memboyong satu kilo kentang merah, sengaja saya bawa ke Jambi karena sang adik, Sadi, menyukai kentang untuk digoreng. Tentu saja kentang khas Dieng yang berwarna merah ini membuatnya senang. Bahkan ketika saya sudah tiba di Jambi, kentang itu secepat kilat ia ubah menjadi potato crispy yang enak 😀 Oh ya, selain kentang, Dieng juga terkenal dengan penghasil buah Carica. Buah Carica ini ternyata dibikin menjadi manisan yang seger banget. Dengan harga Rp. 10.000, anda bisa mencicipi buah ini.

Ada saru lagi keunikan Dieng yang sayangnya tidak saya saksikan secara langsung. Ya, anak berambut gimbal. Anak berambut gimbal ini kental sekali dengan mitos dan legenda yang ada di Dieng, karena berhubungan dengan keberadaan Ki Temenggung Kolodete, cikal bakal pendiri Dieng, yang menunjukkan keberadaannya hingga sekarang melalui rambut gimbal di anak-anak Dieng. Anak berambut gimbal ini melakukan ruwatan dan harus dipenuhi permintaannya agar rambut mereka dipotong dan tidak gimbal lagi. Anak yang memiliki rambut gimbal dianggap bisa membawa musibah, tapi bila diruwat anak tersebut dipercaya mendatangkan rejeki. Ruwatan bertujuan agar si anak bisa hidup normal. Bila tidak, rambut akan tumbuh lagi dan ia sakit-sakitan. Ritual bocah yang dipotong rambut gimbalnya ini diadakan setiap tahunnya dalam acara Dieng Culture Festival. Hingga kini, sudah tiga kali diadakan di Dieng. Tahun ini ritual anak berambut gimbal tersebut terekam pada 30 Juni-1 Juli. Sayangnya saya tidak melihat secara langsung festival rakyat ini, karena saya sendiri berkunjung ke Dieng pertengahan Juni lalu.

Last but not least, Dieng is awesome for me. Imajinasi saya ternyata tidak salah. Dieng lebih indah daripada perkiraan saya sebelum menjelajah kesana. Banyaknya keunikan dan eksotisme Dieng membuat saya sungguh jatuh cinta dengan alamnya, candinya, cuacanya, dan masyarakatnya. Selang pukul 09.30 pagi, saya harus meninggalkan negeri para dewa itu. Saya kembali menatap hamparan hijau bak permadani surga yang turun ke bumi itu. Well, ini kali pertama saya enggan betul meninggalkan tempat jalan-jalan yang saya tapaki. Entahlah, sepertinya ada sesuatu magnet yang membuat kaki saya enggan masuk ke mobil yang membawa saya kembali ke Semarang. Namun begitu, perjalanan memang harus segera diakhiri. Meski selalu ada kesan pertama perjalanan yang sangat baik yang diberikan Dieng, toh saya harus meninggalkan Dieng. Diantara pucuk-pucuk tanaman berembun itu, diantara masyarakat yang menikmati udara Dieng di pagi hari itu, dan di setiap helaian nafas penuh cinta, saya berujar dalam hati: suatu saat saya pasti kembali ke Dieng, negerinya para dewa bersemayam.

Raminten dan Pertama Kali ke Jogja

Apa yang kali pertama saya kunjungi setelah mendarat di Bandara Adisutjipto Jogjakarta? Well, saya dengan puas mengatakan: RAMINTEEENNNNNN! 😀

Pertama kali ke Jogja membuat saya terkagum-kagum dengan suasana provinsi kecil ini. Berhati nyaman, sebagai simbol kota Jogja membuat saya langsung menyetujuinya. Toh, benar kata orang, kalau sudah ke Jogja, pasti pengen balik lagi! Dan saya pun lagi-lagi setuju kata orang itu. Rasanya tuh ya, nggak cukup sekali ke Jogja, nggak cukup 6 hari di Jogja (seperti yang saya alami). Masih banyak tempat wisata dan budaya menarik lainnya yang harus dijamah.

Saya ke Jogja pada 7 Juni 2012 lalu. Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti kegiatan Java Summer Camp (JSC) #4 di Sleman, Jogjakarta. Saya berangkat dari Jambi sekitar pukul 16.00 dan mendarat di Soetta pukul 17.10 WIB. Dari sini, saya harus menunggu pesawat transit menuju Jogja pada pukul 19.00. Meski delay hingga setengah jam dan sedikit kesal, di benak saya mengatakan: “Sudah, tidak apa-apa Bella, toh Jogja sebentar lagi akan menyapamu.”

Akhirnya setelah satu jam berada di pesawat, sampailah saya di Jogja pada pukul 20.40 WIB. Jogja menyambut saya dengan rintik hujan, ya ternyata sebelum pesawat mendarat di bandara tersebut, Jogja diguyur hujan. Walhasil udara dingin langsung membuat tubuh saya menggigil. Pikiran saya seperti peri di negeri antah berantah, jauh dari orangtua, melancong sendirian, dan ke daerah yang baru pertama kali diinjakkan kakinya. Sontak suasana itu bikin saya takut. Akankah Jogja ramah kepada saya?

Sekitar setengah jam-an lebih, saya menunggu bagasi. Yup, satu backpack Consina sedang saya tunggu bersama para penumpang lainnya. Di sela-sela waktu itu, saya menghubungi Bunga dan Rezha, anak Parlemen Muda Indonesia, yang gokil-gokil 😀 Sengaja saya menghubungi mereka untuk memastikan apakah mereka sudah berada di bandara atau belum, karena mereka-lah yang menjemput saya malam itu. Setibanya menunggu balasan bbm, yang ada malah mereka mengguraui saya. Mereka bilang kalo mereka tiba-tiba nggak bisa menjemput saya karena Bunga disuruh neneknya balik cepat. Well, darah saya berdesir, kalo nggak dijemput mereka, akankah saya jadi gembel di bandara ini? Oh noooooo..!

Untunglah mereka hanya menakut-nakuti saya saja. Kenyataan itu tidak benar sodara-sodara! Mereka ternyata bersembunyi di dekat pintu keluar bandara, dan saya melihat mereka tertawa-tawa bahagia telah mengerjai saya. Piuhhh, senior dikerjai junior haha.. Saya pun say hello dengan mereka. Sedikit basa basi bilang minta maaf kalo harus menunggu terlalu malam. Alhamdulillah mereka berdua baik banget. Saya langsung diajak ke parkiran mobil, menaruh tas dan badan yang sudah letih ini di mobilnya Bunga. Ketika keluar dari bandara tersebut, hati saya lapang. Ahh Jogja, akhirnya aku memelukmu juga :’)

Berfoto bersama Bunga di depan banner House of Raminten 😀

Beranjak dari bandara tersebut, mobil Bunga bermain dengan malamnya Jogja. Pukul 22.00 WIB, lalu lintas jalanan masih ramai banget. Mobil Bunga membawa kami mengitari kota Jogja di malam hari. Sesuai rencana mereka berdua, saya akan diajak muter-muter Malioboro setibanya di Jogja malam itu, tapi karena Malioboro sudah tutup jam segitu, akhirnya mereka membawa saya ke sebuah restoran bernama Raminten, yang terletak di Jl.  FM Noto 7, Kotabaru.

Sesampainya disana saya diberitahu kalo kami harus menunggu tempat yang dipesan, jadi nggak bisa sembarangan masuk kesana. Kami harus mendaftarkan nama pelanggan, kalo tempat masih penuh dengan pengujung kami harus menunggu di Area Sabar. Sesuai prediksi mereka berdua dimana semakin malam Raminten semakin ramai, akhirnya kami duduk di kursi yang telah disediakan sambil menunggu nama kami dipanggil, pertanda waiting list telah berakhir 😀 Saya melirik sekitar, kok pelayannya unik begitu ya?

Pertanyaan tersebut saya simpan hingga kami mendapat tempat di lantai atas. Kami bertiga duduk di saung atas tersebut, lesehan dan agak menyudut dekat tangga. Sampai disini, meski aneh dengan nama Raminten, saya masih takjub dengan tutur kata pelayan yang halus dan tentu saja pakaian yang mereka kenakan. Angkringan semi cafe ini memberikan ciri khas dari penampilan luar dan dalamnya. Dari luar, saya melihat bangunan ini sederhana sekali. Pelayan wanita memakai kemben, sedangkan pria berpakaian ala keraton istana gitu. Molek dan cantik sekali si pria, sedangkan si wanita modis banget. Pakaian batik, sanggul, paras nan ayu, hingga cara bertutur kata yang baik, menjadi ciri khas tambahan mereka. Pun sisi dalamnya seperti harga menu makanan dan minuman MURAH BANGET. Kalian bisa memesan porsi dari Rp. 1.000 – Rp. 25.000 saja! Sungguh harga yang bersahabat bukan? Saya sangat menyarankan backpaker harus kesini, menikmati malam Jogja sambil mendengarkan lagu Jawa. *langsungterbayangsuasananya*

Waktu itu saya memesan nasi goreng dan es dogan (saya lupa dua nama ciri khas kedua menu itu), dan harganya nggak lebih dari Rp. 20.000 lho, so WOW banget deh. Untungnya lagi dibayarin ama Bunga dan Rezha (hehe, makasih adek-adek yang baik). Meski saya tidak mencicipi gudeg atau nasi kucing disini, harganya pun nggak kalah saing ama di angkringan. Berkisar antara Rp. 3.000 – Rp. 15.000 lah. Minuman es dogan itu pun porsinya besar, jadi bisa diminum bersama-sama. sluurrpppp, hilang deh rasa lapar saya 😀

Pukul 23.00, kami mulai beranjak pulang. Rezha diantar Bunga ke rumah kakak seniornya, sedangkan saya dan Bunga ke rumah nenek Bunga yang berada justru dekat bandara. Malam itu saya nggak lupa untuk berfoto di tulisan House of Raminten bersama Bunga. Mojok berdiri seolah-olah seperti Raminten pula haha. Saya juga mengambil kartu Jangan Panggil Aku Raminto di restoran yang buka 24 jam itu. Kesan pertama dateng ke Jogja dan disuguhi Raminten? Oh jelas OK banget! 🙂