Panggilan Itu Bernama Umroh

Tengah malam itu saya berkali-kali menatap Ka’bah dengan tanpa memikirkan apapun. Saya hanya mengingat kebesaran Allah Subhanahu Wataala yang mampu membawa saya menuju tanah haram itu. Betapa Ia baik memberikan kesempatan bagi saya yang masih banyak dosa ini diterima dengan layak disana. Betapa perjuangan untuk meluluhkan hati orangtua, terutama Mama, untuk merelakan anak perempuannya lagi berangkat ke luar negeri tanpa mahram. Betapa tidak pelak saya bersyukur atas semuanya.

 
Tulisan pertama ini hanya mengupas segelintir kejadian sebelum keberangkatan. Teman-teman, ini bukan untuk pamer, riya, sombong, atau apalah yang mungkin sempat terlintas di benak kalian. Tulisan ini tidak lain hanya ingin berbagi kepada teman-teman yang mungkin membutuhkan informasi sebelum berangkat, atau juga ingin sekedar membaca tulisan saya yang sudah lama tidak menghiasi blog ini. Sekiranya ada manfaat yang bisa diambil, saya akan bersyukur sekali, karena tujuan hidup saya ya itu, menjadi manusia yang bermanfaat bagi banyak orang. Saya mohon maaf jika dalam penyampaian ini ada yang kurang berkenan, karena sejatinya pun saya banyak kekurangan. InsyaAllah tulisan blog kedepannya akan dibagikan per tahap tentang perjalanan yang saya rasakan bulan lalu.

 

 

Saya Dipanggil, Segera!

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umroh karena Allah…” (QS. Al-baqarah: 196)

 
Sebenarnya ajakan untuk berumroh sudah terlontar dari orangtua saya sejak November 2014. Kala itu Mama dan Papa akan berangkat umroh pada Desember 2014. Hanya saja saat itu saya merasa harus banyak memperbaiki diri dan berkeinginan untuk berangkat kesana dengan uang sendiri (saat itu uang saya belum cukup dan akan banyak menggunakan uang orangtua daripada uang saya sendiri). Saya bilang ke Mama bahwa saya akan berangkat jika waktunya telah tepat dan murni menggunakan uang saya sendiri. Dalam hati saya berpikir, kapankah waktu yang tepat itu?

 
2017. Ya panggilan itu hadir di awal 2017. Saya merasa saya harus kesana untuk mengadukan semuanya, untuk bercerita kepadaNya, untuk meminta pada Sang Pencipta jagad raya ini, untuk bermuhasabah di hadapan Ka’bah langsung, dan untuk-untuk lainnya. Hanya saja saat itu kendalanya adalah izin belum didapatkan dari orangtua, terutama Mama. Beliau khawatir saya ke tanah yang nggak biasa itu sendirian tanpa mahram, sedangkan orangtua juga sudah umroh dan haji, jadi belum dulu untuk berangkat kesana. Saya paham, saya mafhum, saya nurut.

 
Kemudian pertengahan menuju akhir 2017 saya ‘merengek’ lagi ke Mama. Kali ini khusus ke Mama, karena Papa sejatinya telah merelakan saya berangkat sendiri. Saya bilang ke mama bahwa keberangkatan ini nggak sama seperti saya ke Amerika Serikat dulu. Ini bukan untuk jalan-jalan, tapi untuk beribadah. Saya ingin Mama merestui harapan saya. Namun, restu itu belum juga didapatkan.

 
Hingga saya legowo dan nggak terus-terusan meminta permohonan ke Mama, saya pun berusaha untuk “Ya sudahlah.” Dalam hati mikir, kok ya nggak boleh, kan disana bakal dengan bapak ibu lainnya juga. Apa Mama takut anaknya ini diculik orang Arab karena terlalu hobi jalan-jalan sendirian, apa mungkin Mama khawatir kalo saya bakal hilang disana, dan kebingungan lainnya yang saya simpan sendiri. Di sisi lain, keberangkatan saya semakin kuat karena niat dan uang tabungan yang telah mencukupi (uangnya terkumpul dari tabungan bertahun-tahun dengan Mama dan disokong uang beasiswa S2). Kedua hal ini sudah di tangan, namun Mama masih diam nggak bergeming.

 
Pun 2018 berganti, menuju awal Februari. Di bulan itu saya mengalami apa yang orang bilang saat di SPBU: “Mulai dari nol ya.” Saya merasa saya harus mulai dari nol. Saya merasa saya harus memohon ampun atas segala keburukan, kekhilafan, dosa, dan kejelekan yang pernah ada pada diri saya, yang mungkin secara sengaja atau nggak sengaja saya lakukan, baik itu kepada diri sendiri atau orang lain. Saya meyakini pula Allah Subhanahu Wataala insyaAllah akan mengampuni semua itu kepada saya. Saya juga berharap rezeki dariNya untuk saya akan diberikan pada tahun ini. Rezeki yang saya rasa hidup saya belum bermakna, saya belum membahagiakan orangtua, dan saya harus sukses bersama orang yang saya yakini akan membimbing saya menuju surga jannah. Terlebih lagi sebuah kejadian membuat saya akhirnya terus berpikir bahwa saya harus ke Mekkah. Yang saya yakini adalah Allah Subhanahu Wataala adalah Sang Pemberi Keputusan Terbaik. Apapun keputusanNya, saya siap. Maka bermodal kedua hal itulah, akhirnya Mama memberikan izin kepada saya. Dan pada tanggal 9 Februari 2018, saya mantap melangkahkan kaki ke kantor bimbingan perjalanan haji dan umroh, Chairul Umam dengan Papa saya.

 
Teman, perjuangan ini belum selesai, tidak hanya mendaftar dan menyerahkan uang 1 bulan sebelum keberangkatan saja, namun juga selama 1 bulan itu saya dituntut harus bisa mengatur waktu dengan baik. Membaginya dengan seefisien mungkin, termasuk harus meluangkan waktu dari Jum’at hingga Minggu untuk mengikuti manasik umroh. Manasik umroh di Chairul Umam dilaksanakan selama 3 kali dalam 1 minggu. Pertama hari Jum’at di kantor Chairul Umam di Beringin, disana hadir ustadz yang memberikan tausiyah tentang persiapan keberangkatan haji dan umroh. Hari kedua pada hari Sabtu bertempat di Masjid Sukarejo di TheHok, dengan tema yang sama di hari pertama. Hari ketiga adalah hari Minggu di Asrama Haji Kotabaru, dimana saya melaksanakan praktek dari teori yang sudah didapatkan selama 2 hari sebelumnya.

 
Selama 1 bulan itulah saya bertemu dengan bapak dan ibu, ya sebuah perkenalan yang nggak biasa. Karena selama ini biasanya kenal dengan anak muda, nah sekarang harus bisa beradaptasi dengan orang yang lebih dewasa daripada saya. Bermodalkan salam, senyum, sapa, dan bertanya “Ibu berangkat haji atau umroh?”, maka perbincangan terus mengalir. Kerap saya sedih saat ditanya berangkat dengan siapa, karena memang hanya saya sendiri yang berangkat. Dan serentetan kalimat tanya berikutnya yang saya jawab dengan senyum.

 
Bukan hanya perkenalan dengan sesama jamaah umroh yang harus saya lakukan, saya juga harus menyiapkan fisik yang prima dan perlengkapan yang nggak boleh tinggal sepeserpun dari Jambi. Saya jadi makin intens olahraga setiap pagi atau sore dengan cara jogging di sekitar area RSJ dekat komplek rumah saya. Saya mendorong diri untuk berlari (meski dengan terengah-engah) dalam waktu dan jarak tertentu agar tubuh saya terbiasa untuk berjalan jauh. Saya juga berusaha untuk mengatur pola makan yang nggak hanya sekedar tekwan, bakso, soto, dan teman-temannya, namun juga mengikuti anjuran dokter untuk makan buah dan istirahat lebih awal (nggak bergadang). Di sisi lain saya juga mendapatkan selembar kertas tentang barang-barang apa saja yang harus saya bawa, saya juga membeli perlengkapan yang sekiranya Mama nggak ada (karena sebagian besar barang-barang umroh saya pakai dari milik Mama). Saya membuat daftar barang yang akan dibeli dan memastikan sudah ada di koper 1 minggu sebelum berangkat. Tambahan lagi, mendekati minggu sebelum berangkat saya harus sementara off mengajar dan menyelesaikan tugas kuliah. Lumayan hectic sih, karena meski saya sudah off mengajar, tetap saja tugas kuliah dituntut harus selesai sebelum saya berangkat, agar saya tenang beribadah di Mekkah. Dan satu hal lagi, setiap malam nggak henti-hentinya saya diingatkan dari A sampai Z mengenai apa yang harus dan tidak harus saya lakukan di Mekkah dan Madinah oleh orangtua saya, pun di sisi lain orang-orang terdekat juga mendukung dan memberikan wejangan. Alhamdulillah bekal ini lumayan membuat saya siap berangkat.

 
Lantas hari itu tiba. Hari dimana saya harus berangkat sendiri, yang seumur hidup saya bahkan nggak pernah menangis sesenggukan seperti kemarin. Hari dimana saya telah menyelesaikan perlengkapan yang akan saya bawa, hari dimana saya harus melaksanakan sholat safar pertama kali di hidup saya, hari dimana hati saya terombang-ambing dan bertanya: “Apakah saya diterima dengan baik di tanah haram?”

 
Hingga pagi di tanggal 14 Maret 2018, orangtua dan kedua adik mengantar saya ke bandara. Memakai jilbab Chairul Umam berwarna kuning, baju gamis putih dilapisi baju batik Chairul Umam, dan segenap doa dan restu dari mereka, hingga air mata yang keluar saat saya harus masuk ruang pemeriksaan bandara Sultan Thaha Jambi sambil memegang tisu untuk menyeka air mata, dan berkata kepada Mama, “Ma, doain Ayuk disano yo.”

 

 

Hanya itu, hanya itu yang saya ucapkan kepada Mama, sembari mencium tangan Mama dan Papa, serta kedua adik laki-laki. Langkah kaki saya

Traveling with Garuda Indonesia

Foto di pesawat sebelum take off dari Jakarta ke Jeddah

mantap. Ya, restu itu telah didapatkan. Doa-doa telah dikabulkan untuk tahap pertama keberangkatan ini. Alhamdulillah, panggilan bernama umroh itu akhirnya tiba. (bersambung)

Jadilah Tangguh!

Allah SWT, aku sangat tahu bahwa ketetapanMu adalah yang paling baik dari prasangkaku sendiri

Allah SWT, aku sangat percaya bahwa keputusanMu terhadapku adalah terbaik bagi hidupku saat ini

Aku sadar bahwa Engkau memberikan rezeki berbeda kepada setiap hambaMu

Aku yakin apapun rezeki itu, ketetapan dan keputusanMu telah tertulis di Lahul Mahfuzku

Namun mengapa ya Allah, kadang aku merasa aku sudah lelah?

Setan apa ini yang merasuki pikiranku di kala aku merasa sudah tidak sanggup lagi?

 

Allah SWT, aku sudah membuat pertahanan yang kuat untuk hal itu

Aku juga sudah membentengi diriku untuk tidak terjatuh lagi

Aku pun sudah berkeras diri untuk tidak mudah terhempas

Namun mengapa kali ini pertahanan itu runtuh lagi, ya Allah?

Apakah aku perlu menancapkan benteng hati lebih kuat dan lebih keras lagi?

Atau aku harus apatis?

 

Ya Allah, Bella tahu, sangat tahu, bahwa Allah SWT tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya sendiri memikul beban itu

Bella juga paham bahwa setiap kesulitan pada hambaMu pasti akan kemudahan

Bella juga sangat mengerti bahwa rezeki setiap orang berbeda, termasuk kapan Engkau harus menangguhkan rezeki itu dan kapan Engkau akan mengabulkannya

Bella juga akan selalu ingat bahwa Allah SWT tidak pernah tidur, Engkau selalu mendengar doa hambaMu, bahkan meski itu tertulis di dalam hati

 

Kalaulah segala hal tersulit Bella harus Bella lalui karena dosa-dosa yang pernah Bella perbuat, sungguh ya Allah Bella nggak sanggup harus menerima azab itu di dunia ini, apalagi di akhirat kelak

Kalaulah Bella banyak salah kepada Allah SWT dan manusia, sungguh ya Allah Bella akan selalu beristighfar memohon ampun kepadaMu

Kalaulah taubat nasuha dan segala doa, bahkan semua sholat telah Bella lakukan, namun Allah SWT masih memberi tantangan ini, tolong kuatkan Bella ya Allah

 

Ampunkanlah dan terimalah taubat nasuha Bella, ya Allah

Kuatkanlah Bella, ya Allah

Tangguhkanlah Bella, ya Allah

Ikhlaskanlah Bella, ya Allah

Sabarkanlah Bella, ya Allah

Semangatkanlah Bella, ya Allah

Buatlah Bella selalu percaya terhadap qada dan qadarMu

Yakinkanlah Bella bahwa yang terbaik akan Engkau berikan kepada Bella

Hidupkanlah selalu harapan dan ikhtiar hanya kepada Allah SWT

 

Sungguh ya Allah, aku tidak sabar menemuimu di tanah Mekkah nanti

Aku ingin bercerita kepada Allah SWT yang paling tahu isi hati manusia sejagad raya dunia ini

Aku ingin memohon ampun di tempatMu

Aku ingin Engkau mengabulkan doa dan harapanku di tempat terbaikMu

Semoga Engkau menerimaku yang masih berlumur dosa, kejelekan, dan kehinaan ini di tanah haramMu

Sungguh ya Allah, aku tidak sabar menanti waktu itu

Lampaui Batas Dirimu!

14

            “You have the power in your hand when you have it in your mind.” -René Suhardono-

Siapa diantara kita yang terkadang merasa saya tidak bisa melakukan apapun? Siapa diantara kita yang seringkali mengatakan bahwa saya mustahil melampaui batas diri karena saya sendiri memiliki keterbatasan diri? Siapa pula diantara kita yang justru urung melangkah ke depan hanya karena takut kalah, takut gagal, dan berpikir bahwa itu hanya menyia-nyiakan waktu? Lalu pada akhirnya kita memilih diam, jadi penonton, dan menunggu keajaiban datang. Oh well, bukankah hidup selalu menuntut kita untuk mengambil resiko dan mendaki jalan yang terjal?

Jika teman-teman mengingat perjuangan Rasulullah SAW yang membawa kita dari alam jahiliyah hingga ke alam yang penuh keberkahan ini, tentu teman-teman paham bahwa Rasulullah SAW telah melampaui batas dirinya untuk berjuang menyebarkan Islam di dunia ini. Jika bukan karena kecintaan Nabi Muhammad SAW terhadap Allah SWT, jika bukan karena keteguhan hatinya untuk menjalankan perintah RabbNya, tentu kita tidak mampu menikmati indahnya dunia. Sudah sepatutnyalah kita juga meniru pribadi agung tersebut.

“Dan tiadalah Kami mengutus Engkau wahai Muhammad, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (Q.S Al-Anbiyaa’ (21):107)

Lantas bagaimana kita mampu meniru Rasulullah SAW, melampaui batas diri, menjadikan hidup lebih bermanfaat dan bermakna? Ada beberapa hal yang menurut saya dapat menjadi pertimbangan kita agar dapat melampaui batas diri, yaitu:

  1. Keluar dari zona nyamanmu

Setiap orang pasti akan merasa bahwa kehidupannya saat ini sudah mantap, sudah aman, tidak perlu melakukan apapun lagi, jadi ya let it be. Namun, kalau kamu ingin mengubah hidupmu, pikirkanlah kalimat di atas sebagai penentu pertamamu. Jika kamu tidak ingin keluar dari zona nyaman, bagaimana mungkin kamu bisa melampui dirimu? Tidak mungkin akan meraih sesuatu kalau kita masih terkungkung disana bukan? Jadi tinggalkan zona nyamanmu, teman!

  1. Miliki impian

Penting sekali lho untuk memiliki impian. Jika tidak memiliki impian, hidup akan seperti gitu-gitu saja. Ya orang kesana, kita ikut kesana. Orang kesini kita ikut kesini. Umur bertambah, and we do nothing. Percayalah, impian bukan sekadar angan-angan panjang yang mustahil untuk diwujudkan. Justru jika kamu berusaha bersungguh-sungguh dan selalu berdoa kepada Sang Maha Kuasa, insyaAllah impian tersebut yang akan menjadi pencapaian terbaikmu dalam mengenali kemampuan diri.

  1. Berjejaring dan miliki mentor/coach

Coba deh hitung jumlah teman atau sahabatmu? Apakah dari tahun ke tahun sama saja atau bertambah? Apakah lingkaran pertemananmu berdampak baik untukmu? Apakah kamu dapat berdaya bersama mereka? Jika kebanyakan tidak, sudah saatnya kamu berjejaring dengan mereka yang memiliki keinginan yang sama pula denganmu. Bertemanlah dengan siapa saja, namun kamu juga perlu memilih mereka yang terbaik yang dapat membimbing kamu melejitkan potensi diri. Jika kebetulan menemui seseorang yang mampu menjadi mentor atau coach kamu, ada baiknya kamu meminta kepada dia apakah dia bersedia.

  1. Berpikiran positif

Orang yang di dalam dirinya hanya ada pikiran negatif akan berdampak pada pandangan dan tingkah lakunya di kehidupan nyata. Justru mereka yang memiliki pikiran positif akan lebih dahulu sukses, tidak terpenjara dengan pikiran negatif yang membuat mereka urung melakukan sesuatu. Bagaimana supaya memiliki pikiran positif? Kuncinya sederhana, perbanyaklah membaca dan berdiskusi dengan orang-orang yang berpikiran positif.

  1. Merawat hati dengan beribadah

Siapapun kita, apapun agama kita, dari mana saja kita berasal, apapun suku kita, satu hal yang harus kita jaga adalah merawat hati dengan berinteraksi dengan Tuhan Yang Maha Esa. Beribadah, berdoa, memanjatkan kecintaan kita kepadaNya, akan membuat kita tetap berada pada jalan yang seharusnya kita yakini akan membuat kita lebih baik. Tentunya kita butuh bimbingan Allah SWT bukan agar diri kita tetap berada dalam batasan yang seharusnya?

  1. Restu orangtua

Jangan pernah melakukan apapun tanpa restu orangtua. Mereka yang melahirkan, merawat, membesarkan, dan membimbing kita sedari kecil adalah kunci utama agar diri kita menjadi pribadi lebih bermanfaat dan bermakna bagi semesta. Seandainya tanpa restu orangtua, tidaklah kita bisa raih apapun yang kita inginkan? Jadi, berbaiklah kepada mereka, selalu doakan mereka, berkata baiklah, dan sering-sering lah berinteraksi untuk belajar kehidupan dari mereka. InsyaAllah kemampuan kita untuk melampaui batas diri akan lebih diridhoi oleh Allah SWT jika disertai dukungan dari orangtua.

Guys, seperti yang kata René sebutkan di atas, kita lah yang punya kuasa atas diri kita. Jika kita percaya ada kekuatan di dalam diri kita, maka kita dapat mewujudkannya. Tips di atas hanyalah penuntun bagi kau agar selalu semangat. Terlepas dari itu, kamu sendiri yang menentukan hidupmu. Good luck with your life!

Good morning, Jambi!

20170108_071213

Sunny clouds in the sky this morning. This is Jambi, how about you there?

New day begins with sincerity. Let’s begin your Sunday more powerful!

Assalamualaikum, good morning, how is your life? Everything is good, right? I wish your activity run well too.

Morning means a lot for me. I woke up this morning at 6 a.m. Actually, I wanted to follow my parents’ activity every Sunday morning, running around the house and RSJ. Usually they started at 5 a.m. after Subuh pray. But I hadn’t wake up yet at that time haha. In last night, mom said that she was not running well, so I thought she didn’t do sport with my dad. Unfortunately, my both parents already asked me at 5 a.m. if I want to join with them or not, and sadly I didn’t hear their voice. ‘__’ Suddenly at 6 a.m. I listened my mom’s voice. She shouted to me that she, followed by my dad and my youngest brother, would go somewhere, because my youngest brother wanted to drive the car (my youngest brother learned it about four days in course). And I left these two activities in the morning!

Then, I decided not to sleep anymore. I thought I wanted healthy life. I started gym in my second floor, especially in outdoor terrace. Yeah like gym as usual, counted one until eight for each position. It took around 10 minutes. Then, I opened my mobile phone, I looked Youtube channel and searched for Senam Riang Anak Indonesia, a gym that Indonesia Mengajar gave to me when I followed their training before went to Rote Island, East Nusa Tenggara. I liked this gym very much! Although it’s just appropriate for elementary students, but I always tried it when I had gym. The moving so easy and fun, and reminded me when I did it with my Rote kids. #alwaysPMsick Well, I did it twice and powerfully! Haha. After it, the next gym was penguin dance. It’s funny gym, I thought. I enjoyed it so much. Never been happy like this morning before!

Next I took breathe. I was so tired. I was sweat. Unfortunately, I hadn’t finish it yet. Because my parents hadn’t arrived yet in my house, I continued my sport. I decided to try push up, sit up, and back up again. Long time I didn’t do this sport! 20 times for each, I did it. While I did it, I remembered about my training in Indonesia Mengajar every morning at that time, we were supposed to do sport at 5 a.m., and did these hard activities. It seemed unusual for me because I rarely did it. After 15 minutes, you can imagined, am I so exhausted? That’s true! I was so happy, Alhamdulillah. I could do it again, no doubt. I thought I couldn’t, but I could do it with high spirit.

Around 7.15 a.m., I finished my gym. I opened this laptop and wrote it. In 2017, I have many resolutions, such as do sport/gym and write English writing. I want to have healthy life every week, so I do sport. After gym, I decided to write. Maybe this kind of English writing is not important to you, only gives your activity to others, but for me I want to hear back from you, if there is any mistakes and suggestions, please tell to me. I will open my mind. Yup, I want to write English writing because I start to learn IELTS, especially writing, as one of my 2017 resolutions too. Well, I wait your opinion, mate!

Hmm, I think that’s all about my Sunday activity this morning. After this, I want to clean my house, sweep the floor, wash and iron the clothes, cook some foods (I wish my cooking as delicious as this writing, haha), watch travel television program, takziah to my friend’s house who just passed away, go to wedding reception with my students, and study TOEFL (especially listening). I wish I can handle it. And I wish your activity run well too. Have a nice weekend. Greeting from these lovely cloud!

Menjadi 26

Tulisan ini adalah hasil refleksi saya selama 26 tahun hidup di bumi, 2 Mei 2016 lalu…

 

Salah satu mentor saat saya mengikuti kegiatan pelatihan kepemudaan di Jakarta, seorang wanita tangguh yang menginvestasikan dirinya untuk pengembangan kapasitas diri anak muda, Bunda Tatty Elmir, mengirimkan ucapan rasa syukurnya bagi saya yang telah berumur 26 tahun pada 2 Mei lalu di dinding Facebook:

 

                “HBD Bella, sehat ceria, penuh karya dan berbagi yang tak pernah alpa. Selamat merayakan tanggal juang Ibu hebat melahirkan anak yang tak kalah hebat. Titip peluk buat beliau. :))”

 

Ya, saya punya ibu hebat. Ibu yang tidak seperti ibu kebanyakan. Ibu saya adalah pribadi yang sederhana. Dimana saya dan adik-adik diajarkan untuk hidup hemat. Yang ikan sepotong bisa dibagi rata. Yang dari kehematannya itu, kami bisa menikmati kehidupan yang lebih baik saat ini. Ibu saya juga tidak haus akan kehidupan dunia. Saat ibu-ibu lain memiliki smartphone canggih atau berbelanja di mall, ibu saya; yang justru sebenarnya punya pundi-pundi untuk memiliki itu semua, malah tidak tertarik untuk berbelanja yang tidak penting.

 

Ibu saya juga orang yang terlalu memikirkan kehidupan anak dan saudaranya, di saat beliau sendiri bahkan kurang memperhatikan kesehatannya sendiri. Bahkan kadang menurut saya, ibu terlalu sensitif untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Ia bahkan bisa sedih seharian gara-gara adik nomor dua yang tidak membalas SMS atau menjawab telponnya. Ibu saya orang yang terlalu peduli dengan kehidupan orang lain, beliau ingin membahagiakan keluarganya. :’))

 

Jadi, wajar saja saya yang selalu banyak salah ini, kadang sedih harus melihat mama; begitu saya dan adik-adik memanggilnya, saat beliau tidak enak hati. Ya, siapa sih yang bahagia melihat ibunya sedih? Akhir-akhir ini mama bahkan banyak member wejangan kepada saya untuk kehidupan masa depan. Well, you know what I mean about “future life” lah ya. Namun, kadang mama tidak menyadari bahwa anaknya juga berjuang dan tidak lelah berdoa, meski Allah SWT masih belum member kepastian. Disini kadang saya sedih belum memenuhi harapan mama yang spesial itu. Jujur, menjadi beban rasanya kalau keinginan orang yang kita sayangi belum terpenuhi. Namun apalah daya segala ketetapan Allah SWT belum memberikan tanda-tanda yang pasti.

 

Selain mama yang hebat, saya juga punya papa yang hebat. Papa yang pekerja keras, sekeras hati dan pikirannya seperti saya. Kerja kerasnya untuk membuat keluarga yang lebih baik menampakkan hasilnya. Tentu saja saya dan adik-adik termotivasi untuk melakukan hal serupa. Tidak ada kata ‘malas’ dalam kehidupan yang harus diperjuangkan. Jadi, kalau teman-teman melihat sifat keras saya (entah dalam bidang apapun, keras kepala, pekerja keras, atau suara keras, hehe…), itu justru menurun dari papa.

 

Papa juga pemimpin yang tegas. Ia sepertinya terlatih untuk tegas dan disiplin dalam bertindak. Ditambah lagi papa berkali-kali dipercaya memimpin institusi. Meski kadang papa juga pernah mengeluh, tapi ketegasan papa tidak pernah luntur. Kata mama, sifat tegas dank eras sepertinya sudah bawaan suku Komering Palembang, hehe… Pernah saya melihat papa berbicara dengan tegas kepada partner kerjanya. Bagi papa, tegas dalam memimpin itu harus, apalagi memimpin keluarga. Jangan lembek dan tidak punya pendirian. Untuk hal ini, saya setuju dengan ketegasan papa.

 

Last but not least, mama yang hebat dan papa yang hebat belum membentuk anak yang hebat. Saya merasa saya masih banyak kurang membahagiakan mereka. Jadi kalau ada yang bertanya kenapa tidak begini, tidak begitu,seperti dulu yang mungkin mereka lihat saya aktif, saya bisa katakan ini kepada mereka:

 

“Sepertinya 26 tahun hidup ini, saya terlalu banyak menyusahkan orangtua. Selama 26 tahun ini terlalu banyak saya berada di luar pengawasan mama dan papa. Maksudnya saya sering pergi ke luar Jambi dan meninggalkan orang tua. S2? Di usia saat ini untuk mengambil S2, saya mengkhawatirkan usia. Harapannya nanti bisa belajar, entah itu untuk S2 atau short course, saat saya sudah menikah (doakan ya!). Semoga pendamping hidup saya nanti juga mengizinkan saya untuk terus belajar, jadi saya tetap bisa meraih impian saya. Oya di sisi lain jika saya mengambil S2, saya inginnya di luar Jambi, nah kalau lolos jadi pilihan sulit bagi saya. Masa harus keluar Jambi lagi? Masa harus meninggalkan orangtua lagi 2 tahun? Masa di rumah hanya mama, papa, dan adik bungsu saja? Jadi jawabannya, saya masih ingin berada di dekat mereka, ingin membahagiakan mereka sebelum saya atau salah satu dari mereka meninggal. Saya ingin berbakti kepada kedua orangtua dengan kemampuan yang saya miliki. Satu doa dari mama, yang juga menjadi capaian untuk membahagiakan mama dan papa, adalah menikah. Bukan ingin diburu-buru, tapi kata mama sudah waktunya, jangan terlalu terlena dengan cita-cita yang tidak akan ada habisnya. Doakan saya bisa membahagiakan mama dan papa, doakan saya agar harapan saya menikah sebelum umur 27 tahun terwujud, doakan saya agar mama dan papa masih sehat saat saya menikah nanti. Doakan saya semoga Allah SWT memberikan keputusan terbaik pada setiap keputusan yang saya ambil. Saya percaya, ridho Allh SWT juga ridho orangtua. Jadi, insyaAllah semua akan terlaksana pada saat yang tepat.” :”)

 

 

A Journey to Catch a Dream

Heart beating
Aku asyik memilih kain untuk dibuat jilbab di sebuah toko testil di kotaku, Jambi. Jilbab satin yang kupilih tidaklah mudah seperti yang kukira. Perlu waktu beberapa lama untuk mencari warna navy, pink, dan ungu. Seketika aku turun ke lantai bawah, menyegerakan pembayaran di kasir. Sesaat setelah sampai di kasir dan membayar sejumlah uang, aku membuka tablet yang saat itu masih baik kondisinya. Sebuah pesan dari seorang kakak perempuan, mbak Aurel, Public Affairs Assistant masuk melalui media social; Whats App.
“Bellaaa, selamaattt! Kamu lolos untuk ikut program IVLP ke Amerika! Aku barusan dapat kabar dari atasanku.”
Heart beating. Dalam kondisi berkecamuk, bayangan perjuangan masa lalu itu menari-nari di benakku. Jatuh bangun mencapai cita-cita yang diimpikan sejak lama itu membuat air mata meleleh selama di perjalanan menuju ke rumah.

You May Say I’m a Dreamer, but I’m Not the Only One
Tulisan tentang ‘dream’, entah sudah berapa kali aku tulis. Entah sudah berapa kali aku mencari peluang ini. Bermula dengan kalimat bahasa Inggris di atas, peluang yang tak kunjung tiba tadi tidak menyurutkan langkahku untuk terus berusaha. Karena aku yakin, bukan aku sendiri yang bermimpi. Ada banyak orang yang memimpikan hal yang sama, meski memang tujuannya berbeda.
Sejak awal kuliah, bahkan hingga selesai mengajar di Pulau Rote, satu tahun lalu, mimpi itu masih kuletakkan di depan kening ini. Aku sempat berbincang dengan sahabat yang bahkan tetap meyakini diriku untuk mendaftar beasiswa, meski pada saat itu aku sedang tidak ingin mengurus beasiswa. Kadar keinginan itu sedikit berkurang, tak semeluap dulu, namun aku yakin suatu saat akan tiba untukku. It will be my turn someday.
Hingga akhirnya pertemuan tak sengaja dirancang oleh Allah Swt. Pertengahan Desember tahun lalu aku dihubungi oleh kak Cea, pendiri KOalisi Pemuda Hijau Indonesia (KOPHI) yang berpusat di Jakarta. Saat itu kak Cea bertanya apakah ada komunitas yang dapat diajak bekerja sama untuk mengorganisir kegiatan komunitasnya yang mendapat dana hibah dari US Embassy Jakarta. Aku pun menawarkan Sahabat Ilmu Jambi (SIJ), komunitas yang memang dari dulu aku bersama teman-teman menggiatinya.
Kak Cea setuju, dan aku menghubungkannya dengan Yani dan Rieo. Mereka pun berhubungan langsung dengan kak Cea. Aku sama sekali tak ikut campur karena saat itu sudah bekerja. Waktu untuk berkegiatan di SIJ sedikit berkurang, di sisi lain pegiat lain yang lebih muda dan memiliki waktu luang cukup banyak. Jadi aku sama sekali tak ikut campur untuk urusan Social Media for Social Good yang sudah dirancang KOPHI dan US Embassy Jakarta.
Well, waktu pelaksanaan akhirnya tiba. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada pertengahan Januari. Jambi adalah kota pertama roadshow tersebut. Dan kak Cea akhirnya ke Jambi bersama teman-temannya dari KOPHI dan US Embassy Jakarta. Aku pun bertemu dengan kak Cea, dan ini pertemuan kedua kalinya dengan beliau. Aku bertemu dengan kak Cea pada hari kedua roadshow.
Pada hari itu, aku juga berkenalan dengan mbak Aurel, perempuan yang mengirimkanku pesan melalui Whats App tadi. Obrolan yang tidak begitu panjang itu berisikan pertanyaanku tentang tugas beliau di US Embassy Jakarta, kenapa memilih kota Jambi sebagai salah satu destinasi roadshow, apakah sudah pernah ke Jambi, dan apakah ada peluang untuk ikut kegiatan dari US Embassy Jakarta. Saat itu juga mbak Aurel bertanya tentang aktivitasku yang bekerja di SMP SMA SMK Islam Attaufiq, pengajar muda Indonesia Mengajar pada tahun lalu, serta inisiatif pendidikan melalui Sahabat Ilmu Jambi.
Aku menerka pembicaraan tersebut tak lebih dari 30 menit, karena saat itu aku tahu bahwa mbak Aurel akan pulang ke Jakarta pada sore hari, sedangkan aku tiba di lokasi roadshow pukul 14.00. Tak pelak pembicaraan pun tidak banyak, mbak Aurel memberikanku kartu namanya sambil berjanji akan memberitahuku informasi kegiatan di luar negeri suatu hari. Aku tak berharap banyak pembicaraan singkat tersebut akan berdampak manis beberapa bulan kedepan.
Selang dua bulan kemudian, mbak Aurel menghubungiku kembali. Ia mengirimkanku pesan Whats App yang memintaku untuk mengirim curriculum vitae secepat mungkin. Aku yang tidak mengerti kenapa harus kirim CV ini sempat menanyakan hal tersebut kepada beliau. Dan ia menjawab, “Untuk direkomendasikan ikut program ke Amerika.”
Membaca pesan tersebut membuat aku tak ingin terlalu banyak berharap. Aku belajar saat jadi pengajar muda dulu, kami diminta untuk low expectation terhadap tempat belajar kami selama satu tahun. Kini meski sudah berganti status menjadi alumni pengajar muda, dua kata tadi tetap aku ikhtiarkan saat memiliki keinginan baik. Esok harinya, email terkirim. CV singkat sebanyak dua halaman itu aku kirimkan, aku mempersingkat informasi dan menulis lebih detail.
Dua bulan kabar dari mbak Aurel belum menunjukkan hasil yang positif. Aku sedikit pesimis apa bisa lolos atau tidak. Diantara harapan yang muncul itu, aku pernah bertanya soal program yang nantinya lolos apakah dibiayai atau tidak, apa nama programnya, dan lain-lain. Tapi mbak Aurel tidak terlalu menjawab detail. Aku pikir mbak Aurel tidak memberitahu secara detail karena belum ada keputusan dari atasannya.
Akhirnya pada akhir Mei lalu, tepatnya 27 Mei 2015, pesan WA pada paragrap pertama di atas hadir di tabletku. Kepingan memori perjuangan itu menggelayut di benakku. Aku yang antara senang dan sedih membaca pesan itu, membawa motor dengan cukup pelan. Aku ingat perjuangan yang kulakukan saat masih menjadi mahasiswa. Aku ingat harus keliling lapangan KONI. Aku ingat harus berkali-kali menjawab pertanyaan dan mengirimkan email. Aku ingat bahwa lebih dari 10x aku mencoba berusaha untuk ke luar negeri.
Yang kucemaskan adalah, keberangkatanku bertepatan dengan keberangkatan orangtuaku ke Mekkah. Lantas bagaimana dengan adik bungsuku, Sadi? Apa mungkin aku menolak kesempatan yang sudah kutunggu bertahun lamanya? Apakah mama papa mengizinkanku? Apa aku mendapat izin dari sekolah tempatku bekerja?

A Journey of Thousand Miles Begin With a Single Step
Beribu mil perjalanan baru akan dimulai dalam beberapa hari lagi. Sejujurnya beribu mil perjalanan ini tidak hanya sekedar jarak, namun pembelajaran memahami diri dan Islam yang lebih baik. Ya, perjalanan yang panjang untuk meraih mimpi ini juga dimulai dari langkah pertama, yang masih gontai dan tak tentu arah. Finally, a nice journey come to me.
Keikutsertaan dalam program International Visitor Leadership Program ini merupakan single country program dari pemerintah Amerika Serikat, melalui Department of Education State, dan diteruskan melalui US Embassy di masing-masing negara. Insya Allah pembelajaran baru akan dilalui selama 3 minggu di Amerika Serikat bersama 12 peserta lainnya, yang juga pengajar muslim di sekolah Islam, pesantren, perguruan tinggi Islam, dan perwakilan Kementrian Agama. Insya Allah saya berangkat ke Jakarta dari Jambi pada 3 September siang, dan pada 4 September akan ada briefing di kantor US Embassy di Budi Kemuliaan, selanjutnya akan mempersiapkan keberangkatan pada malam hari. Sedangkan keberangkatan dari Jakarta insya Allah akan dimulai tengah malam menuju tanggal 5 September.
Lagi-lagi syukur tak terhingga dipanjatkan kepada Sang Maha Pencipta. Saya bersyukur perjalanan ini ditemani oleh banyak pengajar muslim, yang artinya tak akan ragu untuk memilih makanan halal, menentukan arah kiblat dan waktu sholat, serta memperluas pertemanan (meski saya peserta termuda pada program ini). Muslim Educators, begitu program ini dinamai, membuat saya harumempersiapkan banyak referensi tentang Islam. Tak bisa dipungkiri, aksi segelintir orang pada 11 September 2001 dulu mengakibatkan kepercayaan negara barat terhadap Islam sedikit turun. Saya ingin keberangkatan ke Amerika ini menjadi salah satu cara menjadi agen muslim yang baik, meski saya menyadari saya sendiri belum baik sepenuhnya.
Rencana Allah Swt indah sekali. Bahkan di saat saya sudah hopeless dan membiarkan keinginan untuk ke luar negeri berhenti sementara waktu, ternyata Ia membukakan jalan dengan cara seperti ini. Sang Maha Adil tampaknya mengerti bahwa di saat kita ikhlas, ia akan menggantinya dengan yang lebih baik. :”)

Tentang Amanah Kerja

Alhamdulillah, hari ini sudah masuk kerja. Setelah satu minggu lebih libur, akhirnya hari ini aktif bekerja lagi. Well, di saat masih banyak pemuda yang belum mendapatkan pekerjaan, saya harusnya bersyukur karena mendapatkan pekerjaan tetap.

Pulang dari Rote, NTT, tahun lalu membuat saya galau akan bekerja dimana. Karena saya tahu saya pasti akan mengulang kembali pencarian kerja di tempat saya tinggal, Jambi. Meski pada awalnya saya nggak akan ragu soal rezeki dari Allah Swt, meski juga saya tahu peluang sebagai guru Bahasa Inggris insya Allah banyak, namun saya ketar-ketir juga karena sekolah mana yang akan menerima saya ketika tahun ajaran baru dimulai?

Akhirnya setelah 3 bulan bekerja sebagai guru privat Bahasa Inggris, saya pun mendapatkan rezeki di SMP-SMA-SMK Islam Attaufiq Jambi, tepatnya di Talang Banjar. Saya diamanahkan sebagai Executive Teacher, dimana saya banyak mengganti jam pelajaran guru jika guru tidak hadir. Mengajar apa? Life skill dan learning skill, serta pembelajaran Bahasa Inggris yang berfokus pada kemampuan berbicara. Saya mulai bekerja sejak 3 November 2014 lalu.

Kini tahun ajaran baru dimulai. Amanah saya bertambah, yakni sebagai program manager di perpustakaan sekolah. Saya sedikit bingung, kenapa saya yang dipilih, padahal saya masih 7 bulan di Attaufiq. Apa mungkin karena saya suka baca buku jadi saya diamanahkan disana? Ah semoga saja saya bisa memaksimalkan diri di amanah yang baru ini. Saya berharap semoga bisa memberikan yang terbaik kedepannya. Ya setidaknya hingga satu tahun ajaran 2015/2016 berakhir pada Juni 2016 mendatang (karena saya belum tahu apa akan melanjutkan kontrak setelah itu atau tidak).

Amanah kerja bagi saya bukan pekerjaan sembarangan. Tapi saya selalu meniatkan kalau kerja pasti seperti main, hehe.. Karena saya selalu menyukai apa yang saya kerjakan soalnya 😀

Kerja itu main, setuju? 😀

Merefleksikan 25 Tahun

*Sebuah refleksi quarter of life syndrome

“Bel, ikut PPAN (Pertukaran Pemuda Antar Negara) lagi gak tahun ini?” ujar seorang teman kepada saya beberapa waktu lalu.
Saya jawab, “Hmm, masih bingung. Banyak yang dipertimbangkan.”

Beberapa minggu setelah itu, kembali bertanya lagi, dengan orang yang berbeda. Dan saya jawab lebih panjang, lebih rinci, layaknya orang yang mau wawancara beasiswa, ada alasan yang panjang sekali disana.
“Kayaknyo idak lah, banyak nian yang dipertimbangkan. Orangtua minta aku untuk mikirin masa depan. You know lah the term of ‘masa depan’. Beda halnya dengan tahun-tahun kemarin, aku kalo ikut kegiatan-kegiatan dapat izin mudah, leluasa, nah sekarang keknyo diminta mengabdikan diri dulu ke orangtua, karena aku kayaknya banyak kemano-mano dulu tu. Yo mudah-mudahan be nanti aku biso dapat kesempatan lain ke luar negeri, meski bukan dari jalur itu. Dan semoga saja dapat izin belajar bareng dengan pendamping aku suatu hari nanti, entah di luar negeri atau mungkin tetap di Indonesia.”


Masa-masa jadi mahasiswa adalah masa-masa dimana saya banyak belajar dari orang-orang keren di Jambi dan Indonesia pada umumnya. Saat itu dimana jiwa muda pengen banget ini itu. Pengen melakukan ini, pengen buat ini, pengen kesini, dan pengen-pengen lainnya. Menjadi mahasiswa membuat saya juga mengembangkan kapasitas diri.

Saat jadi mahasiswa banyak sekali yang saya lakukan. Alhamdulillah, nggak hanya kuliah pulang – kuliah pulang saja. Mulai dari kegiatan organisasi, bekerja part time, diskusi dan sharing, forum kepemudaan, traveling, pelatihan, kepanitiaan kegiatan, dan lomba. Tema-tema yang saya ikuti tidak lepas dari passion dan ketertarikan saya terhadap pendidikan, lingkungan, jurnalistik, kepemudaan, kepemimpinan, kerelawanan sosial, serta wisata dan budaya.

Saya ingat betul pertama kali saya merasa, “I want to change my life.” Saya ingin melakukan sesuatu yang tidak saya lakukan sebelumnya saat masih jadi siswa. Saya memutuskan untuk belajar menulis melalui organisasi yang saya pilih, Majalah Kampus Trotoar. Bergabung disana membuat saya yang awalnya minder dan tidak memiliki kepercayaan diri menjadi lebih percaya diri dan tidak minderan. Turning back saya bisa dibilang berawal dari sana. Karena sejak dari Trotoar, saya bisa mengembangkan kapasitas diri saya yang justru timbul setelahnya.

Well, turning back saya itulah yang saya manfaatkan untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri saya. Pada akhirnya saya benar-benar merasa “enjoying my life as university student”. Kesempatan terbuka bagi saya, pengalaman terbaik dari orang-orang terbaik. Dari mereka saya belajar untuk nggak hanya ‘study’, tapi lebih kepada ‘learn.’ Beruntungnya saya diberikan keinginan untuk tidak berpuas diri terhadap ilmu yang didapatkan, maka saya pun banyak bertanya, banyak belajar, banyak melihat, banyak mendengarkan, dan banyak berdiskusi.

Saya menyadari bahwa kehidupan lebih baik ini tidak serta merta datang tanpa restu dari Allah Swt dan dukungan orangtua saya. Mungkin ihwal pertama saya keluar dari Jambi tanpa didampingi oleh orangtua juga jadi turning back-nya saya. Waktu itu saya harus ke Lampung untuk mengikuti Simposium Generasi Mahasiswa Pers Nasional, mewakili Majalah Kampus Trotoar dari Universitas Jambi. Padahal saya di mata orangtua saat itu adalah anak perempuan yang kalau pergi kemana-mana agak rawan karena suka pusing-pusing, hehe.. Di sisi lain, orangtua takut anaknya ini belum mandiri dan hilang di rantauan orang. Namun berkat usaha saya ‘merayu’ orangtua, akhirnya diperbolehkanlah saya keluar Jambi. Disini tampaknya kepercayaan orangtua mulai timbul untuk saya.

Dalam kurun waktu 2008 – 2012 hampir 50 kegiatan skala kota, provinsi, dan nasional yang saya ikuti. Dalam kurun waktu itu pula, saya selalu merasa seperti gelas kosong yang airnya belum penuh. Pengen diisi terus, terus, dan terus. Bukan berarti saya sombong, tapi sekali lagi saya bilang masa mahasiswa adalah masa dimana kamu dapat leluasa mengembangkan kapasitas diri yang berguna bagi masa depan.

Hanya saja kegiatan-kegiatan yang saya ikuti tersebut belum ada skala internasional. Maka, sejak itu pulalah saya selalu mengusahakan untuk pergi ke luar negeri, belum pasti tujuan negara mana, yang jelas daftar saja dulu, begitu prinsip saya. Jika dihitung, sepertinya sudah lebih dari 10x saya mendaftar kegiatan internasional. Saya mengirimkan aplikasi dan saya mengikuti seleksi secara face to face. Hasilnya? Belum berhasil 😀 Namun saya tidak menyerah.

Kalo kata Walt Disney, “If you can dream it, you can do it.”
Saya percaya bahwa kekuatan cita-cita dapat mengakumulasikan cita-cita itu sendiri menjadi nyata. Meski memang pada akhirnya saya belum diizinkan oleh Allah Swt sampai sekarang ke luar negeri, tapi saya percaya tidak ada mimpi yang kadaluarsa. Akhirnya di tengah-tengah kegalauan nggak bisa ke luar negeri, saya malah diberikan izin oleh Allah Swt untuk menikmati alam Indonesia dengan berbaur di masyarakatnya satu tahun lalu di Pulau Rote, pulau paling selatan yang kalau dilihat di peta Indonesia, cuma titik doang.
Satu tahun disana membuat kehidupan saya lebih banyak berubah. Belajar dari orang Indonesia membuat saya sedikit hampir melupakan impian saya tadi. Bagi saya, mungkin ini rencanaNya yang pengen saya tetap saja di Indonesia, jangan dulu ke negara luar kalau negara sendiri saja tidak tahu 100%. Mungkin ini juga teguran bagi saya, bahkan bisa jadi ini pembelajaran bagi saya. Jadi kalau mau ke luar negeri ya nggak shock culture banget jauh dari orangtua dan berada di kalangan minoritas.

Hampir satu tahun kembali ke Jambi, dan selama itu pula saya menyadari rencana kita apalah daya dibanding rencana Allah Swt. Saat masih di Rote, saya bilang dengan teman-teman sepenempatan bahwa saya ingin mencoba lagi PPAN dan mungkin mengambil beasiswa S2. Nyatanya sekembalinya ke Jambi, rencana saya sedikit berubah dari sudut pandangan orangtua yang menginginkan anaknya untuk tetap di Jambi. Saya menyadari bahwa kerinduan orangtua terhadap saya begitu besar. Bahwa nanti jika satu atau dua tahun lagi saya menikah dan lantas jauh dari orangtua, penjagaan mereka untuk saya tidak akan sebesar sekarang. Saya juga mengerti bahwa kalau saya lulus PPAN atau S2 ke luar Jambi, it means that akan dalam waktu yang lama, lebih dari 6 bulan bisa jadi. Nah, garis besarnya adalah kapan saya bisa dekat dengan orangtua kalau tidak sekarang?

Namun di sisi lain saya menyadari konsekuensi umur quarter of life ini. Banyak sekali harapan yang belum terwujud dengan umur yang semakin matang dan kerap ditanyai ‘kapan menikah?’ dan saya sendiri belum tahu jawabannya, dan saya jawab ‘masih direncanakan oleh Allah Swt.’ Hehe. Maka jika datang pikiran seperti ini, saya hanya berharap agar impian yang masih memuncak di kepala ini dapat terwujud suatu hari nanti. Harapannya pendamping hidup saya di masa depan nanti tidak melarang saya mengikuti kegiatan yang bermanfaat dan melaksanakan mimpi-mimpi saya. Bahkan mungkin bisa bersama-sama mewujudkannya justru lebih bagus bukan?
Tulisan ini juga berawal dari kegelisahan saya akan dosa-dosa saya di masa lalu, disamping juga hasil refleksi saya di umur 25 tahun pada 2 Mei lalu. Mungkin tidak banyak yang dapat diambil pelajarannya dari tulisan ini, namun saya sendiri sudah agak lega menuliskan keriwetan pikiran saya akhir-akhir ini. Allah Swt menjadi tempat saya memanjatkan doa dan harapan, terima kasih atas 25 tahun yang bermakna, semoga ia membuat saya yang banyak dosa ini jadi lebih baik. Semoga selalu ada kebaikan yang dilimpahkanNya kepada saya.

Tidak Ada Mimpi yang Kadaluarsa

“Ketika mimpimu yang begitu indah tak pernah kau dapat, ya sudahlah..”

Lirik lagu Ya Sudahlah-nya Bondan F2B ini sempat tergiang-ngiang di telinga saya beberapa terakhir ini. Sedikit banyak memang mempengaruhi cara pandang saya terhadap sebuah mimpi. Yang membuat saya memutuskan sesuatu di dalam hidup saya.

“Restu orang tua adalah kepanjangan tangan dari restu Allah Swt.”

Kalau kalimat itu benar adanya. Saya yakin jika Alla Swt merestui saya, maka orangtua akan melapangkan hatinya bagi saya mewujudkan cita-cita yang belum terwujud. Namun apa jadinya kalau saat ini orangtua tidak sebegitu  memperbolehkan saya saat masih jadi mahasiswa dulu? Apa jadinya kalau cita-cita kita tercapai tapi Allah Swt tidak merestui? Kalau orangtua tidak mengizinkan? Dulu ketika jadi mahasiswa, orangtua selalu mengizinkan anak perempuannya ini melakukan hal-hal positif yang berhubungan dengan impian. Kini, mereka mencoba untuk membukakan mata hati saya untuk memikirkan ‘masa depan’. Well, I know that so well. Di sisi lain, ketika saya sudah istiqomah, ada beberapa prinsip yang mungkin tidak bisa saya lakukan ketika lolos. Ah entah memang saya yang sudah tidak menggebu-gebu, ditambah pula prinsip dalam diri dan restu orangtua, jadi saya agak ragu untuk melanjutkan. Atau mungkin Allah Swt tidak merestui saya melalui jalan itu?

“Tidak ada mimpi yang kadaluarsa.”

Suatu hari, entah kapan, dimana, pada kondisi yang bagaimana, saya yakin Allah Swt akan mengabulkannya. Entah bagaimana caraya, saya yakin Allah Swt tidak tidur. Ia mencatat dan mendengar harapan saya yang entah kapan terwujud. Mungkin tidak sekarang, mungkin tidak lewat jalur itu. Mungkin nanti. Dan saya percaya, impian itu tidak ada yang kadaluarsa. Semoga. :’)

Terima Kasih dan Selamat Melanjutkan Perjuangan!

Bersama Pak Jokowi pada Februari 2012, dalam kegiatan Indonesia Young Changemaker Summit di Bandung

Bersama Pak Jokowi pada Februari 2012, dalam kegiatan Indonesia Young Changemaker Summit di Bandung

Ini hari bermakna bagi rakyat Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Presiden ke-7 telah dilantik. Wakil presiden ke-7 menjadi pendamping sang presiden. Mereka adalah Jokowi Dodo dan Jusuf Kalla. Hari ini juga bersejarah. Rakyat berterima kasih atas perjuangan presiden dan wakil presiden ke-6. Susilo Bambang Yudoyono dan Boediono telah memimpin negara ini selama 10 tahun. Hari ini transisi kepemimpinan dirayakan dengan sukacita. Pertanda bahwa kepemimpinan baru ini dinantikan oleh rakyat Indonesia.

Saya bukan simpatisan Pak Jokowi sebelumnya. Bahkan saya tidak memilih dalam pemilihan langsung pada 9 Juli lalu. Saya mungkin cukup menyesal karena tidak menggunakan hak pilih saya. Saat itu saya sedang berada di Bogor, liburan sejenak setelah selesai penutupan kegiatan Alumni Pengajar Muda angkatan 6 di bawah naungan Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar. Saya tidak bisa menggunakan A5 karena saya bukan warga Bogor. Di satu sisi saya tidak dapat menggunakan KTP di lingkungan rumah oom dan tante saya. Alhasil perhelatan akbar beberapa bulan lalu membuat saya menggelintirkan sebuah doa, agar siapapun yang terpilih, Indonesia tetap damai.

Ya, damai. Satu kata itu seringkali menjadi rusak karena oknum-oknum yang mengakibatkan negeri ini berpecah belah. Saya beragama Islam, dan dalam agama saya, Islam itu cinta perdamaian. Namun kadang di negeri yang mayoritas muslim ini, perdamaian kadang menjadi momok yang membuat saya menghela nafas panjang. Berdamailah terhadap masa lalu, berdamailah terhadap keputusan yang ada, berdamailah berdamailah.

Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla menggaungkan Revolusi Mental di awal masa kampanyenya, sedangkan Pak Prabowo dan Pak Hatta melejitkan Keutuhan NKRI. Dua hal ini kiranya dapat dikolaborasikan agar Indonesia semakin sejahtera kedepannya. Kadang saya mikir, kok ya revolusi mental ini berat sekali terdengar. Bagi saya, berjuta masyarakat Indonesia dari kota hingga pelosok, mendengar kata revolusi mental ini berhubungan dengan nilai hidup dan karakter yang berhubungan pada interaksi sosial. Tidak semua masyarakat mengerti bahwa di jaman sekarang ini revolusi mental DIBUTUHKAN. Semoga saja saya salah ya.

Menarik saat saya mendengar salah satu pengalaman dosen yang mengajar privat bahasa Inggris di salah satu dinas di Jambi. Ia menceritakan bahwa pelaku di institusi tersebut tidak memiliki nilai-nilai yang seharusnya dimiliki oleh lembaga tersebut. Dikatakan dosen saya, pembayaran uang yang tertulis di dalam kertas tidak sesuai dengan apa yang ia terima. Kalian tahu kawan? Manipulatif. Pelaku institusi itu meminta dosen saya untuk menandatangani kertas yang nominal pembayarannya bahkan tidak lebih dari 50% untuk dosen saya itu. Alhamdulillah, dosen saya memiliki nilai-nilai luhur yang ia junjung dalam profesionalitasnya sebagai pendidik. Ia tidak menandatangani itu, dan memilih untuk berhenti mengajar.

Saya tidak tahu, apakah kejadian di atas sering dilihat, dialami, atau didengar teman-teman. Saya tidak tahu sudah berapa banyak kejadian itu berlangsung. Saya tidak tahu apakah masih ada orang-orang suci yang memiliki mental tangguh untuk tidak menjadi bagian dari kemudharatan itu. Saya tidak tahu apakah revolusi mental Pak Jokowi dapat berlangsung hingga ke akar-akarnya? Hingga ke rakyatnya? Rakyat yang bahkan di daerah terpencil pun masih kekurangan konsumsi pangan untuk mengisi perutnya, di saat revolusi mental digaungkan?

Sungguh ini sebuah kekhawatiran pribadi saya. Mungkin saya terlalu mencintai negeri ini. Mungkin saya dianggap terlalu berlebihan. Tapi satu hal yang perlu digarisbawahi, saya yang khawatir ini adalah rakyat biasa yang peduli dengan negaranya. Saya hormat sekali dengan Pak SBY yang telah memimpin negara ini selama 10 tahun. Saya pun kagum kepada Pak Jokowi yang mampu menarik hati masyarakat Indonesia hingga memilihnya sebagai presiden, bahkan hanya selisih sedikit persen suara dari Pak Prabowo. Kepedulian inilah yang ingin saya bangun. Mungkin ini jawaban dari revolusi mental yang Pak Jokowi agungkan. SEHARUSNYA SETIAP MASYARAKAT INDONESIA MEREVOLUSI MENTAL DAN NILAI HIDUPNYA.

Saya percaya Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla mampu menerapkan revolusi mental hingga ke grass root. Adalah penting bahwa kita lah yang mengawali perubahan dalam diri sendiri. Baru setelah itu perubahan menjadi berarti bagi pemimpin. Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla tidak bisa bekerja sendiri. Kita patut membantu, mengoreksi, dan turut berkontribusi bagi kepemimpinan baru. Let’s light the candles, stop cursing the darkness, begitulah yang biasanya Pak Anies Baswedan tekankan kepada alumni pengajar muda. Bahwasanya begitu banyak masalah yang ada di negeri ini, namun itu tidak akan selesai kalau kita hanya mencemooh dan menghujat.

Justru yang dibutuhkan kepemimpinan baru ini adalah nyalakan lebih banyak lilin untuk bersama-sama bekerja di setiap sektor. Tanamkan nilai-nilai luhur kehidupan, prinsip hidup, atau mental yang tangguh dan tak ikut arus kepada generasi bangsa. Indonesia milik kita bersama. Hancurnya Indonesia ya gara-gara kita, sejahteranya Indonesia juga karena kita. Jangan kira hanya pejabat yang punya andil untuk membuat perubahan. Kita, rakyat jelata pun mampu mewujudkan itu bersama-sama. Tak adil rasanya pejuang yang telah wafat di medan perang itu hanya mengamanahkan negeri ini kepada pemerintahnya saja bukan?

Seingat saya, tidak pernah saya menuliskan sebuah tulisan khusus kepada presiden terpilih dalam 24 tahun saya hidup di dunia. Namun malam ini hati saya tergelitik untuk menuliskan apa yang ada di pikiran saya. Bahkan tidak pernah terbayang dalam benak saya, bahwa Mei 2012 lalu saya menjadi bagian dari kompilasi buku Kumpulan Karya Pemenang Event “ Menulis Surat Untuk Dahlan Iskan dan Jokowi.” Entahlah, sejak saya mengenal Pak Jokowi di tahun 2011 hingga saya bertemu beliau pada acara Parlemen Muda Indonesia dan Indonesia Young Changemaker Summit 2012 lalu, ada keyakinan dalam diri bahwa Pak Jokowi suatu saat bakal memimpin negeri ini. Kenyataan itu memang terjadi.

Saya bersyukur pernah menulis sedikit pandangan tentang Pak Jokowi dalam buku terbitan LeutikaPrio Yogyakarta itu. Sang Walikota Kaki Lima sebagai cover buku tersebut menjadi kehormatan bagi saya menuliskan rekam jejak beliau yang saya ketahui. Saya berharap beliau mampu mengemban amanah ini, pemimpin yang menjadi suri tauladan bagi agama, keluarga, dan negara. Amin.