Kertas bekas.
Crayon.
Ide.
Aku menyiapkan tiga hal tersebut sebelum keesokan harinya bertemu dengan siswaku. Ya, pertama kali aku masuk kelas, mengajar dan mendidik mereka dalam satu tahun. Aku tentu tak ingin melewatkan kesempatan sekali seumur hidup tersebut. Aku niatkan, perkenalan awal ini harus membuat mereka memusatkan perhatian kepadaku. Akhirnya, dengan kertas bekas dan crayon warna warni, plus segepok ide di kepala, aku pun menggambar indah malam itu. Malam dimana aku tak sabar bertemu murid-muridku!
Pagi sekali, sekitar pukul 4 pagi, aku bangun untuk sahur. Ya kala itu, aku melaksanakan puasa di Rote. Aku menyiapkan makanan untuk aku sahur, setelah pada malam harinya ibu piaraku, ibu Femi, mengingatkanku untuk makan sahur. Aku makan sahur dengan cepat. Setelah 30 menit, aku mempersiapkan kembali peralatan yang akan kujadikan perkenalan kepada murid-muridku.
Aku teringat akan poster gambar yang kubuat tadi malam. Aku membuka kertas yang sudah kulipat menjadi persegi panjang itu. Aku melihat lagi. Tampak seorang gadis berjilbab menjadi pusat utama yang berada di tengah-tengah kertas. Di sisi kanan dan kirinya, gambar-gambar yang menunjukkan dari mana ia berasal, kapan kelahirannya, berapa jumlah keluarganya, apa hobinya, serta apa makanan dan minuman kesukaannya, menjadi poin inti perkenalan.
Aku membuatnya tadi malam, saat dimana kreativitas menggambar yang terbatas ini bersliweran di kepalaku. Aku yang tak punya bakat melukis ini dengan percaya dirinya (bahkan mungkin takut ditertawakan oleh muridku) menggambar tentang dirinya sendiri. Warna warni crayon terlukis di kertas bekas milik pengajar muda penerusku sebelumnya, kak Nelly. Dengan beberapa warna yang cukup intens, sesungguhnya aku juga menyiratkan kepada anak-anakku, bahwa gurunya ini menyukai warna tersebut. Pink, hijau, dan biru.
Melihat media perkenalan itu membuatku semakin bersemangat. Aku tak sabar mengawali hari itu. Bergegas aku ke kamar mandi, lalu melaksanakan ibadah sholat Subuh di tengah keterbatasan, aku tak mendengar suara adzan yang biasa aku dengar seperti di komplek rumahku di Jambi. Tak mengapa, aku belajar untuk meningkatkan ketaqwaanku disini. Pikirku, Allah Swt akan selalu mengingatkan hambaNya meski tak ada adzan sekalipun disana. Dalam sujudku, aku berdoa hari pertama akan berjalan dengan lancar.
Menjelang pukul 6 pagi, beberapa anak memanggil “Ibu, ibu” di barisan pintu depan mess guru yang kutempati bersama ibu piaraku yang juga seorang guru di SD yang sama, SD Inpres Onatali. Mereka memanggil ibu Femi untuk mengambil kunci kantor guru. Ya, sedari pagi itu, anak-anak sudah datang ke sekolah. Ajaibnya, pada jam itu belum ada kulihat anak sekolah di kotaku sendiri berangkat ke sekolahnya, tapi tidak dengan mereka, bangun pagi-pagi sekali membantu orang tua dan kemudian berangkat sekolah, adalah aktivitas yang mereka lakukan setiap harinya.
Tiba di sekolah, mereka tak lantas bermain. Tugas pertama sebelum masuk kelas adalah membersihkan ruang kepala sekolah, guru, dan kelas mereka sendiri. Dengan membawa air di dalam dirijen kecil, mereka pergi ke sekolah dan bekerja bakti bersama teman-temannya. Awalnya aku bingung, kenapa mereka bekerja sedini itu, sebuah pemandangan yang jarang aku lihat di kota. Namun aku baru tahu bahwa alam Rote yang keras itu mengajarkan mereka untuk hidup dengan perjuangan yang keras. Tak ada yang salah mereka bekerja bakti, justru itu menjadi nilai plus bagiku yang tak perlu repot-repot menjelaskan manfaat kerja sama di lingkungan sekolah, yang memang menjadi materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di kelas 3.
Sekolah yang sudah libur selama dua minggu itu akhirnya bersih. Tak ada petugas kebersihan, namun mereka butuh dikomandoi agar tak lupa akan tugasnya. Aku pun ikut menertibkan beberapa anak-anak yang lebih tertarik mengobrol daripada bekerja. Masih dengan bahasa kota yang ku bawa (aku belum beradaptasi dengan bahasa daerah saat pertama kali mengajar), aku pun berusaha berinteraksi dengan mereka saat kerja bakti berlangsung. Sambil bersalaman dan berbicara dengan beberapa guru yang juga ikut mengomandoi anak-anak, aku sungguh makin tak sabar memulai kelas pertamaku.
Kulirik jam tangan di pergelangan tangan kiriku. Pukul 9 pagi lewat 15 menit. Aku menanti mereka selesai bekerja bakti. Hingga akhirnya aku melihat kelas 3 yang akan ku ajar selama 1 tahun tiba-tiba sudah setengah bersih. Anak-anak tampaknya tak mau mengecewakan ibu guru barunya ini. Masing-masing mereka memiliki tugas masing-masing. Ada yang menyapu kelas, membuang sampah, mengepel lantai, mengambil sampah di halaman, menyiram tanaman, dan membuka jendela. Aku ingat, aku hanya mengomandoi susunan tempat duduk mereka saja.
“Anak-anak, sebelum kita berkenalan, kalian bersihkan saja dulu ruangan kelas ya. Nanti tempat duduk kalian buat seperti tempat duduk di kelas sebelah. Seperti ini..,” ujarku sambil mempraktekkan susunan tempat duduk, dua kursi dan dua meja berdekatan, lalu diikuti pula untuk meja dan kursi di belakangnya. Mereka tersenyum-senyum, entahlah apa masih malu berinteraksi denganku atau tidak. Ada juga yang lantang menjawab, “Baik, Bu. Kotong bersihkan semua su.”
Selang ku tinggalkan kelas beberapa menit, aku kembali melihat kelas 3. Pikirku, sudah saatnya beraksi. Aku tak sabar lagi memperkenalkan diri kepada mereka, aku tak sabar lagi mengenal nama dan cita-cita mereka satu persatu! Akhirnya aku pun bertanya, apakah kelas sudah siap atau belum, karena ibu guru akan masuk ke kelas. Mereka serentak menjawab, “Sudah, Bu.”
Tentu saja, aku tak lupa membawa poster tentang diriku yang ku buat tadi malam. Aku juga membawa lem untuk menempel poster itu di papan tulis. Dengan sigap aku menempelnya sendiri, tampaknya anak-anak masih malu-malu untuk berinteraksi denganku, apalagi menawarkan bantuan. Aku biarkan pandangan mata mereka menyiratkan pertanyaan atas apa yang mereka lihat di papan tulis. Kudengar, beberapa siswa berbisik, mereka sepertinya telah menduga bahwa yang kutempelkan itu adalah tentang diriku. Di sisi lain, suara-suara yang terdengar oleh telingaku mengatakan, “Awi, cantik na gambar warna warni ibu.” Aku tersenyum mendengarnya. Ibu guru mereka yang tak pandai menggambar ini dikomentari seperti itu. Sungguh lugu perkataan anak kecil, pikirku.
Aku membuka kelas dengan salam, “Selamat pagi, anak-anak.” Mereka bersemangat sekali menjawabnya, hampir-hampir aku mengerenyitkan dahi karena belum terbiasa dengan suara keras mereka. Aku mengucapkan terima kasih karena mereka telah bekerja bakti dengan baik pada pagi itu. Aku juga menunjukkan namaku yang tertera di jaket Indonesia Mengajar, Bella, di sebelah kiri atas.
“Ibu Bella, oh..,” ujar mereka sambil penasaran melihat jaket dan poster di papan tulis.
Aku pun memperkenalkan nama lengkapku berikut simbol diriku di poster tersebut.
“Nama ibu adalah ibu Bella Moulina, tapi anak-anak panggil ibu dengan ibu Bella saja ya,” kataku.
“Anak-anak tahu tidak ibu berasal dari mana?” tanyaku kepada mereka.
Tak ada jawaban, namun mereka mencoba berdiri untuk melihat lebih dekat gambar yang sudah dibuat. Mereka pikir ada nama kota tempatku berasal disana, namun pada akhirnya aku berhasil mengalihkan pandangan mereka ke sebuah gambar ikon khas Jambi. Gunung Kerinci dan Candi Muaro Jambi. Mereka yang tak paham dengan gambar itu mencoba menerka. Ada yang menjawab gambar rumah, sawah, dan lain-lain. Entahlah, mungkin karena ketidakpiawanku menggambar, alhasil anak-anakku punya segudang interpretasi yang justru berbanding terbalik dengan maksudku hehe.
Akhirnya aku menjelaskan bahwa dua ikon gambar itu adalah ciri khas Jambi, tempat dimana aku berada sebelum berangkat ke Rote. Aku pun memperkenalkan satu-satu maksud gambar makanan, minuman, tanggal, cita-cita, dan beberapa orang yang berada di sekeliling gambarku. Mata mereka menyiratkan antusiasme tinggi. Mereka tak sungkan untuk menebak bahwa gambar di sebelah kiri tentang hari lahirku. Sedangkan gambar di sebelah kanan adalah hobiku. Ah, mereka cerdas! Hari pertama berkenalan dengan mereka cukup berkesan. Aku berhasil menggaet mereka ke dalam hidupku, sebelum akhirnya aku yang akan mengenal mereka lebih dalam.
Pada akhirnya perkenalan usai. Aku berterima kasih kepada mereka karena sudah memperhatikan dengan baik. Hingga tiba gilirannya aku memanggil nama mereka satu persatu untuk maju ke depan kelas. Ya, perkenalan diri yang mungkin bagi mereka tidak biasa. Berdiri di depan kelas, malu-malu, wajah melihat kanan dan kiri, sambil menunduk ke bawah, hingga pada akhirnya aku menguatkan mereka, “Ayo, kenalkan dirimu kepada teman-temanmu dan ibu tentunya. Ibu ingin tahu apa cita-citamu.”
Winda, adalah anak yang membuatku tersentak saat ia memperkenalkan diri di hadapan teman-temannya. Sesaat setelah aku melihat ekspresi wajah dan tubuhnya yang pemalu sambil menutup mulut dengan tangannya, dan cengar-cengir di depan kelas, aku mencoba membuatnya berani berbicara.
Pada akhirnya ia berkata, “Halo teman-teman, nama saya Dewinda Keluanan. Cita-cita saya ingin menjadi petani seperti ibu dan bapak saya.”
Mungkin itu adalah kali pertama saya mendengar cita-cita seorang anak Indonesia ingin menjadi petani. Kurasa ia sangat menghargai perjuangan ibu dan bapaknya yang bekerja sebagai petani, yang menyekolahkannya hingga kini. Kurasa ia sangat menelaudani ibu dan ayahnya, hingga pekerjaan pun ia ingin menyamainya dengan orangtuanya. Kurasa pula ia tak punya pilihan lain untuk menjadi seperti apa di masa depan, mungkin ia belum mengetahui betapa banyak cita-cita yang ia bisa gapai.
Aku tak kuasa untuk tidak memberikan apresiasi kepadanya. Winda, anak perempuan yang postur tubuhnya paling tinggi diantara teman-temannya, membuat hati kecil saya bergumam.
“Tidak ada yang salah dari cita-cita anak ini. Petani itu mulia. Ia memberikan beras kepada masyarakat. Ia menunggu beberapa bulan untuk panen. Ia dengan sabar menunggu padinya di sawah. Ia mengusir burung-burung yang hinggap untuk memakan biji padi. Petani pula yang berjasa terhadap surplusnya beras di Rote. Jadi sesungguhnya cita-cita Winda tidak salah. Namun disini, di ujung republik ini dan jauh dari peradaban kota, pulau paling selatan Indonesia ini sesungguhnya menyimpan optimism kepadaku untuk berbuat lebih banyak bagi mereka. Aku tak ingin Winda dan anak-anak lainnya disini hanya mengenal profesi yang itu-itu saja, aku ingin mereka kenal profesi lain yang kelak menjadi cita-cita mereka di masa depan, yang tentunya berguna bagi perkembangan negeri nusa lontar ini. Aku tentu ingin melihat kehidupan Winda dan anak-anak lain disini sama seperti keluarga mereka. Aku ingin menanamkan bahwa hidup mereka harus lebih baik dari keluarga mereka di masa depan. Mereka setidaknya harus bersekolah untuk menaikkan derajat kehidupan keluarga mereka. Aku bertekad untuk mereka.”
Sungguh hari pertama yang tak bisa dilupakan.