Lampaui Batas Dirimu!

14

            “You have the power in your hand when you have it in your mind.” -René Suhardono-

Siapa diantara kita yang terkadang merasa saya tidak bisa melakukan apapun? Siapa diantara kita yang seringkali mengatakan bahwa saya mustahil melampaui batas diri karena saya sendiri memiliki keterbatasan diri? Siapa pula diantara kita yang justru urung melangkah ke depan hanya karena takut kalah, takut gagal, dan berpikir bahwa itu hanya menyia-nyiakan waktu? Lalu pada akhirnya kita memilih diam, jadi penonton, dan menunggu keajaiban datang. Oh well, bukankah hidup selalu menuntut kita untuk mengambil resiko dan mendaki jalan yang terjal?

Jika teman-teman mengingat perjuangan Rasulullah SAW yang membawa kita dari alam jahiliyah hingga ke alam yang penuh keberkahan ini, tentu teman-teman paham bahwa Rasulullah SAW telah melampaui batas dirinya untuk berjuang menyebarkan Islam di dunia ini. Jika bukan karena kecintaan Nabi Muhammad SAW terhadap Allah SWT, jika bukan karena keteguhan hatinya untuk menjalankan perintah RabbNya, tentu kita tidak mampu menikmati indahnya dunia. Sudah sepatutnyalah kita juga meniru pribadi agung tersebut.

“Dan tiadalah Kami mengutus Engkau wahai Muhammad, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (Q.S Al-Anbiyaa’ (21):107)

Lantas bagaimana kita mampu meniru Rasulullah SAW, melampaui batas diri, menjadikan hidup lebih bermanfaat dan bermakna? Ada beberapa hal yang menurut saya dapat menjadi pertimbangan kita agar dapat melampaui batas diri, yaitu:

  1. Keluar dari zona nyamanmu

Setiap orang pasti akan merasa bahwa kehidupannya saat ini sudah mantap, sudah aman, tidak perlu melakukan apapun lagi, jadi ya let it be. Namun, kalau kamu ingin mengubah hidupmu, pikirkanlah kalimat di atas sebagai penentu pertamamu. Jika kamu tidak ingin keluar dari zona nyaman, bagaimana mungkin kamu bisa melampui dirimu? Tidak mungkin akan meraih sesuatu kalau kita masih terkungkung disana bukan? Jadi tinggalkan zona nyamanmu, teman!

  1. Miliki impian

Penting sekali lho untuk memiliki impian. Jika tidak memiliki impian, hidup akan seperti gitu-gitu saja. Ya orang kesana, kita ikut kesana. Orang kesini kita ikut kesini. Umur bertambah, and we do nothing. Percayalah, impian bukan sekadar angan-angan panjang yang mustahil untuk diwujudkan. Justru jika kamu berusaha bersungguh-sungguh dan selalu berdoa kepada Sang Maha Kuasa, insyaAllah impian tersebut yang akan menjadi pencapaian terbaikmu dalam mengenali kemampuan diri.

  1. Berjejaring dan miliki mentor/coach

Coba deh hitung jumlah teman atau sahabatmu? Apakah dari tahun ke tahun sama saja atau bertambah? Apakah lingkaran pertemananmu berdampak baik untukmu? Apakah kamu dapat berdaya bersama mereka? Jika kebanyakan tidak, sudah saatnya kamu berjejaring dengan mereka yang memiliki keinginan yang sama pula denganmu. Bertemanlah dengan siapa saja, namun kamu juga perlu memilih mereka yang terbaik yang dapat membimbing kamu melejitkan potensi diri. Jika kebetulan menemui seseorang yang mampu menjadi mentor atau coach kamu, ada baiknya kamu meminta kepada dia apakah dia bersedia.

  1. Berpikiran positif

Orang yang di dalam dirinya hanya ada pikiran negatif akan berdampak pada pandangan dan tingkah lakunya di kehidupan nyata. Justru mereka yang memiliki pikiran positif akan lebih dahulu sukses, tidak terpenjara dengan pikiran negatif yang membuat mereka urung melakukan sesuatu. Bagaimana supaya memiliki pikiran positif? Kuncinya sederhana, perbanyaklah membaca dan berdiskusi dengan orang-orang yang berpikiran positif.

  1. Merawat hati dengan beribadah

Siapapun kita, apapun agama kita, dari mana saja kita berasal, apapun suku kita, satu hal yang harus kita jaga adalah merawat hati dengan berinteraksi dengan Tuhan Yang Maha Esa. Beribadah, berdoa, memanjatkan kecintaan kita kepadaNya, akan membuat kita tetap berada pada jalan yang seharusnya kita yakini akan membuat kita lebih baik. Tentunya kita butuh bimbingan Allah SWT bukan agar diri kita tetap berada dalam batasan yang seharusnya?

  1. Restu orangtua

Jangan pernah melakukan apapun tanpa restu orangtua. Mereka yang melahirkan, merawat, membesarkan, dan membimbing kita sedari kecil adalah kunci utama agar diri kita menjadi pribadi lebih bermanfaat dan bermakna bagi semesta. Seandainya tanpa restu orangtua, tidaklah kita bisa raih apapun yang kita inginkan? Jadi, berbaiklah kepada mereka, selalu doakan mereka, berkata baiklah, dan sering-sering lah berinteraksi untuk belajar kehidupan dari mereka. InsyaAllah kemampuan kita untuk melampaui batas diri akan lebih diridhoi oleh Allah SWT jika disertai dukungan dari orangtua.

Guys, seperti yang kata René sebutkan di atas, kita lah yang punya kuasa atas diri kita. Jika kita percaya ada kekuatan di dalam diri kita, maka kita dapat mewujudkannya. Tips di atas hanyalah penuntun bagi kau agar selalu semangat. Terlepas dari itu, kamu sendiri yang menentukan hidupmu. Good luck with your life!

Nostalgia Negeri Lontar dari Pengajar Muda VI

 

“Bersamamu kuhabiskan waktu, senang bisa mengenal dirimu.

            Rasanya semua, begitu sempurna, sayang untuk mengakhirinya,

            Janganlah berganti.”

 

Lagu Sahabat Kecil dari Ipang tersebut tampaknya mewakili perasaan saya dan teman-teman, alumni Pengajar Muda angkatan VI Kab. Rote Ndao, yang bertugas dalam kurun waktu 2013 – 2014 lalu. Kehidupan satu tahun itu kami laksanakan dengan ketulusan, yang membuat kami bahkan tidak rela untuk mengakhiri masa tugas. Harapannya kenangan itu tidak mati, namun ia selalu terpatri di dalam hati.

 

Nusa Lote Nusa Malole. Pulau Rote pulau yang baik. Ya, pertama kali menginjakkan kaki di tanah nusa lontar itu kami disambut dengan penuh kejutan oleh Pengajar Muda angkatan IV yang sebelumnya telah bertugas disana. Dihadiahi sirih pinang, satu persatu kami harus memakan dan mengunyahnya hingga lidah berwarna orange kemerahan. Belum cukup dengan kakak-kakak alumni itu, di desa kami juga disambut dengan baik. Jadi, benar adanya jika Rote adalah pulau yang baik bukan?

 

Kami percaya bahwa tidak ada pekerjaan yang sia-sia, termasuk kolaborasi antara Pengajar Muda lintas generasi, sekolah, orangtua, siswa, masyarakat, dan pemerintah. Dalam setiap kesempatan, kami bekerja sama dengan banyak orang yang mendukung terciptanya kerumunan positif di Rote. Kami bersyukur atas kolaborasi apik dengan berbagai stakeholder utuk menyelesaikan kegiatan selama satu tahun.

 

Kolaborasi pertama kami laksanakan bersama pegiat Komunitas Anak Muda Untuk Rote Ndao (KAMU Rote Ndao). Mengambil momen peringatan Hari Pahlawan pada tahun 2014, ikhtiar untuk mencerdaskan dan memotivasi remaja Rote Ndao terwujud melalui Kemah Pemuda Rote I. Kak Sherwin, Kak Maks, Kak Adi, Kak Petson, dan kakak-kakak lainnya tampil all out mengajak remaja di daerahnya untuk berpartisipasi. Berita baiknya, Kemah Pemuda Rote I tersebut berlanjut pada sesi yang lebih berwarna pada tahun berikutnya.

 

Pemuda dan remaja yang terlibat dalam Kemah Pemuda Rote (KPR)  merasakan banyak manfaat untuk diri mereka. Alih-alih kebermanfaatan untuk diri, mereka justru mendapatkan tujuan hidup yang dapat berguna dalam memajukan Rote Ndao. Mengapa? Menurut Sherly, ketua angkatan KPR I, ia bertemu dengan remaja SMA yang juga memiliki visi dan misi yang sama dalam mengembangkan potensi diri, ia juga lebih mengetahui apa yang akan ia lakukan di masa depan. Tidak hanya itu, remaja yang kini menjadi mahasiswi Universitas Cendana tersebut banyak membangun relasi dengan pemuda se-Indonesia saat ia mengikuti Indonesia Youth Partnership di Bogor.

 

Di bidang pengembangan profesi pendidik, Pengajar Muda angkatan VI juga pernah melaksanakan kegiatan Kelompok Kinerja Guru (KKG) dan Pelatihan Guru Sekolah Minggu (PGSM). KKG dilaksanakan di semua sekolah penempatan PM se-kabupaten Rote Ndao. Pelatihan ini mengajak para guru untuk aktif menggunakan media pembelajaran yang telah ada di sekolah maupun menciptakan media pembelajaran kreatif. Selain itu, untuk kegiatan sekolah non formal yaitu Sekolah Minggu, Pengajar Muda bekerjasama dengan Toko Buku Ebenhazer di Ba’a mengadakan PGSM. Pelatihan ini diikuti oleh tenaga pengajar Sekolah Minggu untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang aktif dan menyenangkan bagi siswa.

 

Tidak hanya menyasar kegiatan di bidang kepemudaan dan pendidikan, Pengajar Muda angkatan VI juga sempat mengadakan pelatihan memasak di Rote Barat. Sekitar 50-an ibu-ibu dan juga bapak-bapak ikut serta dalam pembuatan beragam masakan nusantara. Dikarenakan daerah tersebut jarang mendapat aliran listrik, Pengajar Muda pun berinisiatif untuk memberikan pelatihan memasak yang bahan bakunya adalah ikan dan rumput laut. Ikan tersebut diolah menjadi abon, pempek, dan kerupuk, sedangkan rumput laut dibuat menjadi agar-agar. Selain pelatihan untuk orangtua, kami juga mengajak anak-anak dan remaja belajar sambil bermain.

 

Yang membuat kami kagum pada Rote Ndao adalah semangat anak-anaknya untuk berprestasi. Dari awal kami sudah diharuskan untuk tidak berekspektasi tinggi terhadap tanah yang akan kami hidupi selama satu tahun. Namun setelah kami berada disana, justru ekspektasi kami melesat tinggi. Mengapa? Karena salah satu siswa dari Pengajar Muda, Icce Nopianti, berhasil menjadi peserta Konferensi Penulis Cilik Indonesia di Jakarta. Anak perempuan itu adalah Nofi Ndun, siswa SDN Daepapan, Rote Selatan, yang menjadi satu-saunya perwakilan Nusa Tenggara Timur di nasional.

 

Selain siswa SD di tempat Pengajar Muda mengajar, siswa SMA di Rote Ndao juga difasilitasi oleh Pengajar Muda untuk mengikuti seleksi beasiswa kuliah gratis di Universitas Pelita Harapan. Dengan bantuan koneksi dari Pengajar Muda angkatan IV, Kak Kristia, kami pun mencoba membuka motivasi dan harapan remaja SMA tingkat akhir di setiap kecamatan untuk melanjutkan kuliah. Setelah melewati beragam seleksi, belasan siswa SMA se-Rote Ndao meraih impian mereka untuk kuliah di universitas swasta bergengsi tersebut. Keberlanjutan ini pun masih dirasakan setelah dua tahun berlalu. Setiap tahunnya selalu ada siswa Rote Ndao yang menikmati pendidikan gratis itu hingga saat ini.

IMG_0013

Keberlanjutan seperti ini bukan kami rasakan serta merta tanpa ada andil kakak-kakak kami sebelumnya. Justru apa yang terlaksana pada tahun kami merupakan jerih payah Pengajar Muda angkatan II dan IV sebelumnya. Tentu di sisi lain ada kolaborasi baik dari berbagai stakeholder yang mendukung terciptanya kerjasama yang positif dan berdampak. Di akhir penempatan Pengajar Muda angkatan X ini, kami yakin Rote Ndao akan melesat jauh, terbang tinggi dengan kualitas generasi terbaiknya. Kelak kami akan kembali, bernostalgia dengan pelaku pendidikan terbaik Rote Ndao.

 

A Journey to Catch a Dream

Heart beating
Aku asyik memilih kain untuk dibuat jilbab di sebuah toko testil di kotaku, Jambi. Jilbab satin yang kupilih tidaklah mudah seperti yang kukira. Perlu waktu beberapa lama untuk mencari warna navy, pink, dan ungu. Seketika aku turun ke lantai bawah, menyegerakan pembayaran di kasir. Sesaat setelah sampai di kasir dan membayar sejumlah uang, aku membuka tablet yang saat itu masih baik kondisinya. Sebuah pesan dari seorang kakak perempuan, mbak Aurel, Public Affairs Assistant masuk melalui media social; Whats App.
“Bellaaa, selamaattt! Kamu lolos untuk ikut program IVLP ke Amerika! Aku barusan dapat kabar dari atasanku.”
Heart beating. Dalam kondisi berkecamuk, bayangan perjuangan masa lalu itu menari-nari di benakku. Jatuh bangun mencapai cita-cita yang diimpikan sejak lama itu membuat air mata meleleh selama di perjalanan menuju ke rumah.

You May Say I’m a Dreamer, but I’m Not the Only One
Tulisan tentang ‘dream’, entah sudah berapa kali aku tulis. Entah sudah berapa kali aku mencari peluang ini. Bermula dengan kalimat bahasa Inggris di atas, peluang yang tak kunjung tiba tadi tidak menyurutkan langkahku untuk terus berusaha. Karena aku yakin, bukan aku sendiri yang bermimpi. Ada banyak orang yang memimpikan hal yang sama, meski memang tujuannya berbeda.
Sejak awal kuliah, bahkan hingga selesai mengajar di Pulau Rote, satu tahun lalu, mimpi itu masih kuletakkan di depan kening ini. Aku sempat berbincang dengan sahabat yang bahkan tetap meyakini diriku untuk mendaftar beasiswa, meski pada saat itu aku sedang tidak ingin mengurus beasiswa. Kadar keinginan itu sedikit berkurang, tak semeluap dulu, namun aku yakin suatu saat akan tiba untukku. It will be my turn someday.
Hingga akhirnya pertemuan tak sengaja dirancang oleh Allah Swt. Pertengahan Desember tahun lalu aku dihubungi oleh kak Cea, pendiri KOalisi Pemuda Hijau Indonesia (KOPHI) yang berpusat di Jakarta. Saat itu kak Cea bertanya apakah ada komunitas yang dapat diajak bekerja sama untuk mengorganisir kegiatan komunitasnya yang mendapat dana hibah dari US Embassy Jakarta. Aku pun menawarkan Sahabat Ilmu Jambi (SIJ), komunitas yang memang dari dulu aku bersama teman-teman menggiatinya.
Kak Cea setuju, dan aku menghubungkannya dengan Yani dan Rieo. Mereka pun berhubungan langsung dengan kak Cea. Aku sama sekali tak ikut campur karena saat itu sudah bekerja. Waktu untuk berkegiatan di SIJ sedikit berkurang, di sisi lain pegiat lain yang lebih muda dan memiliki waktu luang cukup banyak. Jadi aku sama sekali tak ikut campur untuk urusan Social Media for Social Good yang sudah dirancang KOPHI dan US Embassy Jakarta.
Well, waktu pelaksanaan akhirnya tiba. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada pertengahan Januari. Jambi adalah kota pertama roadshow tersebut. Dan kak Cea akhirnya ke Jambi bersama teman-temannya dari KOPHI dan US Embassy Jakarta. Aku pun bertemu dengan kak Cea, dan ini pertemuan kedua kalinya dengan beliau. Aku bertemu dengan kak Cea pada hari kedua roadshow.
Pada hari itu, aku juga berkenalan dengan mbak Aurel, perempuan yang mengirimkanku pesan melalui Whats App tadi. Obrolan yang tidak begitu panjang itu berisikan pertanyaanku tentang tugas beliau di US Embassy Jakarta, kenapa memilih kota Jambi sebagai salah satu destinasi roadshow, apakah sudah pernah ke Jambi, dan apakah ada peluang untuk ikut kegiatan dari US Embassy Jakarta. Saat itu juga mbak Aurel bertanya tentang aktivitasku yang bekerja di SMP SMA SMK Islam Attaufiq, pengajar muda Indonesia Mengajar pada tahun lalu, serta inisiatif pendidikan melalui Sahabat Ilmu Jambi.
Aku menerka pembicaraan tersebut tak lebih dari 30 menit, karena saat itu aku tahu bahwa mbak Aurel akan pulang ke Jakarta pada sore hari, sedangkan aku tiba di lokasi roadshow pukul 14.00. Tak pelak pembicaraan pun tidak banyak, mbak Aurel memberikanku kartu namanya sambil berjanji akan memberitahuku informasi kegiatan di luar negeri suatu hari. Aku tak berharap banyak pembicaraan singkat tersebut akan berdampak manis beberapa bulan kedepan.
Selang dua bulan kemudian, mbak Aurel menghubungiku kembali. Ia mengirimkanku pesan Whats App yang memintaku untuk mengirim curriculum vitae secepat mungkin. Aku yang tidak mengerti kenapa harus kirim CV ini sempat menanyakan hal tersebut kepada beliau. Dan ia menjawab, “Untuk direkomendasikan ikut program ke Amerika.”
Membaca pesan tersebut membuat aku tak ingin terlalu banyak berharap. Aku belajar saat jadi pengajar muda dulu, kami diminta untuk low expectation terhadap tempat belajar kami selama satu tahun. Kini meski sudah berganti status menjadi alumni pengajar muda, dua kata tadi tetap aku ikhtiarkan saat memiliki keinginan baik. Esok harinya, email terkirim. CV singkat sebanyak dua halaman itu aku kirimkan, aku mempersingkat informasi dan menulis lebih detail.
Dua bulan kabar dari mbak Aurel belum menunjukkan hasil yang positif. Aku sedikit pesimis apa bisa lolos atau tidak. Diantara harapan yang muncul itu, aku pernah bertanya soal program yang nantinya lolos apakah dibiayai atau tidak, apa nama programnya, dan lain-lain. Tapi mbak Aurel tidak terlalu menjawab detail. Aku pikir mbak Aurel tidak memberitahu secara detail karena belum ada keputusan dari atasannya.
Akhirnya pada akhir Mei lalu, tepatnya 27 Mei 2015, pesan WA pada paragrap pertama di atas hadir di tabletku. Kepingan memori perjuangan itu menggelayut di benakku. Aku yang antara senang dan sedih membaca pesan itu, membawa motor dengan cukup pelan. Aku ingat perjuangan yang kulakukan saat masih menjadi mahasiswa. Aku ingat harus keliling lapangan KONI. Aku ingat harus berkali-kali menjawab pertanyaan dan mengirimkan email. Aku ingat bahwa lebih dari 10x aku mencoba berusaha untuk ke luar negeri.
Yang kucemaskan adalah, keberangkatanku bertepatan dengan keberangkatan orangtuaku ke Mekkah. Lantas bagaimana dengan adik bungsuku, Sadi? Apa mungkin aku menolak kesempatan yang sudah kutunggu bertahun lamanya? Apakah mama papa mengizinkanku? Apa aku mendapat izin dari sekolah tempatku bekerja?

A Journey of Thousand Miles Begin With a Single Step
Beribu mil perjalanan baru akan dimulai dalam beberapa hari lagi. Sejujurnya beribu mil perjalanan ini tidak hanya sekedar jarak, namun pembelajaran memahami diri dan Islam yang lebih baik. Ya, perjalanan yang panjang untuk meraih mimpi ini juga dimulai dari langkah pertama, yang masih gontai dan tak tentu arah. Finally, a nice journey come to me.
Keikutsertaan dalam program International Visitor Leadership Program ini merupakan single country program dari pemerintah Amerika Serikat, melalui Department of Education State, dan diteruskan melalui US Embassy di masing-masing negara. Insya Allah pembelajaran baru akan dilalui selama 3 minggu di Amerika Serikat bersama 12 peserta lainnya, yang juga pengajar muslim di sekolah Islam, pesantren, perguruan tinggi Islam, dan perwakilan Kementrian Agama. Insya Allah saya berangkat ke Jakarta dari Jambi pada 3 September siang, dan pada 4 September akan ada briefing di kantor US Embassy di Budi Kemuliaan, selanjutnya akan mempersiapkan keberangkatan pada malam hari. Sedangkan keberangkatan dari Jakarta insya Allah akan dimulai tengah malam menuju tanggal 5 September.
Lagi-lagi syukur tak terhingga dipanjatkan kepada Sang Maha Pencipta. Saya bersyukur perjalanan ini ditemani oleh banyak pengajar muslim, yang artinya tak akan ragu untuk memilih makanan halal, menentukan arah kiblat dan waktu sholat, serta memperluas pertemanan (meski saya peserta termuda pada program ini). Muslim Educators, begitu program ini dinamai, membuat saya harumempersiapkan banyak referensi tentang Islam. Tak bisa dipungkiri, aksi segelintir orang pada 11 September 2001 dulu mengakibatkan kepercayaan negara barat terhadap Islam sedikit turun. Saya ingin keberangkatan ke Amerika ini menjadi salah satu cara menjadi agen muslim yang baik, meski saya menyadari saya sendiri belum baik sepenuhnya.
Rencana Allah Swt indah sekali. Bahkan di saat saya sudah hopeless dan membiarkan keinginan untuk ke luar negeri berhenti sementara waktu, ternyata Ia membukakan jalan dengan cara seperti ini. Sang Maha Adil tampaknya mengerti bahwa di saat kita ikhlas, ia akan menggantinya dengan yang lebih baik. :”)

Tentang Amanah Kerja

Alhamdulillah, hari ini sudah masuk kerja. Setelah satu minggu lebih libur, akhirnya hari ini aktif bekerja lagi. Well, di saat masih banyak pemuda yang belum mendapatkan pekerjaan, saya harusnya bersyukur karena mendapatkan pekerjaan tetap.

Pulang dari Rote, NTT, tahun lalu membuat saya galau akan bekerja dimana. Karena saya tahu saya pasti akan mengulang kembali pencarian kerja di tempat saya tinggal, Jambi. Meski pada awalnya saya nggak akan ragu soal rezeki dari Allah Swt, meski juga saya tahu peluang sebagai guru Bahasa Inggris insya Allah banyak, namun saya ketar-ketir juga karena sekolah mana yang akan menerima saya ketika tahun ajaran baru dimulai?

Akhirnya setelah 3 bulan bekerja sebagai guru privat Bahasa Inggris, saya pun mendapatkan rezeki di SMP-SMA-SMK Islam Attaufiq Jambi, tepatnya di Talang Banjar. Saya diamanahkan sebagai Executive Teacher, dimana saya banyak mengganti jam pelajaran guru jika guru tidak hadir. Mengajar apa? Life skill dan learning skill, serta pembelajaran Bahasa Inggris yang berfokus pada kemampuan berbicara. Saya mulai bekerja sejak 3 November 2014 lalu.

Kini tahun ajaran baru dimulai. Amanah saya bertambah, yakni sebagai program manager di perpustakaan sekolah. Saya sedikit bingung, kenapa saya yang dipilih, padahal saya masih 7 bulan di Attaufiq. Apa mungkin karena saya suka baca buku jadi saya diamanahkan disana? Ah semoga saja saya bisa memaksimalkan diri di amanah yang baru ini. Saya berharap semoga bisa memberikan yang terbaik kedepannya. Ya setidaknya hingga satu tahun ajaran 2015/2016 berakhir pada Juni 2016 mendatang (karena saya belum tahu apa akan melanjutkan kontrak setelah itu atau tidak).

Amanah kerja bagi saya bukan pekerjaan sembarangan. Tapi saya selalu meniatkan kalau kerja pasti seperti main, hehe.. Karena saya selalu menyukai apa yang saya kerjakan soalnya 😀

Kerja itu main, setuju? 😀

Sekolah Untuk Apa?

Sekolah untuk apa?

Kadang saya berpikir, siswa2 sekolah, datang pagi & pulang bahkan siang atau sore, nggak dapat ilmu di sekolah, hanya sekedar hadir. Guru menjelaskan ini itu di depan kelas, tapi penanaman ilmu & sikap tadi hanya sepintas lalu bagi mereka. Lantas, beberapa bulan kemudian ujian. Itupun saat ujian kepercayaan diri kurang. Akhirnya bertanya kpd teman saat ujian & melihat buku yang diselipkan di bawah meja.

Kemudian rapor dibagikan, nilai standar dan naik kelas. Ini belum ditambah pengaruh lingkungan yg tidak baik, kurangnya bimbingan psikologis dari orangtua, & lemahnya sistem kedisiplinan di sekolah. Lalu yg didapat dari sekolah apa? Menghabiskan uang orangtua?

Sungguh, saya rindu dengan manusia pembelajar di Indonesia ini. Bukan yang hanya pergi ke sekolah dan pulang tanpa hasil, tapi ‘pembelajaran’ yg bagaimana yg kamu pelajari hari ini?

One Fine Day: Letters from My Students

After my bad day, one fine day had arrived. On 4th October 2014, few days ago, I felt my energy came back. At 10.00 a.m, I got it.

Uti, Pengajar Muda on batch 8, who continued the Indonesia Mengajar Movement Foundation in my school, sent my students’ letters to me. She sent it from Rote on 26th September 2014. I was surprised that this letters came earlier than I imagined before. What I was not expected, as my experienced when sent the letter from Rote to Jambi or other cities, it took along one month. I thanked to Allah Swt that faster is better 🙂

A brown envelope given by postman to my mother, and she gave it to me. I considered, this brown envelope was mine, hehe. I had many envelopes when I was a Pengajar Muda. It had a reason. My friends often sent the letters to my students in Rote, they were from all over Indonesia and abroad. So I decided to sent back their letters, and my students already wrote for them. By using that cheap envelope, it helped me enough.

I tore that letter. My heart was vibrated. I was happy and sad at that time. I couldn’t imagine what they wrote on that letter. How lovely their writing. And others feeling which I couldn’t say. Well, by listening Sahabat Kecil by Ipang, I read 18 letters. Although not all my students wrote to me, I was very very very happy to receive it :’)

I wanted to show to you something touched in my students’ letters here. Just few sentences which can remember me the condition in Rote, and maybe you can imagine how precious moment one year ago for me.

Cinthya Ngik: “Ibu, pesan dan kata-kata ibu, Cinthya selalu ingat, dan belajar lebih giat lagi supaya cita-cita Cinthya tercapai dan bisa ketemu ibu lagi.”

Leo Agung Yakob Ketta: “Salam dan selamat bertemu kembali bunda. Hati saya amat senang bertemu bunda walau hanya melalui selembar kertas ini. Kiranya bunda dalam keadaan sehat dan senantiasa diberkati Tuhan YME.”

Wenita Killa: “Semoga ibu masih ingat Wenita dan teman lain juga ya.”

Feraningsih Ndaomanu: “Ibu, saya kangen sekali dengan ibu. Saya doakan ibu supaya ibu jangan melupakan saya ya. I love ibu Bella.”

Eldath Ngik: “Ibu, di kelas 4 semuanya berantam terus. Ibu, saya mau tanya ibu pagi-pagi kelompok 4 tidak bersihkan kelas.”

Marlin Ndaomanu: “Saya mau tanya bu, ibu sudah mengajar atau belum. Kalau sudah bilang sama Marlin ya bu. Marlin mau perkenalkan sama mereka, namanya siapa dan berapa banyaknya.”

Marlin Ndaomanu (second letter): “Aku kangen sama ibu. Aku sedih waktu ibu jalan dan aku sampai sakit. Aku ingat perbuatan aku sama ibu. Aku ingat aku tidak kerja PR dan aku membuat hati ibu sakit.”

Cindy Keluanan: “Cindy sedih kalo ibu Bella jalan ke Jambi. Cindy malam-malam ingat ibu saja, jadi Cindy sedih terus.”

Joan H. Pellokila: “Halo ibu Bella saya sekarang sudah mendapat buku baru, Angry Bird 3 pak. Kita semua kangen ibu Bella, kami semua kepengen ibu Bella sekarang. Kami menghapal perkalian dari 1 – 10 tapi Olin saja yang tidak bisa.”

Niken Sania Keluanan: “Ibu sudah bikin kami sangat senang dan bahagia. Sekarang kami dengan ibu Desi. Dan kami semua ada lagu untuk ibu.

letters

                Selamat jalan ibu, selamat jalan ibu, selamat jalan ibu kami ucapkan

                Selamat jalan ibu kami ucapkan

                Salam, salam

                Terimalah salam dari kami yang ingin maju bersama-sama.

Niken Sania Keluanan (second letter): “Aku sedih sekali karena ibu pergi meninggalkan aku dan ibu aku berterima kasih kepada ibu karena ibu memberi ilmu sebanyak mungkin.”

Windy Ndaomanu: “Ibu saya mau menceritakan pengalaman saya, pada tanggal 15 Juni 2014 saya berulang tahun yang ke-9. Saya senang karena saya bertemu dengan hari ulang tahun saya yang ke-9.”

Adi Muskanan: “Sekarang guru Adi ibu Desi. Sekarang Adi akan berusaha untuk naik kelas. Sekarang Adi pengen melihat muka dan suara ibu.”  (Anyway, a letter from Adi so different, he made it looked like postol :D)

Marsela K. Lapebesi: “Aku kangen sama ibu, ibu semoga mendapatkan jodoh yang tulus hatinya dan baik.” (This letter made me laughed hahaha)

Dewinda Keluanan: “Pas itu juga kami bertiga (Winda, Eldath, and Cindy) senang ngomong lewat hp saya dan tiba-tiba ibu mematikan hp ibu. Kami bertiga menangis dan sedih sekali ibu mematikan hp.” (At that time, signal in my hand phone was bad, so disconnected)

Dewinda Keluanan (second letter with full of color, yes she drew her letter to me): “Ibu kapan ibu datang ke Rote lagi. Bu kami semua merindukan ibu.”

Rosalin Amalo: “Ibu jangan sedih, kita semua akan doakan ibu supaya ibu selalu sehat. Ibu juga doakan kita agar cita-cita kita tercapai. Ibu tidak boleh melupakan kebersamaan kita, aku juga tidak melupakan ibu.”

Rifal Dalle: “Halo ibu Bella kami tercinta. Ibu Bella kami kangen sama ibu Bella. Kami semua ingin bertemu, karena ibu telah mengajar kami sampai kita naik. Mudah-mudahan ibu bisa kesini lagi.”

The contain of their letter so touchy. This eliminates the homesickness me against them. Hopefully their pray for me will happen, that I will visit Rote someday. And for other writings, I love their story when they were not embarassed to tell their story. Example, Joan’s book with Angry Bird, Eldath said that their friends did not want to do community service in the class, and the heart-warming when I saw Kesya’s pray: “Semoga ibu mendapatkan jodoh yang tulus hatinya dan baik.” Ya Allah, how innocent the are :’’’)

Well, I will write many letters to them. Let me prepare the materials first and imagine that Jambi is near from Rote.

See you on letter, kids!

Suara dan Suasana Yang Saya Rindukan, Rote  

 

Indonesia tanah air beta

Pusaka abadi nan jaya

Indonesia sejak dulu kala

Selalu dipuja-puja bangsa

 

Disana tempat lahir beta

Dibuai dibesarkan bunda

Tempat berlindung di hari tua

Sampai akhir menutup mata

 

Tak bosan saya mendengar lagu ini dilantunkan dengan suara syahdu nan merdu. Ia berdentum keras di telinga lewat earphone yang saya kenakan. Tak bosan saya menyanyikan lagu itu tatkala saya menulis kenangan satu tahun lalu. Satu tahun teramat susah untuk dikembalikan lagi. Satu tahun yang akan selalu saya kenang. Satu tahun yang kelak menjadi cerita paling berapi-api untuk dikabarkan kepada anak cucu saya kelak :’)

Dua hari yang lalu, tepatnya pada hari pertama bulan September, saya menelepon anak-anak saya yang berada di wilayah paling jauh dari sekolah. Kawasan Leli terletak 6 km dari sekolah. Anak-anak saya menempuhnya dengan berjalan kaki atau menumpang kendaraan masyarakat yang lewat di hadapan mereka. Adalah Irvan, yang menggerakkan saya untuk menelepon mereka, ibu gurunya ini rindu akan suara khas anak Rote itu.

Alhasil pada pukul 19.47 WITA, mereka akhirnya ditelepon ibu gurunya ini! Saya yang meminta Irvan untuk mengumpulkan Fera, Kesya, Martha, Windi, dan Jefri, murid-murid saya saat mereka di kelas 3. Meski Jefri tidak hadir disana (rumahnya agak jauh dari rumah mereka meski berada dalam satu kawasan), ternyata ia tergantikan oleh Wahyu, Yandri, Agus, serta ibu dan adik Irvan. Di rumah Irvan, suara saya berkumandang sekitar 1 jam lamanya.

Saya mengobrol dgn Irvan terlebih dahulu. Menanyakan kabar, menanyakan sekolah, menanyakan segala yang membuat saya bisa bernostalgia dengannya malam itu. Setelah Irvan, gagang telepon berpindah ke Kesya, hingga berlanjut Fera, Martha, dan Windi. Setelah murid-murid saya selesai mengobrol dengan saya, gagang telepon dipindahkan kepada Wahyu, dia adalah siswa kelas 6 dulunya, dan kini sudah menginjakkan bangku SMP. Lalu Agus, adik Irvan yang kini kelas 2, serta dilanjutkan oleh Yandri, siswa kelas 6 yang meski awalnya malu-malu berbicara dengan saya. Terakhir saya mengobrol dengan ibu Irvan dan adik perempuannya. Ahh sungguh kangen berada di tengah-tengah masyarakat Rote :’)

Mama pun kebagian berbicara dengan mereka. Bedanya, saya berbicara dengan akses Rote sangat jauh dengan mama saya yang berbicara dengan bahasa Indonesia hehe. Irvan yang memegang gagang telepon mendengarkan mama saya berbicara dari A-Z, hehe, dan dia menjawab, “Iya, Bu.”

Terlibat pembicaraan dengan mereka mengundang sejuta pertanyaan yang ingin saya ketahui. Apa yang sedang mereka lakukan? Bagaimana kabar mereka, beserta bapa dan mama? Bagaimana kabar sekolah dan pelajaran mereka saat ini? Bagaimana suasana Rote sekarang? Serta motivasi-motivasi yang tak hentinya saya bilang: “Bosong jangan malas-malas e, rajin belajar. Kalau son tahu, bosong tanya sama ibu guru. Nanti kalau bosong pintar, bapa mama senang toh. Bosong ju bisa pi Jakarta, atau ketemu ibu di Jambi nanti. Kalau bosong pung cita-cita mau tercapai, jangan lelah, terus berusaha, belajar, dan berdoa kepada Tuhan e. Ibu turut mendoakan bosong dari sini.”

Entah dari mana tiba-tiba, pertanyaan salah satu siswa saya terlontar begini, “Ibu Bella tanggal berapa pi Rote lai?” Itu pertanyaan seolah-olah menyuruh saya ke Rote dalam waktu dekat. Ah Nak, andai saja ibu seperti Doraemon, yang punya pintu kemana saja, yang bisa memilih kapan dan dimana ibu akan pergi. Pasti ibu akan menuju Rote saat itu juga. Sayangnya ibu guru kalian satu ini harus masih di Jambi. Nun jauh kalian lihat di peta Indonesia yang pernah kita saksikan bersama-sama dulu. Beginilah jauhnya jarak antara Pulau Rote yang berada di paling selatan Indonesia dan kota Jambi yang berada di wilayah Sumatera. Kalian tentu ingat bukan, kalo naik kapal berapa malam di laut bukan?

Nak, ibu bersyukur menjadi bagian dari kalian. Menjadi bagian dari negara kepulauan yang luas ini. Bersyukur pernah mengenal lebih dekat dengan Rote. Bersyukur diberikan kesempatan oleh Allah Swt untuk menginjakkan tanah timur Indonesia, suatu cita-cita yang sudah lama ibu inginkan.

Nak, kelak akan kita bertemu lagi. Kita akan bercerita lebih banyak lagi. Kita akan menjadi lebih dewasa di negeri ini. Yakinlah Nak, kelak saat kita bertemu, kau telah menjadi bintang bagi keluarga dan daerahmu. Kau telah menjadi kebanggaan Indonesia. Kau telah meraih cita-citamu. Kau telah menjelajah Indonesia, dan tentunya keinginanmu untuk pergi ke luar negeri seperti kartu pos yang telah dikirimkan oleh teman ibu kepada kalian. Kelak kau akan menjadi anak Indonesia yang berkarakter, beriman, nasionalis, dan cerdas. Harapan ibu besar untuk kalian. Jauh dari sanubari hati ibu, ingin rasanya bertemu kalian lagi. Kita hanya berdoa semoga Sang Maha Kuasa menyegerakan harapan kita.

 

Jambi, 3 menit menjelang 22.00

3 September 2014, dari guru yang merindukan suara dan suasana kalian di Rote :’)20131010_075226

Poster Perkenalan dan Cita-Cita

Kertas bekas.

Crayon. 

                Ide.

Aku menyiapkan tiga hal tersebut sebelum keesokan harinya bertemu dengan siswaku. Ya, pertama kali aku masuk kelas, mengajar dan mendidik mereka dalam satu tahun. Aku tentu tak ingin melewatkan kesempatan sekali seumur hidup tersebut. Aku niatkan, perkenalan awal ini harus membuat mereka memusatkan perhatian keIMG_20130716_123822padaku. Akhirnya, dengan kertas bekas dan crayon warna warni, plus segepok ide di kepala, aku pun menggambar indah malam itu. Malam dimana aku tak sabar bertemu murid-muridku!

Pagi sekali, sekitar pukul 4 pagi, aku bangun untuk sahur. Ya kala itu, aku melaksanakan puasa di Rote. Aku menyiapkan makanan untuk aku sahur, setelah pada malam harinya ibu piaraku, ibu Femi, mengingatkanku untuk makan sahur. Aku makan sahur dengan cepat. Setelah 30 menit, aku mempersiapkan kembali peralatan yang akan kujadikan perkenalan kepada murid-muridku.

Aku teringat akan poster gambar yang kubuat tadi malam. Aku membuka kertas yang sudah kulipat menjadi persegi panjang itu. Aku melihat lagi. Tampak seorang gadis berjilbab menjadi pusat utama yang berada di tengah-tengah kertas. Di sisi kanan dan kirinya, gambar-gambar yang menunjukkan dari mana ia berasal, kapan kelahirannya, berapa jumlah keluarganya, apa hobinya, serta apa makanan dan minuman kesukaannya, menjadi poin inti perkenalan.

Aku membuatnya tadi malam, saat dimana kreativitas menggambar yang terbatas ini bersliweran di kepalaku. Aku yang tak punya bakat melukis ini dengan percaya dirinya (bahkan mungkin takut ditertawakan oleh muridku) menggambar tentang dirinya sendiri. Warna warni crayon terlukis di kertas bekas milik pengajar muda penerusku sebelumnya, kak Nelly. Dengan beberapa warna yang cukup intens, sesungguhnya aku juga menyiratkan kepada anak-anakku, bahwa gurunya ini menyukai warna tersebut. Pink, hijau, dan biru.

Melihat media perkenalan itu membuatku semakin bersemangat. Aku tak sabar mengawali hari itu. Bergegas aku ke kamar mandi, lalu melaksanakan ibadah sholat Subuh di tengah keterbatasan, aku tak mendengar suara adzan yang biasa aku dengar seperti di komplek rumahku di Jambi. Tak mengapa, aku belajar untuk meningkatkan ketaqwaanku disini. Pikirku, Allah Swt akan selalu mengingatkan hambaNya meski tak ada adzan sekalipun disana. Dalam sujudku, aku berdoa hari pertama akan berjalan dengan lancar.

 

Menjelang pukul 6 pagi, beberapa anak memanggil “Ibu, ibu” di barisan pintu depan mess guru yang kutempati bersama ibu piaraku yang juga seorang guru di SD yang sama, SD Inpres Onatali. Mereka memanggil ibu Femi untuk mengambil kunci kantor guru. Ya, sedari pagi itu, anak-anak sudah datang ke sekolah. Ajaibnya, pada jam itu belum ada kulihat anak sekolah di kotaku sendiri berangkat ke sekolahnya, tapi tidak dengan mereka, bangun pagi-pagi sekali membantu orang tua dan kemudian berangkat sekolah, adalah aktivitas yang mereka lakukan setiap harinya.

Tiba di sekolah, mereka tak lantas bermain. Tugas pertama sebelum masuk kelas adalah membersihkan ruang kepala sekolah, guru, dan kelas mereka sendiri. Dengan membawa air di dalam dirijen kecil, mereka pergi ke sekolah dan bekerja bakti bersama teman-temannya. Awalnya aku bingung, kenapa mereka bekerja sedini itu, sebuah pemandangan yang jarang aku lihat di kota. Namun aku baru tahu bahwa alam Rote yang keras itu mengajarkan mereka untuk hidup dengan perjuangan yang keras. Tak ada yang salah mereka bekerja bakti, justru itu menjadi nilai plus bagiku yang tak perlu repot-repot menjelaskan manfaat kerja sama di lingkungan sekolah, yang memang menjadi materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di kelas 3.

Sekolah yang sudah libur selama dua minggu itu akhirnya bersih. Tak ada petugas kebersihan, namun mereka butuh dikomandoi agar tak lupa akan tugasnya. Aku pun ikut menertibkan beberapa anak-anak yang lebih tertarik mengobrol daripada bekerja. Masih dengan bahasa kota yang ku bawa (aku belum beradaptasi dengan bahasa daerah saat pertama kali mengajar), aku pun berusaha berinteraksi dengan mereka saat kerja bakti berlangsung. Sambil bersalaman dan berbicara dengan beberapa guru yang juga ikut mengomandoi anak-anak, aku sungguh makin tak sabar memulai kelas pertamaku.

Kulirik jam tangan di pergelangan tangan kiriku. Pukul 9 pagi lewat 15 menit. Aku menanti mereka selesai bekerja bakti. Hingga akhirnya aku melihat kelas 3 yang akan ku ajar selama 1 tahun tiba-tiba sudah setengah bersih. Anak-anak tampaknya tak mau mengecewakan ibu guru barunya ini. Masing-masing mereka memiliki tugas masing-masing. Ada yang menyapu kelas, membuang sampah, mengepel lantai, mengambil sampah di halaman, menyiram tanaman, dan membuka jendela. Aku ingat, aku hanya mengomandoi susunan tempat duduk mereka saja.

“Anak-anak, sebelum kita berkenalan, kalian bersihkan saja dulu ruangan kelas ya. Nanti tempat duduk kalian buat seperti tempat duduk di kelas sebelah. Seperti ini..,” ujarku sambil mempraktekkan susunan tempat duduk, dua kursi dan dua meja berdekatan, lalu diikuti pula untuk meja dan kursi di belakangnya. Mereka tersenyum-senyum, entahlah apa masih malu berinteraksi denganku atau tidak. Ada juga yang lantang menjawab, “Baik, Bu. Kotong bersihkan semua su.”

Selang ku tinggalkan kelas beberapa menit, aku kembali melihat kelas 3. Pikirku, sudah saatnya beraksi. Aku tak sabar lagi memperkenalkan diri kepada mereka, aku tak sabar lagi mengenal nama dan cita-cita mereka satu persatu! Akhirnya aku pun bertanya, apakah kelas sudah siap atau belum, karena ibu guru akan masuk ke kelas. Mereka serentak menjawab, “Sudah, Bu.”

Tentu saja, aku tak lupa membawa poster tentang diriku yang ku buat tadi malam. Aku juga membawa lem untuk menempel poster itu di papan tulis. Dengan sigap aku menempelnya sendiri, tampaknya anak-anak masih malu-malu untuk berinteraksi denganku, apalagi menawarkan bantuan. Aku biarkan pandangan mata mereka menyiratkan pertanyaan atas apa yang mereka lihat di papan tulis. Kudengar, beberapa siswa berbisik, mereka sepertinya telah menduga bahwa yang kutempelkan itu adalah tentang diriku. Di sisi lain, suara-suara yang terdengar oleh telingaku mengatakan, “Awi, cantik na gambar warna warni ibu.” Aku tersenyum mendengarnya. Ibu guru mereka yang tak pandai menggambar ini dikomentari seperti itu. Sungguh lugu perkataan anak kecil, pikirku.

Aku membuka kelas dengan salam, “Selamat pagi, anak-anak.” Mereka bersemangat sekali menjawabnya, hampir-hampir aku mengerenyitkan dahi karena belum terbiasa dengan suara keras mereka. Aku mengucapkan terima kasih karena mereka telah bekerja bakti dengan baik pada pagi itu. Aku juga menunjukkan namaku yang tertera di jaket Indonesia Mengajar, Bella, di sebelah kiri atas.

“Ibu Bella, oh..,” ujar mereka sambil penasaran melihat jaket dan poster di papan tulis.

Aku pun memperkenalkan nama lengkapku berikut simbol diriku di poster tersebut.

“Nama ibu adalah ibu Bella Moulina, tapi anak-anak panggil ibu dengan ibu Bella saja ya,” kataku.

“Anak-anak tahu tidak ibu berasal dari mana?” tanyaku kepada mereka.

Tak ada jawaban, namun mereka mencoba berdiri untuk melihat lebih dekat gambar yang sudah dibuat. Mereka pikir ada nama kota tempatku berasal disana, namun pada akhirnya aku berhasil mengalihkan pandangan mereka ke sebuah gambar ikon khas Jambi. Gunung Kerinci dan Candi Muaro Jambi. Mereka yang tak paham dengan gambar itu mencoba menerka. Ada yang menjawab gambar rumah, sawah, dan lain-lain. Entahlah, mungkin karena ketidakpiawanku menggambar, alhasil anak-anakku punya segudang interpretasi yang justru berbanding terbalik dengan maksudku hehe.

Akhirnya aku menjelaskan bahwa dua ikon gambar itu adalah ciri khas Jambi, tempat dimana aku berada sebelum berangkat ke Rote. Aku pun memperkenalkan satu-satu maksud gambar makanan, minuman, tanggal, cita-cita, dan beberapa orang yang berada di sekeliling gambarku. Mata mereka menyiratkan antusiasme tinggi. Mereka tak sungkan untuk menebak bahwa gambar di sebelah kiri tentang hari lahirku. Sedangkan gambar di sebelah kanan adalah hobiku. Ah, mereka cerdas! Hari pertama berkenalan dengan mereka cukup berkesan. Aku berhasil menggaet mereka ke dalam hidupku, sebelum akhirnya aku yang akan mengenal mereka lebih dalam.

Pada akhirnya perkenalan usai. Aku berterima kasih kepada mereka karena sudah memperhatikan dengan baik. Hingga tiba gilirannya aku memanggil nama mereka satu persatu untuk maju ke depan kelas. Ya, perkenalan diri yang mungkin bagi mereka tidak biasa. Berdiri di depan kelas, malu-malu, wajah melihat kanan dan kiri, sambil menunduk ke bawah, hingga pada akhirnya aku menguatkan mereka, “Ayo, kenalkan dirimu kepada teman-temanmu dan ibu tentunya. Ibu ingin tahu apa cita-citamu.”

Winda, adalah anak yang membuatku tersentak saat ia memperkenalkan diri di hadapan teman-temannya. Sesaat setelah aku melihat ekspresi wajah dan tubuhnya yang pemalu sambil menutup mulut dengan tangannya, dan cengar-cengir di depan kelas, aku mencoba membuatnya berani berbicara.

Pada akhirnya ia berkata, “Halo teman-teman, nama saya Dewinda Keluanan. Cita-cita saya ingin menjadi petani seperti ibu dan bapak saya.”

Mungkin itu adalah kali pertama saya mendengar cita-cita seorang anak Indonesia ingin menjadi petani. Kurasa ia sangat menghargai perjuangan ibu dan bapaknya yang bekerja sebagai petani, yang menyekolahkannya hingga kini. Kurasa ia sangat menelaudani ibu dan ayahnya, hingga pekerjaan pun ia ingin menyamainya dengan orangtuanya. Kurasa pula ia tak punya pilihan lain untuk menjadi seperti apa di masa depan, mungkin ia belum mengetahui betapa banyak cita-cita yang ia bisa gapai.

Aku tak kuasa untuk tidak memberikan apresiasi kepadanya. Winda, anak perempuan yang postur tubuhnya paling tinggi diantara teman-temannya, membuat hati kecil saya bergumam.

“Tidak ada yang salah dari cita-cita anak ini. Petani itu mulia. Ia memberikan beras kepada masyarakat. Ia menunggu beberapa bulan untuk panen. Ia dengan sabar menunggu padinya di sawah. Ia mengusir burung-burung yang hinggap untuk memakan biji padi. Petani pula yang berjasa terhadap surplusnya beras di Rote. Jadi sesungguhnya cita-cita Winda tidak salah. Namun disini, di ujung republik ini dan jauh dari peradaban kota, pulau paling selatan Indonesia ini sesungguhnya menyimpan optimism kepadaku untuk berbuat lebih banyak bagi mereka. Aku tak ingin Winda dan anak-anak lainnya disini hanya mengenal profesi yang itu-itu saja, aku ingin mereka kenal profesi lain yang kelak menjadi cita-cita mereka di masa depan, yang tentunya berguna bagi perkembangan negeri nusa lontar ini. Aku tentu ingin melihat kehidupan Winda dan anak-anak lain disini sama seperti keluarga mereka. Aku ingin menanamkan bahwa hidup mereka harus lebih baik dari keluarga mereka di masa depan. Mereka setidaknya harus bersekolah untuk menaikkan derajat kehidupan keluarga mereka. Aku bertekad untuk mereka.”

Sungguh hari pertama yang tak bisa dilupakan.

Sekapur Sirih #30daysofwritingchallenge

Rote dalam pandangan pertama saya di pelabuhan Ba'a

Rote dalam pandangan pertama saya di pelabuhan Ba’a

                ”Anak-anak Bawean menanti bapak ibu guru…”

                Sejenak kata-kata dari salah satu fasilitator kami saat Pelatihan Intensif Pengajar Muda angkatan VI Mei 2013 lalu terhenti. Ia menarik nafas panjang. Sesaat kemudian aku mendengar satu persatu nama-nama temanku terdengar di telinga. Aku bahagia. Akhirnya mereka mendapat kepastian dimana mereka akan mengajar selama 1 tahun ke depan.

                “Eni, Kinkin, Naim, Tika, Ano, dan Fauzan,” sebut salah satu fasilitator kami dengan suara lantang.

                Tiba-tiba dari arah yang berlawanan, dengan posisi yang sama yakni memejamkan mata, aku mendengar kabupaten Rote Ndao disebutkan. Ah, dalam hati aku berpikir, apakah aku berada disini? Atau aku malah ke kabupaten lain?

                “Anak-anak di Rote Ndao menunggu bapak ibu guru, Rizqie, Tika, Fitri, Nadia, Ice, Wisnu, Iwan, Bella, dan Tiva!”

                Mendengar namaku disebut dalam tim Rote Ndao, aku bersujud syukur. Sedikit tetesan air mata kurasakan mengalir di pipiku. Aku terharu. Selang beberapa minggu lagi, aku akan melihat tanah timur, tepatnya pulau paling selatan di negara ini, Pulau Rote di Kabupaten Rote Ndao.

 

                Hidup sejatinya lebih bermakna ketika kita dapat berarti bagi orang-orang yang kita cintai. Kehadiran kita dinantikan. Tutur kata menjadi panutan. Kebermanfaatan bagi sesama selalu dirindukan. Kita bisa memilih hidup kita ingin lebih berarti atau tetap pada saat ini. Saya memilih yang pertama.

Satu tahun di Rote Ndao bukan sebagai prestise menjadi pengajar muda yang melunaskan janji kemerdekaan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Satu tahun di Rote Ndao tidak hanya mengajar dan seumur hidup menginspirasi. Lebih dari itu, satu tahun di Rote Ndao membuat hidup saya lebih bermakna. Saya lebih mengenal diri saya. Saya lebih mengenal Allah Swt, sang pencipta jagad raya. Saya merindukan keluarga dan ingin lebih mengenal mereka. Dan saya semakin cinta Indonesia.

                Telah 1 bulan lebih saya kembali ke tanah tempat saya belajar, Jambi. Dalam kurun waktu itu pula tak banyak yang sudah saya lakukan sekembalinya saya kesini. Saya menunggu panggilan lamaran yang saya tuju kepada berbagai institusi, baik di Jambi maupun luar Jambi, saya menunggu tes abdi negara, saya berdiskusi dengan komunitas di Jambi, dan saya kembali mulai mengajar privat. Di sisi lain, saya memiliki banyak waktu bersama keluarga dan berkontemplasi dengan Tuhan saya; untuk apa saya hidup, mengapa saya hidup, dan apa yang harus saya lakukan di hidup ini.

                Sejatinya ini adalah awalan. Dalam beberapa hari kedepan, saya berencana membuat proyek #30daysofwritingchallenge dimana saya kembali akan menuliskan kisah perjalanan hidup yang saya pelajari selama di Rote. Ini bukan tentang sudah atau belum move on, karena bagi saya lebih baik kita memahami makna: “Menulis adalah melukis sejarah. Menulislah sebelum kau hilang dari sejarah.” Jadi, sebelum saya ‘diambil’ olehNya dari muka bumi ini, sebelum saya memiliki pekerjaan yang sibuk sekali, sebelum saya pada akhirnya tidak memiliki waktu untuk menulis, saya memutuskan untuk menantang diri saya dalam 30 hari kedepan untuk menulis. Minimal dalam satu hari saya menulis satu tulisan, lebih pun juga boleh.

                Proyek ini adalah hasil olah pikir saya dengan mengenang apa yang sudah saya alami dalam satu tahun belakangan. Saya akan bernostalgia dengan ingatan saya dan bantuan orang-orang yang berada di sekeliling saya dalam satu tahun lalu. Mungkin teman-teman akan melihat tulisan saya bisa haru, bahagia, penuh gelak tawa, atau bahkan sedih. Lumrah halnya ketika manusia hidup di umur 24 tahun, tentu banyak kisah suka duka yang ia alami. Pun saya juga begitu.

                Akhirnya, ini adalah pengantar sebelum saya menulis proyek #30daysofwritingchallenge. Mohon ingatkan saya kalau sampai jam 10 malam belum mengupload tulisan juga (jika teman-teman berkenan). Proses dari pagi hingga malam akan merunutkan saya terhadap kejadian-kejadian yang akan saya tulis, sebelum pada akhirnya saya berkutat di depan laptop seperti saat ini.

                Sampai jumpa di cerita pertama saya malam nanti!

12 km Untuk Ilmu  

20140414_134752[1]

“Ibu benar mau naik oto bareng katong?”, tanya anak saya suatu hari.

                “Iya, nanti tunggu ibu sebentar ya. Ibu mau beres-beres dulu, nyiapin pakaian untuk berangkat,” jawab saya yakin.

Begitulah pembicaraan saya dan siswa kelas 3 yang tinggal di Leli beberapa waktu lalu. Saya memutuskan untuk merasakan sensasi menumpang oto (dalam bahasa Rote artinya mobil) atau motor yang lewat di depan sekolah saya. Yup, di 3 bulan terakhir ini saya malah ingin terus naik truk, nebeng dengan kendaraan yang lewat, yang bersedia menumpangi saya dan anak-anak.

Leli, adalah daerah tempat tinggal siswa saya yang letaknya jauh dari sekolah. Ya sekitar 6 km, jika mereka pulang pergi maka mereka menghabiskan 12 km. Di Leli terdapat lebih dari 10 siswa, itu sudah termasuk siswa kelas I hingga kelas VI. Mereka terbiasa bangun pagi agar bisa menunggu oto atau motor yang lewat di tepi jalan, yang sudi berbaik hati mnumpangi mereka.

Tapi ada kalanya mereka harus rela berjalan kaki setiap pagi sejauh 6 km. Sayangnya mereka sering terlambat ke sekolah karena lama berjalan. Ini kadang bikin saya berada di dua sisi berbeda, antara sedih dan kesal. Sedih karena mereka tidak mendapatkan tumpangan dan membuat mereka harus jalan kaki. Kesal karena mereka terlalu asyik menunggu dan ketika matahari sudah naik, mereka baru berjalan dari tempat tersebut ke sekolah, yang membuat mereka tidak datang tepat waktu.

Untuk apa mereka rela melakukan itu? Untuk mencari ilmu dari guru, suatu bekal di masa depan yang kelak akan berguna bagi mereka. Pernah saya bertanya kepada siswa saya apa tidak capek melakukan aktivitas seperti itu setiap hari, jawabnya: “Katong pung mimpi harus tercapai dengan giat belajar. Katong harus belajar di sekolah dengan bapak ibu guru.”

Atau pertanyaan lain seperti ini: “Kenapa bosong telat terus na? Ibu sedih sekaligus kesal melihat bosong terus yang telat.” Jawaban mereka membuat helaan nafas panjang pada diri saya, “Sonde dapat oto, Ibu.” Ditambah lagi muka anak-anak yang menjawab lugu dan jujur makinlah bikin hati saya luluh.

Maka dari itu, sejak pertengahan Maret lalu saya memutuskan untuk naik oto bareng siswa setiap saya ingin pergi ke ibukota kabupaten. Meski jarak daerah penempatan dan ibukota kabupaten hanya 15 menit, tapi saya ingin merasakan hidup anak-anak saya yang berjuang 12 km setiap harinya untuk mencari ilmu. Jadi sungguh saya menikmati pengalaman baru ini.

Menunggu oto lewat di depan sekolah sama seperti menunggu seseorang di masa depan. Tidak pasti kapan datangnya. Supaya tidak ketinggalan oto, saya harus bergegas beres-beres di rumah, lalu sholat Dzuhur dan berjalan ke depan sekolah, kemudian bergabung dengan anak-anak sambil melambaikan tangan kepada oto yang lewat. Aktivitas itu pula yang saya lakukan kemarin siang.

Kemarin siang saya bersama Windy, Kesya, Fera, dan Martha menunggu oto. Ada pula siswa kelas V dan VI yang masih belum beranjak dari sekolah, pada akhirnya bergabung bersama kami. Kami menunggu hampir 2 jam lamanya. Ini membuat saya tidak enak dengan anak-anak saya, karena mereka menunggu saya sebelum pulang. Dalam penantian oto tersebut, kami bercerita dan bermain.

Tepuk Ampar-ampar Pisang dan permainan Inji-injit Semut jadi idola anak-anak ketika menunggu oto. Saya diajak, dan saya tertawa bersama mereka. Sungguh kebahagiaan bagi saya melihat mereka tertawa ceria di usia anak-anak yang memang seharusnya mereka rasakan. Terkadang saya meneriaki mereka berkali-kali untuk tidak duduk di tepi jalan. Karena oto atau motor sering lewat di depan sekolah (sekolah saya terletak di tepi jalan) dengan kecepatan tinggi, dan anak-anak malah duduk di tepi jalan.

Setelah hampir 2 jam mengisi aktivitas menunggu oto, akhirnya oto yang dinantikan datang juga. Kloter pertama adalah Kesya dan Fera. Saya menyuruh mereka dahulu agar saya dan beberapa anak lainnya dapat menyusul di oto yang masih lengang penumpangnya. Di sisi lain mereka juga harus mencari telur paskah pada jam 2. Beberapa menit kemudian akhirnya oto lewat lagi, saya, Windy, dan Martha naik. Kami duduk di belakang bersama barang-barang di oto yang berisikan sayuran dan bahan makanan. Diketahui oto tersebut akan berangkat menuju Rote Barat Laut siang tadi. Untuk ke kecamatan itu harus melewati ibukota kabupaten, jadi saya pun bisa menumpang.

Perjalanan 15 menit terasa begitu cepat. Pemandangan di tepi jalan juga indah. Laut biru, langit bersih dengan awan putih, bukit nan hijau dengan pepohonan damar dan lontar, sungguh perpaduan sempurna ciptaanNya. Suatu pemandangan yang akan sangat jarang saya temukan jika masa tugas sebagai pengajar muda ini akan berakhir 2 bulan sejak sekarang.

Kini, makna 12 km itu membuat saya lebih mengerti. Mereka rela menunggu oto atau berjalan kaki demi ilmu. Sungguh tidak ada alasan bagi kita yang tinggal di perkotaan untuk bermalas-malasan berangkat ke sekolah atau kampus dalam menuntut ilmu. Belajarlah dari siswa saya. Jarak 12 km untuk ilmu bukan jadi penghalang.