Panggilan Itu Bernama Umroh

Tengah malam itu saya berkali-kali menatap Ka’bah dengan tanpa memikirkan apapun. Saya hanya mengingat kebesaran Allah Subhanahu Wataala yang mampu membawa saya menuju tanah haram itu. Betapa Ia baik memberikan kesempatan bagi saya yang masih banyak dosa ini diterima dengan layak disana. Betapa perjuangan untuk meluluhkan hati orangtua, terutama Mama, untuk merelakan anak perempuannya lagi berangkat ke luar negeri tanpa mahram. Betapa tidak pelak saya bersyukur atas semuanya.

 
Tulisan pertama ini hanya mengupas segelintir kejadian sebelum keberangkatan. Teman-teman, ini bukan untuk pamer, riya, sombong, atau apalah yang mungkin sempat terlintas di benak kalian. Tulisan ini tidak lain hanya ingin berbagi kepada teman-teman yang mungkin membutuhkan informasi sebelum berangkat, atau juga ingin sekedar membaca tulisan saya yang sudah lama tidak menghiasi blog ini. Sekiranya ada manfaat yang bisa diambil, saya akan bersyukur sekali, karena tujuan hidup saya ya itu, menjadi manusia yang bermanfaat bagi banyak orang. Saya mohon maaf jika dalam penyampaian ini ada yang kurang berkenan, karena sejatinya pun saya banyak kekurangan. InsyaAllah tulisan blog kedepannya akan dibagikan per tahap tentang perjalanan yang saya rasakan bulan lalu.

 

 

Saya Dipanggil, Segera!

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umroh karena Allah…” (QS. Al-baqarah: 196)

 
Sebenarnya ajakan untuk berumroh sudah terlontar dari orangtua saya sejak November 2014. Kala itu Mama dan Papa akan berangkat umroh pada Desember 2014. Hanya saja saat itu saya merasa harus banyak memperbaiki diri dan berkeinginan untuk berangkat kesana dengan uang sendiri (saat itu uang saya belum cukup dan akan banyak menggunakan uang orangtua daripada uang saya sendiri). Saya bilang ke Mama bahwa saya akan berangkat jika waktunya telah tepat dan murni menggunakan uang saya sendiri. Dalam hati saya berpikir, kapankah waktu yang tepat itu?

 
2017. Ya panggilan itu hadir di awal 2017. Saya merasa saya harus kesana untuk mengadukan semuanya, untuk bercerita kepadaNya, untuk meminta pada Sang Pencipta jagad raya ini, untuk bermuhasabah di hadapan Ka’bah langsung, dan untuk-untuk lainnya. Hanya saja saat itu kendalanya adalah izin belum didapatkan dari orangtua, terutama Mama. Beliau khawatir saya ke tanah yang nggak biasa itu sendirian tanpa mahram, sedangkan orangtua juga sudah umroh dan haji, jadi belum dulu untuk berangkat kesana. Saya paham, saya mafhum, saya nurut.

 
Kemudian pertengahan menuju akhir 2017 saya ‘merengek’ lagi ke Mama. Kali ini khusus ke Mama, karena Papa sejatinya telah merelakan saya berangkat sendiri. Saya bilang ke mama bahwa keberangkatan ini nggak sama seperti saya ke Amerika Serikat dulu. Ini bukan untuk jalan-jalan, tapi untuk beribadah. Saya ingin Mama merestui harapan saya. Namun, restu itu belum juga didapatkan.

 
Hingga saya legowo dan nggak terus-terusan meminta permohonan ke Mama, saya pun berusaha untuk “Ya sudahlah.” Dalam hati mikir, kok ya nggak boleh, kan disana bakal dengan bapak ibu lainnya juga. Apa Mama takut anaknya ini diculik orang Arab karena terlalu hobi jalan-jalan sendirian, apa mungkin Mama khawatir kalo saya bakal hilang disana, dan kebingungan lainnya yang saya simpan sendiri. Di sisi lain, keberangkatan saya semakin kuat karena niat dan uang tabungan yang telah mencukupi (uangnya terkumpul dari tabungan bertahun-tahun dengan Mama dan disokong uang beasiswa S2). Kedua hal ini sudah di tangan, namun Mama masih diam nggak bergeming.

 
Pun 2018 berganti, menuju awal Februari. Di bulan itu saya mengalami apa yang orang bilang saat di SPBU: “Mulai dari nol ya.” Saya merasa saya harus mulai dari nol. Saya merasa saya harus memohon ampun atas segala keburukan, kekhilafan, dosa, dan kejelekan yang pernah ada pada diri saya, yang mungkin secara sengaja atau nggak sengaja saya lakukan, baik itu kepada diri sendiri atau orang lain. Saya meyakini pula Allah Subhanahu Wataala insyaAllah akan mengampuni semua itu kepada saya. Saya juga berharap rezeki dariNya untuk saya akan diberikan pada tahun ini. Rezeki yang saya rasa hidup saya belum bermakna, saya belum membahagiakan orangtua, dan saya harus sukses bersama orang yang saya yakini akan membimbing saya menuju surga jannah. Terlebih lagi sebuah kejadian membuat saya akhirnya terus berpikir bahwa saya harus ke Mekkah. Yang saya yakini adalah Allah Subhanahu Wataala adalah Sang Pemberi Keputusan Terbaik. Apapun keputusanNya, saya siap. Maka bermodal kedua hal itulah, akhirnya Mama memberikan izin kepada saya. Dan pada tanggal 9 Februari 2018, saya mantap melangkahkan kaki ke kantor bimbingan perjalanan haji dan umroh, Chairul Umam dengan Papa saya.

 
Teman, perjuangan ini belum selesai, tidak hanya mendaftar dan menyerahkan uang 1 bulan sebelum keberangkatan saja, namun juga selama 1 bulan itu saya dituntut harus bisa mengatur waktu dengan baik. Membaginya dengan seefisien mungkin, termasuk harus meluangkan waktu dari Jum’at hingga Minggu untuk mengikuti manasik umroh. Manasik umroh di Chairul Umam dilaksanakan selama 3 kali dalam 1 minggu. Pertama hari Jum’at di kantor Chairul Umam di Beringin, disana hadir ustadz yang memberikan tausiyah tentang persiapan keberangkatan haji dan umroh. Hari kedua pada hari Sabtu bertempat di Masjid Sukarejo di TheHok, dengan tema yang sama di hari pertama. Hari ketiga adalah hari Minggu di Asrama Haji Kotabaru, dimana saya melaksanakan praktek dari teori yang sudah didapatkan selama 2 hari sebelumnya.

 
Selama 1 bulan itulah saya bertemu dengan bapak dan ibu, ya sebuah perkenalan yang nggak biasa. Karena selama ini biasanya kenal dengan anak muda, nah sekarang harus bisa beradaptasi dengan orang yang lebih dewasa daripada saya. Bermodalkan salam, senyum, sapa, dan bertanya “Ibu berangkat haji atau umroh?”, maka perbincangan terus mengalir. Kerap saya sedih saat ditanya berangkat dengan siapa, karena memang hanya saya sendiri yang berangkat. Dan serentetan kalimat tanya berikutnya yang saya jawab dengan senyum.

 
Bukan hanya perkenalan dengan sesama jamaah umroh yang harus saya lakukan, saya juga harus menyiapkan fisik yang prima dan perlengkapan yang nggak boleh tinggal sepeserpun dari Jambi. Saya jadi makin intens olahraga setiap pagi atau sore dengan cara jogging di sekitar area RSJ dekat komplek rumah saya. Saya mendorong diri untuk berlari (meski dengan terengah-engah) dalam waktu dan jarak tertentu agar tubuh saya terbiasa untuk berjalan jauh. Saya juga berusaha untuk mengatur pola makan yang nggak hanya sekedar tekwan, bakso, soto, dan teman-temannya, namun juga mengikuti anjuran dokter untuk makan buah dan istirahat lebih awal (nggak bergadang). Di sisi lain saya juga mendapatkan selembar kertas tentang barang-barang apa saja yang harus saya bawa, saya juga membeli perlengkapan yang sekiranya Mama nggak ada (karena sebagian besar barang-barang umroh saya pakai dari milik Mama). Saya membuat daftar barang yang akan dibeli dan memastikan sudah ada di koper 1 minggu sebelum berangkat. Tambahan lagi, mendekati minggu sebelum berangkat saya harus sementara off mengajar dan menyelesaikan tugas kuliah. Lumayan hectic sih, karena meski saya sudah off mengajar, tetap saja tugas kuliah dituntut harus selesai sebelum saya berangkat, agar saya tenang beribadah di Mekkah. Dan satu hal lagi, setiap malam nggak henti-hentinya saya diingatkan dari A sampai Z mengenai apa yang harus dan tidak harus saya lakukan di Mekkah dan Madinah oleh orangtua saya, pun di sisi lain orang-orang terdekat juga mendukung dan memberikan wejangan. Alhamdulillah bekal ini lumayan membuat saya siap berangkat.

 
Lantas hari itu tiba. Hari dimana saya harus berangkat sendiri, yang seumur hidup saya bahkan nggak pernah menangis sesenggukan seperti kemarin. Hari dimana saya telah menyelesaikan perlengkapan yang akan saya bawa, hari dimana saya harus melaksanakan sholat safar pertama kali di hidup saya, hari dimana hati saya terombang-ambing dan bertanya: “Apakah saya diterima dengan baik di tanah haram?”

 
Hingga pagi di tanggal 14 Maret 2018, orangtua dan kedua adik mengantar saya ke bandara. Memakai jilbab Chairul Umam berwarna kuning, baju gamis putih dilapisi baju batik Chairul Umam, dan segenap doa dan restu dari mereka, hingga air mata yang keluar saat saya harus masuk ruang pemeriksaan bandara Sultan Thaha Jambi sambil memegang tisu untuk menyeka air mata, dan berkata kepada Mama, “Ma, doain Ayuk disano yo.”

 

 

Hanya itu, hanya itu yang saya ucapkan kepada Mama, sembari mencium tangan Mama dan Papa, serta kedua adik laki-laki. Langkah kaki saya

Traveling with Garuda Indonesia

Foto di pesawat sebelum take off dari Jakarta ke Jeddah

mantap. Ya, restu itu telah didapatkan. Doa-doa telah dikabulkan untuk tahap pertama keberangkatan ini. Alhamdulillah, panggilan bernama umroh itu akhirnya tiba. (bersambung)

Lampaui Batas Dirimu!

14

            “You have the power in your hand when you have it in your mind.” -René Suhardono-

Siapa diantara kita yang terkadang merasa saya tidak bisa melakukan apapun? Siapa diantara kita yang seringkali mengatakan bahwa saya mustahil melampaui batas diri karena saya sendiri memiliki keterbatasan diri? Siapa pula diantara kita yang justru urung melangkah ke depan hanya karena takut kalah, takut gagal, dan berpikir bahwa itu hanya menyia-nyiakan waktu? Lalu pada akhirnya kita memilih diam, jadi penonton, dan menunggu keajaiban datang. Oh well, bukankah hidup selalu menuntut kita untuk mengambil resiko dan mendaki jalan yang terjal?

Jika teman-teman mengingat perjuangan Rasulullah SAW yang membawa kita dari alam jahiliyah hingga ke alam yang penuh keberkahan ini, tentu teman-teman paham bahwa Rasulullah SAW telah melampaui batas dirinya untuk berjuang menyebarkan Islam di dunia ini. Jika bukan karena kecintaan Nabi Muhammad SAW terhadap Allah SWT, jika bukan karena keteguhan hatinya untuk menjalankan perintah RabbNya, tentu kita tidak mampu menikmati indahnya dunia. Sudah sepatutnyalah kita juga meniru pribadi agung tersebut.

“Dan tiadalah Kami mengutus Engkau wahai Muhammad, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (Q.S Al-Anbiyaa’ (21):107)

Lantas bagaimana kita mampu meniru Rasulullah SAW, melampaui batas diri, menjadikan hidup lebih bermanfaat dan bermakna? Ada beberapa hal yang menurut saya dapat menjadi pertimbangan kita agar dapat melampaui batas diri, yaitu:

  1. Keluar dari zona nyamanmu

Setiap orang pasti akan merasa bahwa kehidupannya saat ini sudah mantap, sudah aman, tidak perlu melakukan apapun lagi, jadi ya let it be. Namun, kalau kamu ingin mengubah hidupmu, pikirkanlah kalimat di atas sebagai penentu pertamamu. Jika kamu tidak ingin keluar dari zona nyaman, bagaimana mungkin kamu bisa melampui dirimu? Tidak mungkin akan meraih sesuatu kalau kita masih terkungkung disana bukan? Jadi tinggalkan zona nyamanmu, teman!

  1. Miliki impian

Penting sekali lho untuk memiliki impian. Jika tidak memiliki impian, hidup akan seperti gitu-gitu saja. Ya orang kesana, kita ikut kesana. Orang kesini kita ikut kesini. Umur bertambah, and we do nothing. Percayalah, impian bukan sekadar angan-angan panjang yang mustahil untuk diwujudkan. Justru jika kamu berusaha bersungguh-sungguh dan selalu berdoa kepada Sang Maha Kuasa, insyaAllah impian tersebut yang akan menjadi pencapaian terbaikmu dalam mengenali kemampuan diri.

  1. Berjejaring dan miliki mentor/coach

Coba deh hitung jumlah teman atau sahabatmu? Apakah dari tahun ke tahun sama saja atau bertambah? Apakah lingkaran pertemananmu berdampak baik untukmu? Apakah kamu dapat berdaya bersama mereka? Jika kebanyakan tidak, sudah saatnya kamu berjejaring dengan mereka yang memiliki keinginan yang sama pula denganmu. Bertemanlah dengan siapa saja, namun kamu juga perlu memilih mereka yang terbaik yang dapat membimbing kamu melejitkan potensi diri. Jika kebetulan menemui seseorang yang mampu menjadi mentor atau coach kamu, ada baiknya kamu meminta kepada dia apakah dia bersedia.

  1. Berpikiran positif

Orang yang di dalam dirinya hanya ada pikiran negatif akan berdampak pada pandangan dan tingkah lakunya di kehidupan nyata. Justru mereka yang memiliki pikiran positif akan lebih dahulu sukses, tidak terpenjara dengan pikiran negatif yang membuat mereka urung melakukan sesuatu. Bagaimana supaya memiliki pikiran positif? Kuncinya sederhana, perbanyaklah membaca dan berdiskusi dengan orang-orang yang berpikiran positif.

  1. Merawat hati dengan beribadah

Siapapun kita, apapun agama kita, dari mana saja kita berasal, apapun suku kita, satu hal yang harus kita jaga adalah merawat hati dengan berinteraksi dengan Tuhan Yang Maha Esa. Beribadah, berdoa, memanjatkan kecintaan kita kepadaNya, akan membuat kita tetap berada pada jalan yang seharusnya kita yakini akan membuat kita lebih baik. Tentunya kita butuh bimbingan Allah SWT bukan agar diri kita tetap berada dalam batasan yang seharusnya?

  1. Restu orangtua

Jangan pernah melakukan apapun tanpa restu orangtua. Mereka yang melahirkan, merawat, membesarkan, dan membimbing kita sedari kecil adalah kunci utama agar diri kita menjadi pribadi lebih bermanfaat dan bermakna bagi semesta. Seandainya tanpa restu orangtua, tidaklah kita bisa raih apapun yang kita inginkan? Jadi, berbaiklah kepada mereka, selalu doakan mereka, berkata baiklah, dan sering-sering lah berinteraksi untuk belajar kehidupan dari mereka. InsyaAllah kemampuan kita untuk melampaui batas diri akan lebih diridhoi oleh Allah SWT jika disertai dukungan dari orangtua.

Guys, seperti yang kata René sebutkan di atas, kita lah yang punya kuasa atas diri kita. Jika kita percaya ada kekuatan di dalam diri kita, maka kita dapat mewujudkannya. Tips di atas hanyalah penuntun bagi kau agar selalu semangat. Terlepas dari itu, kamu sendiri yang menentukan hidupmu. Good luck with your life!

Cerita Dibalik Perjalanan ke Amerika #1

New Journey Will Come
Saya mengemasi barang-barang di koper dan tas ransel. Saya memastikan tak ada satupun barang yang tertinggal. Pakaian, makanan, peralatan mandi dan berhias, peralatan sholat, oleh-oleh, dan makanan, semuanya ‘dipaksakan’ masuk ke dalam koper yang kupinjam dari papa. Sambil melirik pemintai waktu di arloji yang sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB, saya merasakan waktu berjalan lambat. Tak sabar ingin memulai perjalanan baru dalam hidup saya, sesuatu yang telah lama ditunggu.

 

Dikepung Asap
Pagi itu saya merasakan semangat yang mengalir dalam nadi melesat hingga 100%. Bangun pagi tak pernah semenarik ini, pikir saya. Semangat pagi yang saya rasakan dipompa oleh impian yang perlahan-lahan semakin mendekat. Pagi itu saya menyiapkan diri untuk memulai petualangan baru. Saya mengecek kembali perlengkapan yang akan dibawa. Tak lupa pula mengingatkan orangtua untuk mengantarkan saya ke bandara pukul 09.30 WIB.
Pesawat ternama di Indonesia itu akan mengantarkan saya ke provinsi dengan magis yang kuat. hedonisme Jakarta menanti saya pada hari itu juga. Jadwal penerbangan dengan maskapai yang tergabung dalam Sky Team itu diprediksikan akan berangkat dari Jambi pukul 11.00. Itu artinya saya sudah harus berada di Bandara Sultan Thaha Syaifuddin maksimal 30 menit sebelum keberangkatan. Tiket itu saya simpan di bagian belakang ransel, karena akan sangat mudah diambil ketika dibutuhkan.
Saya mengedarkan pandangan ke luar jendela kamar dan teras samping rumah, yang keduanya terletak pada lantai dua. Hati ini risau. Hati ini bimbang. Mungkinkah Allah Swt menundanya lagi kali ini? Mungkinkah Allah Swt sebenarnya tidak merestui saya ke negara super power itu? Mungkinkah kali ini saya harus merelakan lagi? Akankah saya harus mengubur impian itu kembali? Seribu prasangka berkecamuk dalam pikiran saya. Seiring itu pula, status update dari beberapa teman di BBM seolah-olah melumpuhkan harapan, “Asap tebal di Jambi membuat banyak penerbangan dibatalkan.”

 

Keputusan Dalam Situasi Tersulit
Dari 10 skala kepemimpinan yang saya ketahui saat menjadi bagian dari Pengajar Muda, salah satunya ialah decision making yang membuat saya harus belajar lebih banyak. Belajar mengaplikasikan pengambilan keputusan. Ya, siapapun pasti tak ingin di-php-in, terluntang-lantung di bandara tanpa kepastian. Berharap pesawat akan mendarat pukul 11.00, dan membawa saya beserta penumpang lainnya ke Soekarno-Hatta. Namun harapan itu sirna seketika setelah 4 jam menunggu, sebuah pengumuman diberitakan, “Garuda membatalkan penerbangan siang dan sore.”
Dengan handphone di tangan, secepat kilat saya menghubungi beberapa teman-teman di kontak BBM, yang saya pikir tahu jadwal keberangkatan mobil travel ke Palembang. Ya, saya memutuskan ke Palembang! Awalnya saya masih berharap Garuda Indonesia akan mendarat pada sore hari di Jambi, namun dikarenakan pengumuman itu, saya semakin tidak yakin pesawat sekelas Garuda akan mendarat di Jambi pada malam hari. BBM saya banyak dibalas teman-teman, namun kebanyakan menginformasikan mobil travel yang penumpangnya telah penuh ketika papa menghubugi terlebih dahulu.
Saya duduk di kursi tunggu penumpang sambil tetap fokus pada keajaiban orang-orang yang mungkin menginformasikan saya mobil travel yang masih bisa dipesan untuk berangkat pukul 19.00. Tiba-tiba saya melihat BBM seorang teman, Windy, yang menginformasikan travel di dekat Simpang Kawat berikut dengan kontaknya. Secepat mungkin saya menghubungi nomor tersebut, dan betapa bahagianya saya saat orang di seberang telepon mengatakan bahwa kursi masih ada!
Situasi sulit itu hampir saja membuat saya melelehkan air mata. Meski mata sudah berkaca-kaca dan menatap ke langit-langit bandara, pikiran saya melayang ke beberapa tahun silam. Kerasnya perjuangan meraih mimpi mengeraskan tekad saya untuk tetap berdiri meski diterpa badai. Saya melayang pada perjuangan itu.
Saya bahkan sempat berpikir, kenapa Allah Swt memberikan cobaan sesulit ini untuk keluar dari Jambi? Kenapa asap harus datang pada awal September di saat saya mau berangkat? Kenapa saya harus capek-capek berangkat ke Palembang naik travel selama 6 jam untuk menjangkau Jakarta? Badan ini sudah letih, ya Allah.. Pikiran saya sudah capek sekali. Hingga akhirnya seorang penumpang menyadarkan lamunan saya sembari bertanya nomor telepon mobil travel yang baru saja saya telpon.

 

Right or Wrong Decision?
Saya bersyukur di saat saya sedang down karena batal berangkat dari Jambi, Allah Swt memberikan pertolongan lewat teman saya, Dhanny. Pria keturunan Tionghoa ini menawarkan bantuan kepada saya untuk mencari mobil travel ke Palembang. Letak rumahnya yang dekat di bandara dan waktu pulang kerja yang sudah seharusnya membuat saya tak bisa menolak bantuannya.
Awalnya saya sungkan merepoti orang lain, tapi karena satu koper dan satu ransel yang saya bawa tak mungkin dibawa dengan motor, maka Dhanny adalah penyelamat saya waktu itu. Sedangkan orang tua sudah di rumah dan letak antara rumah dan bandara yang jauh, tidak mungkin saya meminta orangtua kembali ke bandara. Meski begitu, saya bertemu dengan papa di loket keberangkatan travel, ia membawakan botol minuman dan obat-obatan dari mama.
Palembang adalah satu-satunya jawaban untuk memutus rantai kesulitan hari itu. Akhirnya setelah diantar Dhanny ke loket, berangkatlah saya menuju Palembang. Di tengah jalan saya bahkan berharap keajaiban, kalau saja pesawat mendarat di Jambi malam itu, saya akan membatalkan keberangkatan menuju Palembang, dan mengubah jadwal penerbangan lagi dari Jambi ke Jakarta pada waktu Subuh. Saya membuang pikiran itu jauh-jauh. Pikir saya itu adalah hal yang mustahil karena asap masih mengepung Jambi.
Guess what? Ternyata penerbangan dari Jakarta ke Jambi malam itu mendarat! Saya yang baru tahu informasi tersebut setelah 30 menit perjalanan langsung lemas. Saya tidak mungkin meminta berhenti mobil, apalagi membatalkan perjalanan sedangkan mobil sudah berjalan. Saya hanya menghela napas panjang. Mungkin Allah Swt sedang menguji saya melalui keputusan yang saya ambil. Tak ada definisi mutlak salah dan benar dalam hal ini, jadi saya pikir, “I have to enjoy my life.”

 

Akhirnya Meninggalkan Sumatera
Tiba tengah malam di Palembang bukan perkara mudah, apalagi saat itu jam tangan menunjukkan pukul 02.00. Saya harus waspada, pikir saya. Bagaimana tidak, ada seorang perempuan satu-satunya di mobil travel, yang diantar paling akhir dan rumah keluarganya agak jauh dari pusat kota. Kadang kalo ingat ini, saya nggak habis pikir sama diri sendiri, terlalu berani atau terlalu penakut ya? Hehe..
Tiba di rumah ombai dan akas adalah kebahagiaan pada tengah malam itu. Saya langsung bergegas mengangkut ransel dan koper menuju pekarangan rumah. Matiar, oom saya, membukakan pintu toko bagian bawah. Melihat ombai yang terbaring di sisi adik sepupu perempuan saya, bergegas saya menyalami tangan beliau. Saya melihat akas yang berada di kamar sebelah, akas sudah tertidur pulas. Biarlah esok pagi saya bercengkrama dengan akas, batinku.
Pagi hari, seisi rumah akas melontarkan banyak pertanyaan dan kesalutan yang tak biasa yang dilakukan oleh cucu pertama dari keluarga ibu saya. Perjalanan yang harus dilakukan sebelum malam nanti berangkat ke Amerika, hingga cuaca di Jambi yang tidak memungkinkan saya untuk berangkat, saya ceritakan semuanya. Akas, yang sudah sepuh, meski sudah saya jelaskan berulang kali kenapa harus ke Amerika, tetap bertanya. Maklum, akas saat ini tidak memiliki pendengaran yang baik, jadi saya harus berulang kali menjelaskan jawaban yang sama.
Setelah berjam-jam mengobrol dengan akas, ombai, oom, tante, dan adik sepupu, akhirnya saya harus berangkat dari rumah khas Palembang itu. Diantar oleh sepupu oom saya, satu mobil penuh dengan keluarga oom dan adik sepupu yang mengantar. Mau meleleh rasanya air mata melihat perjuangan orang-orang di sekitar saya yang membantu saya hari itu. Mungkin kalau tidak ada saudara di Palembang, mungkin saya sudah tidur di pelataran bandara tengah malam itu.
Pesawat pun menerbangkan saya ke Bandara Soekarno Hatta pukul 11.00. Saya tak henti berdoa dan bersyukur karena telah diselamatkan oleh orang-orang baik di sekitar saya. Jika tanpa seizin Allah Swt, pertolongan itu tidak akan menghampiri saya. Burung besi yang masuk dalam jajaran maskapai penerbangan terbaik se-dunia itu membawa saya meninggalkan tanah Sumatera, memberangkatkan saya ke Tangerang bertemu dengan peserta International Visitor Leadership Program lainnya. (bersambung)

happy faces

Bersama keluarga di Jambi, sebelum berangkat ke Jakarta (yang pada akhirnya berangkat dari Palembang)

A Journey to Catch a Dream

Heart beating
Aku asyik memilih kain untuk dibuat jilbab di sebuah toko testil di kotaku, Jambi. Jilbab satin yang kupilih tidaklah mudah seperti yang kukira. Perlu waktu beberapa lama untuk mencari warna navy, pink, dan ungu. Seketika aku turun ke lantai bawah, menyegerakan pembayaran di kasir. Sesaat setelah sampai di kasir dan membayar sejumlah uang, aku membuka tablet yang saat itu masih baik kondisinya. Sebuah pesan dari seorang kakak perempuan, mbak Aurel, Public Affairs Assistant masuk melalui media social; Whats App.
“Bellaaa, selamaattt! Kamu lolos untuk ikut program IVLP ke Amerika! Aku barusan dapat kabar dari atasanku.”
Heart beating. Dalam kondisi berkecamuk, bayangan perjuangan masa lalu itu menari-nari di benakku. Jatuh bangun mencapai cita-cita yang diimpikan sejak lama itu membuat air mata meleleh selama di perjalanan menuju ke rumah.

You May Say I’m a Dreamer, but I’m Not the Only One
Tulisan tentang ‘dream’, entah sudah berapa kali aku tulis. Entah sudah berapa kali aku mencari peluang ini. Bermula dengan kalimat bahasa Inggris di atas, peluang yang tak kunjung tiba tadi tidak menyurutkan langkahku untuk terus berusaha. Karena aku yakin, bukan aku sendiri yang bermimpi. Ada banyak orang yang memimpikan hal yang sama, meski memang tujuannya berbeda.
Sejak awal kuliah, bahkan hingga selesai mengajar di Pulau Rote, satu tahun lalu, mimpi itu masih kuletakkan di depan kening ini. Aku sempat berbincang dengan sahabat yang bahkan tetap meyakini diriku untuk mendaftar beasiswa, meski pada saat itu aku sedang tidak ingin mengurus beasiswa. Kadar keinginan itu sedikit berkurang, tak semeluap dulu, namun aku yakin suatu saat akan tiba untukku. It will be my turn someday.
Hingga akhirnya pertemuan tak sengaja dirancang oleh Allah Swt. Pertengahan Desember tahun lalu aku dihubungi oleh kak Cea, pendiri KOalisi Pemuda Hijau Indonesia (KOPHI) yang berpusat di Jakarta. Saat itu kak Cea bertanya apakah ada komunitas yang dapat diajak bekerja sama untuk mengorganisir kegiatan komunitasnya yang mendapat dana hibah dari US Embassy Jakarta. Aku pun menawarkan Sahabat Ilmu Jambi (SIJ), komunitas yang memang dari dulu aku bersama teman-teman menggiatinya.
Kak Cea setuju, dan aku menghubungkannya dengan Yani dan Rieo. Mereka pun berhubungan langsung dengan kak Cea. Aku sama sekali tak ikut campur karena saat itu sudah bekerja. Waktu untuk berkegiatan di SIJ sedikit berkurang, di sisi lain pegiat lain yang lebih muda dan memiliki waktu luang cukup banyak. Jadi aku sama sekali tak ikut campur untuk urusan Social Media for Social Good yang sudah dirancang KOPHI dan US Embassy Jakarta.
Well, waktu pelaksanaan akhirnya tiba. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada pertengahan Januari. Jambi adalah kota pertama roadshow tersebut. Dan kak Cea akhirnya ke Jambi bersama teman-temannya dari KOPHI dan US Embassy Jakarta. Aku pun bertemu dengan kak Cea, dan ini pertemuan kedua kalinya dengan beliau. Aku bertemu dengan kak Cea pada hari kedua roadshow.
Pada hari itu, aku juga berkenalan dengan mbak Aurel, perempuan yang mengirimkanku pesan melalui Whats App tadi. Obrolan yang tidak begitu panjang itu berisikan pertanyaanku tentang tugas beliau di US Embassy Jakarta, kenapa memilih kota Jambi sebagai salah satu destinasi roadshow, apakah sudah pernah ke Jambi, dan apakah ada peluang untuk ikut kegiatan dari US Embassy Jakarta. Saat itu juga mbak Aurel bertanya tentang aktivitasku yang bekerja di SMP SMA SMK Islam Attaufiq, pengajar muda Indonesia Mengajar pada tahun lalu, serta inisiatif pendidikan melalui Sahabat Ilmu Jambi.
Aku menerka pembicaraan tersebut tak lebih dari 30 menit, karena saat itu aku tahu bahwa mbak Aurel akan pulang ke Jakarta pada sore hari, sedangkan aku tiba di lokasi roadshow pukul 14.00. Tak pelak pembicaraan pun tidak banyak, mbak Aurel memberikanku kartu namanya sambil berjanji akan memberitahuku informasi kegiatan di luar negeri suatu hari. Aku tak berharap banyak pembicaraan singkat tersebut akan berdampak manis beberapa bulan kedepan.
Selang dua bulan kemudian, mbak Aurel menghubungiku kembali. Ia mengirimkanku pesan Whats App yang memintaku untuk mengirim curriculum vitae secepat mungkin. Aku yang tidak mengerti kenapa harus kirim CV ini sempat menanyakan hal tersebut kepada beliau. Dan ia menjawab, “Untuk direkomendasikan ikut program ke Amerika.”
Membaca pesan tersebut membuat aku tak ingin terlalu banyak berharap. Aku belajar saat jadi pengajar muda dulu, kami diminta untuk low expectation terhadap tempat belajar kami selama satu tahun. Kini meski sudah berganti status menjadi alumni pengajar muda, dua kata tadi tetap aku ikhtiarkan saat memiliki keinginan baik. Esok harinya, email terkirim. CV singkat sebanyak dua halaman itu aku kirimkan, aku mempersingkat informasi dan menulis lebih detail.
Dua bulan kabar dari mbak Aurel belum menunjukkan hasil yang positif. Aku sedikit pesimis apa bisa lolos atau tidak. Diantara harapan yang muncul itu, aku pernah bertanya soal program yang nantinya lolos apakah dibiayai atau tidak, apa nama programnya, dan lain-lain. Tapi mbak Aurel tidak terlalu menjawab detail. Aku pikir mbak Aurel tidak memberitahu secara detail karena belum ada keputusan dari atasannya.
Akhirnya pada akhir Mei lalu, tepatnya 27 Mei 2015, pesan WA pada paragrap pertama di atas hadir di tabletku. Kepingan memori perjuangan itu menggelayut di benakku. Aku yang antara senang dan sedih membaca pesan itu, membawa motor dengan cukup pelan. Aku ingat perjuangan yang kulakukan saat masih menjadi mahasiswa. Aku ingat harus keliling lapangan KONI. Aku ingat harus berkali-kali menjawab pertanyaan dan mengirimkan email. Aku ingat bahwa lebih dari 10x aku mencoba berusaha untuk ke luar negeri.
Yang kucemaskan adalah, keberangkatanku bertepatan dengan keberangkatan orangtuaku ke Mekkah. Lantas bagaimana dengan adik bungsuku, Sadi? Apa mungkin aku menolak kesempatan yang sudah kutunggu bertahun lamanya? Apakah mama papa mengizinkanku? Apa aku mendapat izin dari sekolah tempatku bekerja?

A Journey of Thousand Miles Begin With a Single Step
Beribu mil perjalanan baru akan dimulai dalam beberapa hari lagi. Sejujurnya beribu mil perjalanan ini tidak hanya sekedar jarak, namun pembelajaran memahami diri dan Islam yang lebih baik. Ya, perjalanan yang panjang untuk meraih mimpi ini juga dimulai dari langkah pertama, yang masih gontai dan tak tentu arah. Finally, a nice journey come to me.
Keikutsertaan dalam program International Visitor Leadership Program ini merupakan single country program dari pemerintah Amerika Serikat, melalui Department of Education State, dan diteruskan melalui US Embassy di masing-masing negara. Insya Allah pembelajaran baru akan dilalui selama 3 minggu di Amerika Serikat bersama 12 peserta lainnya, yang juga pengajar muslim di sekolah Islam, pesantren, perguruan tinggi Islam, dan perwakilan Kementrian Agama. Insya Allah saya berangkat ke Jakarta dari Jambi pada 3 September siang, dan pada 4 September akan ada briefing di kantor US Embassy di Budi Kemuliaan, selanjutnya akan mempersiapkan keberangkatan pada malam hari. Sedangkan keberangkatan dari Jakarta insya Allah akan dimulai tengah malam menuju tanggal 5 September.
Lagi-lagi syukur tak terhingga dipanjatkan kepada Sang Maha Pencipta. Saya bersyukur perjalanan ini ditemani oleh banyak pengajar muslim, yang artinya tak akan ragu untuk memilih makanan halal, menentukan arah kiblat dan waktu sholat, serta memperluas pertemanan (meski saya peserta termuda pada program ini). Muslim Educators, begitu program ini dinamai, membuat saya harumempersiapkan banyak referensi tentang Islam. Tak bisa dipungkiri, aksi segelintir orang pada 11 September 2001 dulu mengakibatkan kepercayaan negara barat terhadap Islam sedikit turun. Saya ingin keberangkatan ke Amerika ini menjadi salah satu cara menjadi agen muslim yang baik, meski saya menyadari saya sendiri belum baik sepenuhnya.
Rencana Allah Swt indah sekali. Bahkan di saat saya sudah hopeless dan membiarkan keinginan untuk ke luar negeri berhenti sementara waktu, ternyata Ia membukakan jalan dengan cara seperti ini. Sang Maha Adil tampaknya mengerti bahwa di saat kita ikhlas, ia akan menggantinya dengan yang lebih baik. :”)

Merefleksikan 25 Tahun

*Sebuah refleksi quarter of life syndrome

“Bel, ikut PPAN (Pertukaran Pemuda Antar Negara) lagi gak tahun ini?” ujar seorang teman kepada saya beberapa waktu lalu.
Saya jawab, “Hmm, masih bingung. Banyak yang dipertimbangkan.”

Beberapa minggu setelah itu, kembali bertanya lagi, dengan orang yang berbeda. Dan saya jawab lebih panjang, lebih rinci, layaknya orang yang mau wawancara beasiswa, ada alasan yang panjang sekali disana.
“Kayaknyo idak lah, banyak nian yang dipertimbangkan. Orangtua minta aku untuk mikirin masa depan. You know lah the term of ‘masa depan’. Beda halnya dengan tahun-tahun kemarin, aku kalo ikut kegiatan-kegiatan dapat izin mudah, leluasa, nah sekarang keknyo diminta mengabdikan diri dulu ke orangtua, karena aku kayaknya banyak kemano-mano dulu tu. Yo mudah-mudahan be nanti aku biso dapat kesempatan lain ke luar negeri, meski bukan dari jalur itu. Dan semoga saja dapat izin belajar bareng dengan pendamping aku suatu hari nanti, entah di luar negeri atau mungkin tetap di Indonesia.”


Masa-masa jadi mahasiswa adalah masa-masa dimana saya banyak belajar dari orang-orang keren di Jambi dan Indonesia pada umumnya. Saat itu dimana jiwa muda pengen banget ini itu. Pengen melakukan ini, pengen buat ini, pengen kesini, dan pengen-pengen lainnya. Menjadi mahasiswa membuat saya juga mengembangkan kapasitas diri.

Saat jadi mahasiswa banyak sekali yang saya lakukan. Alhamdulillah, nggak hanya kuliah pulang – kuliah pulang saja. Mulai dari kegiatan organisasi, bekerja part time, diskusi dan sharing, forum kepemudaan, traveling, pelatihan, kepanitiaan kegiatan, dan lomba. Tema-tema yang saya ikuti tidak lepas dari passion dan ketertarikan saya terhadap pendidikan, lingkungan, jurnalistik, kepemudaan, kepemimpinan, kerelawanan sosial, serta wisata dan budaya.

Saya ingat betul pertama kali saya merasa, “I want to change my life.” Saya ingin melakukan sesuatu yang tidak saya lakukan sebelumnya saat masih jadi siswa. Saya memutuskan untuk belajar menulis melalui organisasi yang saya pilih, Majalah Kampus Trotoar. Bergabung disana membuat saya yang awalnya minder dan tidak memiliki kepercayaan diri menjadi lebih percaya diri dan tidak minderan. Turning back saya bisa dibilang berawal dari sana. Karena sejak dari Trotoar, saya bisa mengembangkan kapasitas diri saya yang justru timbul setelahnya.

Well, turning back saya itulah yang saya manfaatkan untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri saya. Pada akhirnya saya benar-benar merasa “enjoying my life as university student”. Kesempatan terbuka bagi saya, pengalaman terbaik dari orang-orang terbaik. Dari mereka saya belajar untuk nggak hanya ‘study’, tapi lebih kepada ‘learn.’ Beruntungnya saya diberikan keinginan untuk tidak berpuas diri terhadap ilmu yang didapatkan, maka saya pun banyak bertanya, banyak belajar, banyak melihat, banyak mendengarkan, dan banyak berdiskusi.

Saya menyadari bahwa kehidupan lebih baik ini tidak serta merta datang tanpa restu dari Allah Swt dan dukungan orangtua saya. Mungkin ihwal pertama saya keluar dari Jambi tanpa didampingi oleh orangtua juga jadi turning back-nya saya. Waktu itu saya harus ke Lampung untuk mengikuti Simposium Generasi Mahasiswa Pers Nasional, mewakili Majalah Kampus Trotoar dari Universitas Jambi. Padahal saya di mata orangtua saat itu adalah anak perempuan yang kalau pergi kemana-mana agak rawan karena suka pusing-pusing, hehe.. Di sisi lain, orangtua takut anaknya ini belum mandiri dan hilang di rantauan orang. Namun berkat usaha saya ‘merayu’ orangtua, akhirnya diperbolehkanlah saya keluar Jambi. Disini tampaknya kepercayaan orangtua mulai timbul untuk saya.

Dalam kurun waktu 2008 – 2012 hampir 50 kegiatan skala kota, provinsi, dan nasional yang saya ikuti. Dalam kurun waktu itu pula, saya selalu merasa seperti gelas kosong yang airnya belum penuh. Pengen diisi terus, terus, dan terus. Bukan berarti saya sombong, tapi sekali lagi saya bilang masa mahasiswa adalah masa dimana kamu dapat leluasa mengembangkan kapasitas diri yang berguna bagi masa depan.

Hanya saja kegiatan-kegiatan yang saya ikuti tersebut belum ada skala internasional. Maka, sejak itu pulalah saya selalu mengusahakan untuk pergi ke luar negeri, belum pasti tujuan negara mana, yang jelas daftar saja dulu, begitu prinsip saya. Jika dihitung, sepertinya sudah lebih dari 10x saya mendaftar kegiatan internasional. Saya mengirimkan aplikasi dan saya mengikuti seleksi secara face to face. Hasilnya? Belum berhasil 😀 Namun saya tidak menyerah.

Kalo kata Walt Disney, “If you can dream it, you can do it.”
Saya percaya bahwa kekuatan cita-cita dapat mengakumulasikan cita-cita itu sendiri menjadi nyata. Meski memang pada akhirnya saya belum diizinkan oleh Allah Swt sampai sekarang ke luar negeri, tapi saya percaya tidak ada mimpi yang kadaluarsa. Akhirnya di tengah-tengah kegalauan nggak bisa ke luar negeri, saya malah diberikan izin oleh Allah Swt untuk menikmati alam Indonesia dengan berbaur di masyarakatnya satu tahun lalu di Pulau Rote, pulau paling selatan yang kalau dilihat di peta Indonesia, cuma titik doang.
Satu tahun disana membuat kehidupan saya lebih banyak berubah. Belajar dari orang Indonesia membuat saya sedikit hampir melupakan impian saya tadi. Bagi saya, mungkin ini rencanaNya yang pengen saya tetap saja di Indonesia, jangan dulu ke negara luar kalau negara sendiri saja tidak tahu 100%. Mungkin ini juga teguran bagi saya, bahkan bisa jadi ini pembelajaran bagi saya. Jadi kalau mau ke luar negeri ya nggak shock culture banget jauh dari orangtua dan berada di kalangan minoritas.

Hampir satu tahun kembali ke Jambi, dan selama itu pula saya menyadari rencana kita apalah daya dibanding rencana Allah Swt. Saat masih di Rote, saya bilang dengan teman-teman sepenempatan bahwa saya ingin mencoba lagi PPAN dan mungkin mengambil beasiswa S2. Nyatanya sekembalinya ke Jambi, rencana saya sedikit berubah dari sudut pandangan orangtua yang menginginkan anaknya untuk tetap di Jambi. Saya menyadari bahwa kerinduan orangtua terhadap saya begitu besar. Bahwa nanti jika satu atau dua tahun lagi saya menikah dan lantas jauh dari orangtua, penjagaan mereka untuk saya tidak akan sebesar sekarang. Saya juga mengerti bahwa kalau saya lulus PPAN atau S2 ke luar Jambi, it means that akan dalam waktu yang lama, lebih dari 6 bulan bisa jadi. Nah, garis besarnya adalah kapan saya bisa dekat dengan orangtua kalau tidak sekarang?

Namun di sisi lain saya menyadari konsekuensi umur quarter of life ini. Banyak sekali harapan yang belum terwujud dengan umur yang semakin matang dan kerap ditanyai ‘kapan menikah?’ dan saya sendiri belum tahu jawabannya, dan saya jawab ‘masih direncanakan oleh Allah Swt.’ Hehe. Maka jika datang pikiran seperti ini, saya hanya berharap agar impian yang masih memuncak di kepala ini dapat terwujud suatu hari nanti. Harapannya pendamping hidup saya di masa depan nanti tidak melarang saya mengikuti kegiatan yang bermanfaat dan melaksanakan mimpi-mimpi saya. Bahkan mungkin bisa bersama-sama mewujudkannya justru lebih bagus bukan?
Tulisan ini juga berawal dari kegelisahan saya akan dosa-dosa saya di masa lalu, disamping juga hasil refleksi saya di umur 25 tahun pada 2 Mei lalu. Mungkin tidak banyak yang dapat diambil pelajarannya dari tulisan ini, namun saya sendiri sudah agak lega menuliskan keriwetan pikiran saya akhir-akhir ini. Allah Swt menjadi tempat saya memanjatkan doa dan harapan, terima kasih atas 25 tahun yang bermakna, semoga ia membuat saya yang banyak dosa ini jadi lebih baik. Semoga selalu ada kebaikan yang dilimpahkanNya kepada saya.

Tidak Ada Mimpi yang Kadaluarsa

“Ketika mimpimu yang begitu indah tak pernah kau dapat, ya sudahlah..”

Lirik lagu Ya Sudahlah-nya Bondan F2B ini sempat tergiang-ngiang di telinga saya beberapa terakhir ini. Sedikit banyak memang mempengaruhi cara pandang saya terhadap sebuah mimpi. Yang membuat saya memutuskan sesuatu di dalam hidup saya.

“Restu orang tua adalah kepanjangan tangan dari restu Allah Swt.”

Kalau kalimat itu benar adanya. Saya yakin jika Alla Swt merestui saya, maka orangtua akan melapangkan hatinya bagi saya mewujudkan cita-cita yang belum terwujud. Namun apa jadinya kalau saat ini orangtua tidak sebegitu  memperbolehkan saya saat masih jadi mahasiswa dulu? Apa jadinya kalau cita-cita kita tercapai tapi Allah Swt tidak merestui? Kalau orangtua tidak mengizinkan? Dulu ketika jadi mahasiswa, orangtua selalu mengizinkan anak perempuannya ini melakukan hal-hal positif yang berhubungan dengan impian. Kini, mereka mencoba untuk membukakan mata hati saya untuk memikirkan ‘masa depan’. Well, I know that so well. Di sisi lain, ketika saya sudah istiqomah, ada beberapa prinsip yang mungkin tidak bisa saya lakukan ketika lolos. Ah entah memang saya yang sudah tidak menggebu-gebu, ditambah pula prinsip dalam diri dan restu orangtua, jadi saya agak ragu untuk melanjutkan. Atau mungkin Allah Swt tidak merestui saya melalui jalan itu?

“Tidak ada mimpi yang kadaluarsa.”

Suatu hari, entah kapan, dimana, pada kondisi yang bagaimana, saya yakin Allah Swt akan mengabulkannya. Entah bagaimana caraya, saya yakin Allah Swt tidak tidur. Ia mencatat dan mendengar harapan saya yang entah kapan terwujud. Mungkin tidak sekarang, mungkin tidak lewat jalur itu. Mungkin nanti. Dan saya percaya, impian itu tidak ada yang kadaluarsa. Semoga. :’)

Behind Dream, Believe, and Make It Happen

Setahun mengajar, seumur hidup menginspirasi :)

Setahun mengajar, seumur hidup menginspirasi 🙂

“Dreaming is believing.”

Percayalah pada kekuatan mimpi, begitulah kira-kira makna dari kalimat sederhana di atas. Sejak dahulu, saya percaya akan kekuatan dari dalam diri yang didasari keinginan kuat untuk menjadikan ia nyata, terjadi. Meski permulaannya hanya ilusi, tapi cobalah untuk menjadi pemimpi, lakukanlah dengan hati, dan percayalah bahwa suatu saat akan terjadi. Itu yang selalu saya tanamkan di benak saya dari tahun ke tahun. Doktrin positif bisa jadi, sungguh saya menyukai doktrin yang membuat saya ingin selalu meningkatkan kualitas diri terus menerus, terlebih lagi kalau itu bisa bermanfaat bagi orang lain.

Dibalik kalimat ini pula: “Dream, Believe, and Make It Happen,” yang dilontarkan oleh Agnes Monica, saya semakin yakin, bahwa ketika kita bermimpi, kita percaya, dan kita punya usaha untuk mewujudkannya, impian itu akan terjadi. Hal itu lah yang saya rasakan beberapa hari ini. Salah satu impian saya di tahun 2013 adalah menjadi Pengajar Muda angkatan VI dalam program yayasan Indonesia Mengajar (IM) yang diprakarsai oleh Bapak Anies Baswedan. Setelah melewati serangkaian tes yakni: pengiriman aplikasi online, wawancara, dan tes kesehatan, saya dinyatakan dapat bergabung dengan IM tahun ini. Setelah saya merepotkan banyak orang dalam mengikuti seleksi ini (begitu banyak yang membantu, dari orangtua, sahabat dekat dan jauh, dosen, dan relasi), akhirnya dukungan mereka tersebut lebih berarti bagi saya. Ternyata saya didukung oleh banyak orang untuk mewujudkan impian ini, dan ini bukan kerja keras saya sendiri. Ada mereka dibalik ini semua.

Untuk ikut IM ini modal terberat saya adalah meyakinkan orangtua saya, yang dulu selalu menganggap saya tidak bisa untuk ikut ini. Tubuh saya yang kurus, kata mereka yang saya belum mandiri, dan ketakutan jika anak perempuan satu-satunya akan hilang di negeri orang yang mereka belum pernah sambangi, adalah tiga alasan dari alasan-alasan lainnya. Sungguh kekhawatiran orangtua agak berlebihan, namun saya sadar bahwa mereka sangat memperhatikan saya, apalagi bagi masa depan saya, biar anak perempuannya tidak salah jalan. Perlu waktu bertahun-tahun untuk meyakinkan orangtua saya.

Dari mengikuti kegiatan yang dihadiri oleh pak Anies Baswedan, menunjukkan buku-buku pengajar muda IM yang sudah selesai berbakti, hingga memberi tahu ketika ada pak Anies berbicara di televisi. Hingga ketika saya memutuskan untuk mendaftar sebagai pengajar muda IM lewat aplikasi online, saya katakan ini pada mama dan papa saya: “Ma, semua ini karena ridho mama dan papa. Kalo mama dan papa ridho, Allah SWT akan memberikan yang terbaik. Kalo Allah SWT menakdirkan IM adalah jalan hidup Bella, janganlah ragu terhadap keputusanNya. Itu pasti yang terbaik bagi Bella.”

Sejak 2010 ide dari pak Anies ini tercetus, saya langsung ingin menjadi bagian dari gerakan ini. Hal ini juga ditambah karena saya termotivasi dari film Laskar Pelangi, dimana ibu Muslimah merupakan salah satu pengajar di sekolah yang kadang bisa dijadikan kandang kambing pada waktu itu. Sungguh miris. Saya ingin sekali menjadi bagian dari pengajar, bukan itu saja namun juga pendidik. Maka sejak masih kuliah pula, saya sudah memantapkan hati untuk mengajar di daerah, meski tidak lama, tapi saya ingin mengambil pengalaman dari sana. Ingin menginspirasi anak-anak disana untuk melejitkan potensi mereka. Pun di sisi lain, cita-cita guru timbul ketika saya masih bersekolah di daerah yang terpencil pada era 1990-an, yakni Nipah Panjang, juga makin menyemangati saya untuk ikut IM. Saya menyadarai betul bagaimana anak daerah kekurangan informasi untuk berkompetisi dan mengembangkan bakat mereka. Tapi kami sebagai anak daerah tidak pernah kekurangan satu hal: semangat belajar dari murid dan para guru.

Setelah proses pemantapan hati bagi orangtua dan saya itu, tibalah pembukaan pengajar muda angkatan VI. Saya mengikuti proses seleksi dari awal hingga akhir dengan perasaan nyaman. Saya yakin bahwa ketika “Man Jadda Wajada” dan “Man Shabara Zhafira” ditanamkan di dalam hati, saya pasti bisa. Meski baik dan buruk terjadi silih berganti, saya percaya saya bisa melewatinya. Saya begitu menikmati proses yang indah ini. Saya banyak dibantu oleh orang-orang yang sangat baik kepada saya. Saya semakin semangat menjalaninya. Tidak peduli apakah saya akan lolos atau tidak, yang penting saya jalani dulu proses ini, begitu kata hati saya waktu itu. Dengan disertai doa dan tawakal kepada Allah SWT, hati saya semakin lapang, saya akan menerima apapun keputusan yang digariskanNya untuk saya. :’)

Setelah menanti berminggu-minggu keputusan dari pihak IM, saya pun menerima email di Jum’at siang kala itu. Sebelumnya mom Lilik, salah satu dosen di Universitas Jambi yang menjadi referee saya, menceritakan kepada saya bahwa ia baru saja ditelpon oleh pihak IM, yang menanyakan tentang saya. Beliau pun bialng kepada saya: “Apapun hasilnya, Bella harus percaya itu terbaik bagi saya. Terus semangat ya, Bella!” Harunya saya setelah menelepon beliau. Rasa galau karena belum adanya keputusan IM membuat hati saya mendadak jadi cerah. Hingga pada siangnya, saya mendapat email yang menyatakan saya lolos bergabung menjadi pengajar muda IM angkatan VI. Saya mengucap syukur, alhamdulillah, Allah SWT memberikan saya kepercayaan lewat pihak Indonesia Mengajar untuk semakin luas mengenal Indonesia lewat pendidikan anak negeri. Tanpa terasa waktu itu tubuh saya gemetar, air mata menetes, dan hanya haru yang meliputi hati saya kala itu.

Kini, menjelang keberangkatan IM untuk masuk camp pada 22 April nanti, hati saya semakin dag dig dug. Apakah saya bisa, mampu menjalankan amanah? Saya hanya meminat hilangkan keraguran dan ketakutan yang ada pada diri saya dan orang-orang di sekitar saya. Saya ingin jalan hidup ini sesuai dengan keinginan saya, karena yang tahu tujuan hidup saya ke depan adalah saya sendiri. Meski andil Allah SWT dan orangtua juga tidak terlepas dari hidup saya, tapi saya lah yang menentukan arah hidup saya ke depan bukan? Doakan semoga saya bisa ya teman-teman. Terima kasih atas ucapan selamat dan doa yang dipanjatkan kepada saya. Semoga langkah kecil ini berarti bagi anak-anak dan bangsa ini. Setahun mengabdi, seumur hidup menginspirasi!

Sahabat Ilmu Jambi di Januari 2013

Capacity buildingnya nggak lengkap kalo nggak foto-foto :D

Capacity buildingnya nggak lengkap kalo nggak foto-foto 😀

“Tahun baru, bulan baru, program baru, semangat baru, dan Sahabat Ilmu Jambi menjadi bagian pembaharuan itu.”

Memasuki tahun 2013 ini, semangat saya makin pol untuk Sahabat Ilmu Jambi (SIJ). Terlepas dari kekurangan dan kesibukan, SIJ saya yakin mampu lebih baik lagi di tahun 2013 ini. Pembaharuan yang meliputi dari program, relawan, dan semangat diharapkan bisa mencetak ‘sesuatu’ di negeri ini, bisa berkontribusi sedikit walaupun kecil. Itulah harapan saya. Dan tentunya harapan teman-teman relawan bukan? :’)

Ada banyak kegiatan yang telah dijalankan oleh relawan SIJ pada bulan Januari kemarin. Kegiatan ini berasal dari tiga divisi yang masing-masing membidangi amanah berbeda. Ketiga divisi tersebut adalah divisi pendampingan, divisi taman baca, dan divisi kreatif. Yup, ketiga divisi ini sengaja dibentuk atas usulan teman-teman relawan agar SIJ lebih terarah dan terfokus kegiatannya dengan orang-orang yang bertanggung jawab di masing-masing divisi itu. Selain itu dengan bertambahnya relawan (karena tahun kemarin perekrutan relawan baru untuk angkatan ke V) diharapkan program yang SIJ jalankan bisa berjalan dengan konsisten dan terukur. Meski nggak banyak yang berubah dari program-program sebelumnya, contohnya capacity building, dimana pada tanggal 6 Januari lalu, kami mendatangkan bang Ahmad, seorang motivator di Jambi, berbagi cerita tentang kepemimpinan bersama relawan di Hutan Kota. Diselingin dengan games kekompakan tim yang diinisiasi divisi kreatif, membuat capacity building itu berkesan di hati saya. Well, ini salah satu cara SIJ agar relawan semakin solid dan kapasitas diri mereka lebih baik kedepannya.

Anyway, balik lagi ke program-program yang telah dijalankan oleh setiap divisi. Sungguh suatu progress yang bagus ketika setiap divisi memberi tahu saya program apa saja yang akan mereka kerjakan tahun ini. Saya bahagia banget, teman-teman memiliki ide kreatif untuk SIJ. Contohnya divisi taman baca, baru-baru ini melaksanakan beres-beres sekretariat dan perpustakaan SIJ yang terletak di rumah Maul di Kotabaru. Acara beres-beres ini tentu melibatkan beberapa relawan dan juga menggunakan uang kas divisi taman baca SIJ dalam membeli berbagai peralatan. Buku-buku dan barang-barang dari sekretariat diletakkan di bawah oleh relawan perempuan, sedangkan mengecat sekre dengan warna biru dan hijau dilakukan oleh relawan laki-laki, meski yang perempuan juga tangguh waktu mereka ngecat kemarin lho 😀

Yani, sebagai Penanggung Jawab (PJ) divisi ini, menginginkan sekre yang nyaman, alhasil ia dan relawan di divisi tersebut telah merancang sekre dengan konsep yang baru. Katanya nanti rak buku bakal dibikin lebih bagus, ada mading, sekre dicat dengan warna meriah, dan ada plang nama SIJ. Divisi ini juga akan membuat pin dan stiker taman baca SIJ yang bakal dijual (cara fund raising yang cukup efektif), donasi buku di World Book Day bulan April, kegiatan di taman baca seperti pelatihan menulis atau sharing ilmu dengan siswa SMA, serta kegiatan lainnya yang OK banget. Doakan ya program divisi taman baca bisa berjalan semuanya di tahun 2013 ini.

Next, divisi yang sedari dulu merupakan kunci utama kegiatan SIJ adalah pendampingan. Dikomandoi oleh Tiara, PJ divisi pendampingan, telah menjalankan 2 kali pendampingan di bulan Januari dengan baik. Pendampingan pertama, 12 Januari lalu, merupakan acara pertama kami di panti asuhan Al-Kautsar. Dimana panti ini merupakan panti baru yang kami datangi, karena sebelumnya kami mendampingi di panti lain. Panti asuhan di Al-Kautsar ini lah yang akan kami dampingi selama 1 tahun. Pendampingan pertama dirancang sebagai ajang perkenalan, masing-masing kakak asuh memperkenalkan diri, begitu pula adik asuh. Adik asuh disana berjumlah 15 orang, ada Yoseph, Ridho, Yusuf, Ferri, Fitri, Laila, Ela, Hamida, Ferbina, Ego, Jumaidi, Angga, Winda, Fina, dan Sisi. Di awal pendampingan itu, mereka diajak bermain games bersama kakak asuh, berupa games yang membentuk kelompok dari huruf depan masing-masing nama adik asuh dan kakak asuh. Jadi, masing-masing mereka akan mencari grup yang huruf depannya A-Z, kemudian saling mengingat nama-nama kelompoknya (kakak asuh juga terlibat disini). Wah seru deh pokoknya acara perkenalan SIJ di minggu pertama pendampingan, hehe.

Di minggu selanjutnya, pendampingan tetap berjalan. Kali ini games dipandu oleh Uli. Ia memberikan games pesan berantai yang dibisikkan dari adik asuh A ke adik asuh selanjutnya. Pesan berantai ini menggunakan kalimat peribahasa, dimana pada akhir games diberi tahu makna peribahasa yang telah mereka sebutkan itu. Akhirnya setelah games berlangsung beberapa menit, keluarlah satu kelompok sebagai pemenang. Mereka pun dianugerahi kalung bertuliskan The Winner yang dibuat Uli. Nah di minggu ini pula adik asuh diberikan buku bacaan sesuai minat mereka. Jadi buku bacaan tersebut dimasukkan ke dalam kotak dan Tiara membuat kotak tersebut seolah-olah hadiah harta karun. Terang saja ketika ini dibuka, adik asuh menyerbunya dan saling berebut mengambil buku. Hampir semua adik asuh mendapatkan buku yang mereka sukai. Ahh mudah-mudahan saja mereka menjadi cinta ilmu ya.

Sabtu kemarin, 2 Februari, pendampingan diadakan lagi. Meski jumlah relawan sedikit, tapi ini tidak menyurutkan kami untuk berkegiatan. Saya datang tepat pukul 15.00 disana. Disambut oleh Laila dengan kalimat: “Kakak, kami nunggu kakak lho disini, kemarin kakak dak kesini, kami kangen.” Kalo kalian mendengar langsung kalimat yang dilontarkan anak kecil suka bermain boneka ini, pasti terharu dibuatnya. Itu pula yang saya rasakan. Disambut ceria dan disalami satu persatu                 oleh mereka membuat saya bahagia. Memang nggak ada yang lebih membuat hati kita tentram ketika kita dirindukan kedatangannya untuk berbagi bersama mereka. Dan ternyata relawan SIJ dirindukan mereka kedatangannya :’) Setelah kejadian itu, saya semakin bersemangat melakukan pendampingan kali ini. Apalagi ketika adik asuh diberikan tema Cinta Indonesia yang diinisiasi oleh Tiara.

Konsep ini Tiara bawa agar adik asuh mengetahui tempat-tempat wisata di Indonesia dan semakin mencintai negerinya. Ia mengambil gambar Komodo, Kawah Ijen, dan Gunung Rinjani dari internet, menjadikan gambar-gambar tersebut sebagai puzzle. Disertai pula dengan informasi mengenai gambar yang mana dari ketiga kelompok akan mempresentasikan karya puzzle mereka sembari menyebutkan informasinya. Kurang dari 7 menit, puzzle selesai! Semua adik asuh bersemangat sekali menyusunnya, meski terkadang ada beberapa yang menyerah, tapi karena didampingi kakak asuh per kelompoknya mereka pun semangat menyusun kembali. Setelah menempel puzzle, mereka pun diwajibkan untuk membuat yel-yel kelompok sebelum presentasi dimulai. Dari nyanyi sampai goyang yeye lala ala acara musik di stasiun televisi swasta pun ditampilkan. Sumpah, kocak banget deh! Kakak asuh nggak mau kalah dengan adik asuh dalam hal kreativitas 😀 It’s a good job guys!

Untuk kegiatan divisi pendampingan yang lain, saya menyarankan kepada Tiara agar ia berdiskusi dengan teman-teman di divisinya dalam menentukan tema per minggu, termasuk mencari topik program Dare to Dream atau belajar di luar panti asuhan setiap satu bulan sekali. Setiap minggunya tema akan berbeda, dan setiap itu pula relawan yang berbeda akan diamanahi tugas mencari tema pendampingan sebagai tanggung jawabnya. Jadi ketika relawan D mendapat amanah minggu ini, ia harus mencari tema baru dan mendiskusikannya dengan relawan lain. Setidaknya melatih kreativitas bisa dilakukan dari hal-hal kecil bukan? ^_^

Hmm, apalagi divisi yang belum saya ceritakan? Yup, divisi kreatif! Dipandu oleh Rio sebagai PJ divisi ini, ia dan relawan divisi kreatif telah memiliki rancangan program yang nggak kalah keren dengan dua divisi sebelumnya. Sesuai namanya sih, kreatif, berarti orang-orang di disivi ini juga kreatif-kreatif bukan? Salah satu program yang hari Rabu besok akan dijalankan oleh mereka adalah pelatihan menyulam. Yup, pemberian keterampilan ini didukung pula oleh mbak Rina, yang kebetulan menjadikan SIJ sebagai bahan penelitiannya untuk menyelesaikan S1 Pendidikan Luar Sekolah di salah satu universitas di Jawa Barat. Berdomisili di Jambi, ia pun mengajak SIJ kerjasama. Nah pendampingan kreatif ini akan melibatkan 18 adik asuh di panti asuhan Al-Kautsar, Darul Aitam, dan Madinatul Aitam, dan akan dilaksanakan setiap hari Rabu dan Minggu. Sebelumnya divisi kreatif juga mengajak mbak Rina memberikan capacity building menyulam di akhir bulan kemarin, 26 Januari. Jadi sebelum kakak asuh mendampingi pembuatan menyulam, mereka terlebih dahulu dilatih mbak Rina. Di sisi lain, bagi adik asuh cowok, Rio dan kawan-kawan telah menyiapkan program kreativitas berupa lampion. Seperti apa bentuknya? Kita lihat senin nanti saat divisi ini mempresentasikannya 😀

Guys, divisi kreatif bukan sekedar memberikan pelatihan keterampilan hidup tanpa follow up lho. Mereka telah merancang kegiatan di dua bulan ke depan, setelah adik asuh mahir membuat sulaman di jilbab atau membuat sulaman dari kain perca, hasil karya mereka akan dipamerkan. Yup, SIJ akan bikin pameran hasil kerajinan tangan adik asuh di salah satu tempat yang cukup strategis. Kita akan mengundang orang-orang di sekitar kita yang peduli dan mau berbagi. Di pameran ini juga, barang mereka akan dijual kepada masyarakat! Wah siapa yang nggak bangga coba barang hasil kerajinan tanggannya dibeli dan mengahasilkan uang? Ternyata divisi kreatif mencoba memberikan sisi social entepreneurnya kepada adik asuh. I do hope it will be come true, jadi nggak sabar nunggu waktu pameran hehe. Oya, selain pelatihan kerajinan tangan tersebut, divisi kreatif juga bertanggung jawab untuk tema capacity building, berkolaborasi dengan divisi pendampingan dalam menyelenggarakan Dare to Dream, hingga menggodok acara anak muda di Jambi, semacam seminar, talkshow, sarasehan, atau yang lain. Tentu kita menanti ide-ide kreatif yang dilontarkan, kemudian secepatnya direalisasikan.

Yang membahagiakan SIJ di tahun ini, selain 3 divisi dengan program kerennya itu, kami mendapatkan bantuan dana dari Ashoka Indonesia karena keikutsertaan saya di Ashoka Young Changemakers akhir November kemarin. Dana ini semoga bisa menjadi pemicu semangat kami, dimana kadang kami bingung bagaimana mengalokasikan uang untuk setiap program. Semoga dana ini bisa kami manfaatkan dengan baik ya guys :’)

Sepertinya cerita tentang SIJ di bulan pertama ini dicukupkan sampai disini dulu ya. Saya janji tiap bulannya akan menulis perkembangan dan evaluasi dari kegiatan yang dilaksanakan oleh SIJ. Semoga begitu pula dengan para relawan lain, mari menulis agar kita dikenang suatu hari nanti 🙂

Antara Seminar, Sertifikat, dan Keinginan

Sejak saya masuk kuliah hingga saya tamat dari universitas, saya selalu menjadi bagian dari ketiga hal ini. Cerita lengkapnya sendiri berasal dari pengamatan saya terhadap orang-orang di sekitar. Memang bukan pengamat yang baik, tapi setidaknya teman-teman bisa mengambil manfaat dari tulisan saya ini. I do hope so ^_^

Di dunia perkuliahan jaman saya dulu (emang kuliah sejak jaman kapan sih Bel?, baru aja lulus :p), adalah hal lumrah jika banyak seminar, workshop, kursus, pelatihan ataupun program pengembangan diri lainnya bagi mahasiswa. Setiap minggu selalu aja ada tema-tema dari program tersebut. Jadi ya memang kita ‘dijejali’ ilmu pengetahuan, yang diharapkan mahasiswanya sendiri aktif mengikuti program tersebut. Setidaknya kata ‘diharapkan’ itu bisa memberi sedikit cahaya bagi mahasiswa yang nggak hanya berkutat dengan kamar tidur-kelas-kampus. Karena apa? Ya karena sebagai mahasiswa dituntut untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya, bahkan lebih keren kalo punya ilmu dari jurusan yang dijalani sekarang. Double job? Nggak juga, saya pikir. Justru jadi nilai plus kita dalam meniti karir di dunia kerja nantinya.

Nah, meski udah banyak acara seperti itu, atau bahkan bedah buku sekalipun, namun tetap aja, masih sepi peminat. Glekkk! Mau dibawa kemana ya mahasiswanya? Saya kerap melihat ruangan sebuah acara (entah apa pun namanya) sering banyak bangku kosong di belakang. Pun sesekali bangku kosong itu terpenuhi jika acara tersebut dihadiri oleh oknum terkenal dan teranyar di televisi. Selebihnya? Bisa dipastikan bahwa yang ikut kegiatan itu hanya duduk sebentar, keluar, kuliah, and do nothing else. Syukur-syukur kalo dia bakal balik lagi ke ruangan kegiatan ketika perkuliahan mereka yang bentrok selesai. Justru yang terjadi adalah langsung ngambil sertifikat, trus capcus keluar. Oh no, nggak menghargai pemateri banget! Ckckck.

Saya nggak tahu apa permasalahan di dunia perkuliahan Jambi sekarang? Apa nggak tertarik seminarnya? Ruangan dan kondisi yang ‘itu-itu’ aja? Pematerinya kurang greget? Atau materinya sendiri nggak ngena di hati mahasiswa? Sungguh banyak pertanyaan yang berkecamuk di otak saya. Saya sendiri kerap mengalami hal ini. Ketika mengajak beberapa orang pun sulitnya minta ampun ya Allah -____- Banyak lah alasannya, ini itu yang nggak bisa saya bantah. Tapi ketika film teranyar keluar di bioskop di Jambi, langsung deh semua capcus kesana. Atau misalnya ketika konser band-band papan atas, acara musik, atau kongkow di mall ngabisin duit, cepet banget arusnya. Jadi berasa kok orang Jambi ini kayak nggak butuh ilmu ya? Atau memang zona nyamannya masih berada dengan mereka? Jadi ngerasa nggak butuh apapun selama mereka masih ‘punya’?

Do you know, sejak adanya peraturan yang mengikat bahwa setiap mahasiswa di universitas saya dulu harus punya 20 sertifikat (saya nggak tahu siapa yang bikin peraturan itu), semua mahasiswa berlomba-lomba ikut seminar dan kegiatan semacamnya! Sungguh perubahan yang drastis, pikir saya. Tapi saking drastisnya, yang ikut seminar hanya pengen ngambil sertifikat doang. Daftarin nama, ngeluarin uang, nggak hadir saat acara, dan minta sertifikat setelah acara! Well, dalam bagian ini saya cukup mengalaminya dan bikin saya pengen ngomel-ngomel ke peserta. Dulu waktu nyelenggarain seminar di komunitas, anak-anak mahasiswa banyak yang nanya: “Boleh dak aku daftarin namo be kak, kagek pas abis acara aku ambil sertifikat, karena hari itu aku dak biso…(bla bla bla dengan sejuta alasannya).”

Untungnya saat itu saya masih punya emosi yang labil, kalo nggak ya bakal saya labrak. Saya jelaskan baik-baik kalo mau ambil sertifikat saja sebaiknya jangan disini, mending di acara lain saja. Lagian kita mengharapkan justru peserta seminar dapat melakukan sesuatu dari apa yang mereka peroleh setelah selesai seminar, bukan hanya duduk, dengar, diam, dan tonton. Nah kalo semua mahasiswa berpikiran untuk mendapatkan 20 sertifikat harus dengan cara seperti itu? Mental mahasiswa macam apa itu? Saya sendiri mendapatkan sertifikat karena saya memang ingin mengikuti kegiatan itu, bukan karena mau tenar dengan beragam sertifikat yang sudah dimiliki, dan bukan juga pengen dikenal gara-gara banyak ikut kegiatan ini itu. Rata-rata sertifikat saya berasal dari kegiatan yang memang benar-benar saya sukai, yang sekiranya bermanfaat bagi karir saya di masa depan. Ikut seminar gara-gara teman? No way. Saya memilih untuk menelusuri info lebih lengkap daripada salah ikut seminar yang diajak teman.

Permasalahannya menurut saya adalah keinginan. Seberapa butuh kita terhadap ilmu pengetahuan yang sesungguhnya Allah Swt telah tebarkan di bumi ini? Sejauh mana kita mau belajar dari berbagai sisi tentang apa yang ada di dunia? Penting untuk diingat, seberapa besar keinginan kita untuk meningkatkan kapasitas diri?

Jika teman-teman menjawab positif dari pertanyaan tersebut, mulai sekarang galilah informasi dari sekitar kamu. Cari info seminar atau kegiatan lainnya yang dapat menunjang kapasitas kamu sebagai mahasiswa.  Tapi jangan juga selalu ikut kegiatan yang sebenarnya kamu nggak sukai, tapi kamu paksain ikut demi tenar dan dikenal seantero universitas, saya pun nggak nyaranin begitu. The main point is, kamu masih muda, banyak kesempatan untuk eksplorasi diri, jadi ikutlah seminar atau kegiatan yang kamu sukai. Jangan hanya semangat nonton drama Korea, nonton film di bioskop, kongkow di mall atau cafe, tapi galilah ilmu dari kegiatan yang kamu ikuti. Nggak hanya terbatas di seminar formal aja sih, bisa juga lewat kegiatan sharing yang bersifat informal, apalagi kalo itu gratis, siapa yang nggak mau coba?

Bukankah belajar itu seumur hidup? Long life learning. Sejatinya itu pula yang ada di diri kita. Where there is a will, there is a way J

Seminar yang dilaksanakan oleh komunitas Sahabat Ilmu Jambi akhir Oktober lalu :)

Seminar yang dilaksanakan oleh komunitas Sahabat Ilmu Jambi akhir Oktober lalu 🙂

Direct Assessment Indonesia Mengajar: Sebuah Tantangan

“Hidup ini penuh tantangan. Sejauh mana kamu mau mengambil tantangan itu?”

Tantangan bagi saya sebuah pencapaian yang membuat saya lebih hidup di dunia ini. Tidak mengambil tantangan? Namanya pecundang, at least ini menurut saya. Begitu pula tantangan di tanggal 7 Januari 2013 kemarin. Saya ditantang untuk bangun pagi di sebuah kota yang sangat padat dan sibuk, ya Jakarta. Beberapa kali ke Jakarta, saya tidak pernah merasa bagaimana grasak grusuknya bangun pagi dan naik ojek/kendaraan umum menuju suatu tempat. Nah, di hari senin dua minggu yang lalu-lah saya merasakannya. Direct Assessment Indonesia Mengajar (IM) yang berlokasi di Jl. Galuh 2 No. 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan itu, membuat saya berpikir: “Jangan sampai telat datang ke tempat seleksi yang sudah lama saya idam-idamkan ini. Harus bangun pagi! Harus siap dengan jalanan Jakarta yang kata orang suka macet gak ketulungan di pagi hari!” Well, saya pun pasang ikat kepala 😀

Untunglah saya dikelilingi oleh orang-orang baik di hidup saya. Mbak Aisy, Pengajar Muda (PM) IM angkatan pertama berbaik hati memberikan saya tempat untuk memejamkan mata dan mengistirahatkan diri dalam waktu dua malam. Pun mbak Ayu, yang saya kenal dulu dari buku Kick Andy (yang kini kondisi kertas di buku itu sudah banyak lepas), berbaik hati meminjamkan saya gulingnya. Di sisi lain, bik Yuli sekeluarga menjemput saya di bandara Soetta dan mengantarkan saya ke kos mbak Aisy di malam tanggal 7 itu. Kebaikan hati orang-orang inilah yang membuat saya harus berani menantang apa yang sudah menjadi keputusan saya. Konsekuensi untuk bangun pagi dan bersiap diri menuju kantor IM sudah saya siapkan jauh-jauh hari. Ditambah pula cerita dan dorongan semangat dari beberapa teman/kakak di PM sebelumnya makin semangatlah saya!

Naik ojek di Jambi? Pasti pernah. Tapi kalo naik ojek di Jakarta dan gak pake helm pula? Nah itu saya! Pasalnya waktu itu adalah hari pertama anak sekolah masuk sekolah, kata mbak Aisy dan mbak Ayu, jadi transportasi yang cukup efektif adalah ojek. Mengingat kalo naik busway atau bus akan memakan waktu yang sangat lama dan kemungkinan macet, sedangkan jam 7.30 saya harus sudah berada di kantor IM. Alhasil saya dibawa oleh mamang ojek, yang jalannya waktu itu cepet banget, tanpa pakai helm! Meski gak pakai helm, saya selalu berdoa agar diberi keselamatan selama di jalan, kan gak lucu kalo misalnya ditilang di Jakarta, sedangkan di Jambi aja gak pernah kena tilang hehe. Sempat juga sih melewati beberapa polisi, malahan dekat banget lewat depan mereka. Namun entah kenapa mereka gak menegur kami, dan saya pun percaya dengan perkataan mamang ojek ini: “Tenang aja mbak, insyaallah gak apa-apa kok.”

Setelah melewati jalanan Jakarta yang berlika-liku, sampailah saya di kantor IM pukul 06.30. Komplek kantor IM ini terletak di komplek perumahan elit, yang kata mbak Aisy harga sewanya ratusan juta. Alamak! Wajar saja sih saya pikir, bangunan rumahnya juga artistik, luas dan terdiri dari dua tingkat. Menurut saya sih, ini lebih cocok dijadikan rumah daripada kantor, soalnya unik banget sih 😀 Nyampe jam segitu bikin saya memilih mencari makanan di sekitar kantor IM. Merasa bahwa perut belum diisi makanan apapun sejak bangun tidur kecuali air minum, saya bergegas ke warung kecil di sebelah kantor IM yang menjual makanan ringan dan gorengan. Saya beli 4 buah roti dan 3 gorengan. Bekal ini saya rasa cukup untuk mengganjal perut yang minta diisi sedari duduk di motor tadi. Beranjak dari sana, saya kembali menuju kantor IM, melangkahkan kaki dan hati J

Direct Assessment IM ini merupakan kali pertama saya mengikuti seleksi di Jakarta. Rasanya sama kayak ngikutin seleksi di perusahaan asing ternama, hehe. Ya begitulah. Soalnya emosi dan perasaan bercampuk aduk mengikuti seleksi ini. Saya bertemu banyak teman-teman hebat yang memiliki cita-cita yang sama untuk mengajar di daerah terpencil pula. Ketemu pejuang PM yang sudah ditempatkan di daerah sebelumnya. Ketemu para pegawai IM yang selalu memancarkan semangat perubahan. Dan..ketemu pak Anies, meski hanya melirik sebentar dan beliau berada di dalam ruangan saya waktu itu pun hanya 10 menit (if I’m not mistaken). Seperti naik roller coaster atau bungee jumping (meski saya belum pernah naik keduanya), saya berusaha memberikan yang terbaik apa yang saya bisa. Tidak melebih-lebihkan atau mendramatisir kehidupan saya. Hanya bercerita, ya bercerita.

Bercerita menjadi saran utama dari kak Nino, alumni PM 3 yang saya temui waktu dia berada di Jambi bulan Januari ini juga. Ia menyarankan saya untuk menceritakan tentang hidup saya, bukan sekedar menyebutkan prestasi atau hal-hal formal saja. Begitu pula dengan mbak Aisy, ia menyarankan untuk fokus terhadap satu cerita saya yang mampu menyentuh. Alhasil saya pun terbayang untuk menceritakan tentang kehidupan saya dari kecil hingga sekarang. Kehidupan yang berasal dari kebaikan hati orang lain.

Self presentation merupakan ikhwal saya bercerita. Saya menyebutkan asal usul saya, seperti nama, almamater, hobi, dan profesi. Selanjutnya, saya mulai bercerita tentang kehidupan masa kecil saya di suatu desa yang membuat saya lebih menghargai hidup. Saya juga mengatakan bahwa hidup saya ini berasal dari kebaikan orang lain. Kebaikan pertama berasal dari orangtua saya yang telah memberikan pendidikan  dan motivasi untuk lebih baik lagi. Kebaikan kedua berasal dari oom dan tante saya yang mengirimkan buku/majalah anak-anak ke desa dimana dulu saya pernah tinggal. Kebaikan ketiga berasal dari guru-guru saya yang memberikan ilmu, yang membuat saya bercita-cita menjadi guru dan mendirikan taman baca sewaktu masih kecil di desa. Kebaikan keempat berasal dari guru SMA, Mom Rofi, yang membuat saya berani maju ke depan kelas untuk berbicara dalam bahasa Inggris. Kebaikan kelima dari teman-teman yang ada di organisasi/pekerjaan yang saya jalani sejak awal masuk kuliah hingga sekarang, yang membuat saya lebih percaya diri dan berani menggapai impian.

Saya menutup self presentation selama 10-15 menit ini dengan kalimat: “Kini saatnya saya membalas kebaikan mereka tersebut. Saya ingin mengajar anak-anak di daerah lewat IM agar mereka kelak menjadi pribadi yang sukses di masa depan berkat kebaikan orang-orang di sekitarnya. Karena saya percaya hidup ini adalah belajar dan berbagi, jadi saya akan memberikan apa yang sudah saya pelajari kepada mereka di sekeliling saya. We have two hands, one to help yourself, and second to help others.” Alhamdulillah, I’ve done it well. Saya tersenyum puas dengan waktu yang singkat itu.

Next section is focus group discussion. Disini saya dan teman sekelompok, Widhi, Angga, Bahraini, Leni dan Farah mendiskusikan satu topik permasalahan di dalam pendidikan. Topiknya benar-benar kompleks. Di suatu pulau A memiliki permasalahan pendidikan yang kompleks. Dimulai dari tidak adanya gedung SMP, tidak ada siswa yang melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP,ketidakpercayaan orangtua siswa untuk menyekolahkan anaknya di luar pulau dikarenakan banyak anak yang hamil di luar nikah dan pergaulan bebas di luar sana, beasiswa yang dibagi ke setiap keluarga dengan rata, dan lainnya. Kami harus memberikan 3 solusi utama yang telah tertulis di kertas tersebut. Sungguh rumit memilih 3 solusi utama karena masing-masing kami harus mempertimbangkan dengan kondisi sosiologis masyarakat di pulau A. Setelah menyampaikan pendapatnya masing-masing, kami mendiskusikan 3 solusi utama dan diputuskan untuk mengambil 3 solusi yang berkaitan dengan: memberikan solusi pendekatan kepada masyarakat, bekerjasama dengan pihak pemerintah setempat untuk membangun SMP, dan memberikan beasiswa untuk anak-anak SD kelas 6 (anyway saya lupa juga sih judul solusinya apa, ya kira-kira seperti itu lah hehe).

Setelah tes kedua selesai, kami mengikuti seleksi ketiga yakni psikotest. Di tes kali ini, saya cukup paham dengan psikotes karena sudah berkali-kali mengikutinya. Saya menjawab pernyataan yang tepat dari berpuluh-puluh pernyataan di selembar kertas. Kemudian menggambar seseorang dan pekerjaannya, menggambar pohon dengan syarat yang nggak boleh ini itu, dan menggambar orang, pohon, dan rumah dalam satu paket lengkap. Dengan minimnya pengetahuan menggambar (saya menyadari saya nggak lihai menggambar hehe), saya berusaha menggambar apa yang ada di benak saya semampu saya, tanpa memikirkan ini jelek atau nggak. Di satu sisi, suara teman-teman yang sedang micro teaching di sebelah ruangan tes psikotest mempengaruhi emosi kami pula. Saya pikir, ini semacam pemanasan sebelum tes simulasi mengajar benar-benar terjadi dan menggemparkan haha.. 😀

Oya kami sempat istirahat beberapa menit untuk sholat dan makan siang. Menyantap makan siang dengan teman-teman di ruangan ber-AC bikin saya tambah deg-degan. Apa pasal? Karena masih ada dua tes lagi yang saya inginkan cepat berakhir, haha..saking takutnya nih. Dua tes itu adalah wawancara dan simulasi mengajar. Yup, wawancara ini membuat saya harus hati-hati menjawab pertanyaan di pewawancara, karena menurut kak Nino, kita harus konsisten dengan apa yang kita tulis di aplikasi saat menjawab pertanyaan. Ada pula pertanyaan yang diubah cara bertanyanya namun makna jawabannya sama.

Lantas masuklah saya ke ruangan berbeda. Kali ini saya menjalani tes wawancara. Di dalam tes ini, saya ketemu dengan mas Ade yang mewawancarai saya berdasarkan aplikasi yang ia pegang. Seingat saya, pertanyaan yang saya jawab bisa memenuhi rasa ingin tahu mas Ade. Dari mulai aktivitas, impian, kekecewaan, permasalahan di organisasi, inisiasi suatu kegiatan dan lainnya. Sempat tertawa di sesi kali ini, karena saya menjalaninya cukup nyaman, toh mas Ade juga nggak bikin saya gugup. Namun saya baru ingat ada 2 atau 3 pertanyaan yang nggak saya jawab konsisten berdasarkan aplikasi yang saya tulis. Setelah menyadari hal itu ketika keluar dari ruangan, mendadak saya merasa bodoh, kenapa saya bisa lupa tulisan yang saya buat sendiri ya? Saya lantas mengecek aplikasi yang saya submit di IM, dan benar saja, beberapa pertanyaan dan jawaban ada yang terbalik bahkan nggak sinkron. Oh no.. I just hope the best for this interview then :’)

Nah..seleksi terakhir adalah simulasi mengajar! Hahaha.. Bila membayangkan kondisi kelas waktu simulasi mengajar ini, saya rasanya mau ketawa mulu, bukan emosi haha. Jadi begini, simulasi mengajar ini isinya adalah teman-teman sekelompok saya sebagai peserta didik di kelas, plus 3 alumni PM yang bertindak sebagai peserta didik yang membuat gaduh dan rusuh, haha. Saya mendapat giliran kedua setelah Angga. Saya sudah membawa alat permainan yang akan diajarkan secara tidak langsung kepada anak-anak, ya bermain role play. Tema pendidikan kewarganegaraan yang saya ambil adalah hidup rukun, saling tolong menolong dan saling berbagi. Saya membawa masing-masing 18 bunga merah dan ungu yang sudah saya tulis per hurufnya di balik bunga tersebut. Juga membawa bintang bagi kelompok yang berhasil memberikan yang terbaik dalam role play.

Semua konsep capturing attention, menyanyi, dan sebagainya sudah saya siapkan satu malam sebelum keberangkatan ke Jakarta. Nyatanya? NIHIL SODARA-SODARA. HAHAHAHA. Jadi waktu implementasi pengajaran PKN itu, apa yang sudah saya persiapkan sia-sia, nggak tercapai satu pun materinya haha 😀 Soalnya saya sibuk meladeni dan mengayomi anak-anak SD yang gaduh itu yang diperankan oleh 3 alumni PM dengan aktingnya yang bikin saya mengucap astaghfirullah :’) Ada yang berteriak gempa, ada yang diam aja, ada yang berulah ini itu dan sebagainya. Lagi-lagi saya berusaha menunjukkan senyum terbaik kepada mereka walau dalam hati kesel juga hehe. Saya cukup sabar meladeni ‘anak-anak’ SD tadi, hingga akhirnya 7 menit berlalu, dan simulasi mengajar untuk saya pun selesai! Ckckck, setelah itu saya ketawa aja deh, hahaha.. Entah apa hasil penilaian terhadap pengajaran saya tadi ya 😀

Last but not least, semua tes tahapan DA IM sudah saya jalani. Saya bersyukur mampu melewatinya dengan baik, atas dukungan dan dorongan Allah swt dan doa dari orang-orang disekeliling saya. Saya bersyukur bisa menjadi bagian dari 263 pemuda terpilih se-Indonesia yang mendaftar dari 7502 aplikasi. Saya yakin perjuangan saya ini masih banyak yang lebih baik dari saya, saya yakin 262 peserta DA IM lainnya hebat-hebat semua, mereka berusaha meyakinkan panitia IM bahwa mereka layak dipilih. Now, saya bertawakal saja. Semua keputusan saya serahkan kepada Allah swt yang menentukan nasib hambaNya ini mau dibawa kemana. Biarlah Ia yang menyampaikan kepada panitia IM jalan terbaik untuk saya, entah itu saya lolos jadi PM VI dan mengikuti tes tahap akhir medical check up atau nggak. I just pray the best, karena Allah swt tahu mana yang terbaik untuk saya.

Kini, 20 Januari 2013, saya harus menunggu masih lama lagi sebuah pengumuman melalui email di antara bulan Februari-Maret mendatang. Kata panitia IM, bagi peserta yang lulus akan diberitahukan via email antara kedua bulan tersebut. Saya pun merenung, akankah saya mendapatkan email yang memberitahukan saya lulus? Atau malah rejection letter untuk kesekian kalinya?

Tiba-tiba, saya jadi teringat dengan sms balasan dari papa sore itu, dimana saya bilang kalo saya sudah menyelesaikan seleksi dengan baik, saya juga mengirimkan sms itu kepada mama saya. Namun isi sms dari papa bikin saya lega, sebuah doa yang saya pikir papa bahkan belum merelakan saya ikut seleksi DA IM ini: “Semoga nanti hasilnyo bagus dan Bella lulus yo.” Singkat, padat, dan jelas.

Ahh semoga saja ya Allah :’)

Pose dulu hehe

Pose dulu hehe