Tengah malam itu saya berkali-kali menatap Ka’bah dengan tanpa memikirkan apapun. Saya hanya mengingat kebesaran Allah Subhanahu Wataala yang mampu membawa saya menuju tanah haram itu. Betapa Ia baik memberikan kesempatan bagi saya yang masih banyak dosa ini diterima dengan layak disana. Betapa perjuangan untuk meluluhkan hati orangtua, terutama Mama, untuk merelakan anak perempuannya lagi berangkat ke luar negeri tanpa mahram. Betapa tidak pelak saya bersyukur atas semuanya.
Tulisan pertama ini hanya mengupas segelintir kejadian sebelum keberangkatan. Teman-teman, ini bukan untuk pamer, riya, sombong, atau apalah yang mungkin sempat terlintas di benak kalian. Tulisan ini tidak lain hanya ingin berbagi kepada teman-teman yang mungkin membutuhkan informasi sebelum berangkat, atau juga ingin sekedar membaca tulisan saya yang sudah lama tidak menghiasi blog ini. Sekiranya ada manfaat yang bisa diambil, saya akan bersyukur sekali, karena tujuan hidup saya ya itu, menjadi manusia yang bermanfaat bagi banyak orang. Saya mohon maaf jika dalam penyampaian ini ada yang kurang berkenan, karena sejatinya pun saya banyak kekurangan. InsyaAllah tulisan blog kedepannya akan dibagikan per tahap tentang perjalanan yang saya rasakan bulan lalu.
Saya Dipanggil, Segera!
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umroh karena Allah…” (QS. Al-baqarah: 196)
Sebenarnya ajakan untuk berumroh sudah terlontar dari orangtua saya sejak November 2014. Kala itu Mama dan Papa akan berangkat umroh pada Desember 2014. Hanya saja saat itu saya merasa harus banyak memperbaiki diri dan berkeinginan untuk berangkat kesana dengan uang sendiri (saat itu uang saya belum cukup dan akan banyak menggunakan uang orangtua daripada uang saya sendiri). Saya bilang ke Mama bahwa saya akan berangkat jika waktunya telah tepat dan murni menggunakan uang saya sendiri. Dalam hati saya berpikir, kapankah waktu yang tepat itu?
2017. Ya panggilan itu hadir di awal 2017. Saya merasa saya harus kesana untuk mengadukan semuanya, untuk bercerita kepadaNya, untuk meminta pada Sang Pencipta jagad raya ini, untuk bermuhasabah di hadapan Ka’bah langsung, dan untuk-untuk lainnya. Hanya saja saat itu kendalanya adalah izin belum didapatkan dari orangtua, terutama Mama. Beliau khawatir saya ke tanah yang nggak biasa itu sendirian tanpa mahram, sedangkan orangtua juga sudah umroh dan haji, jadi belum dulu untuk berangkat kesana. Saya paham, saya mafhum, saya nurut.
Kemudian pertengahan menuju akhir 2017 saya ‘merengek’ lagi ke Mama. Kali ini khusus ke Mama, karena Papa sejatinya telah merelakan saya berangkat sendiri. Saya bilang ke mama bahwa keberangkatan ini nggak sama seperti saya ke Amerika Serikat dulu. Ini bukan untuk jalan-jalan, tapi untuk beribadah. Saya ingin Mama merestui harapan saya. Namun, restu itu belum juga didapatkan.
Hingga saya legowo dan nggak terus-terusan meminta permohonan ke Mama, saya pun berusaha untuk “Ya sudahlah.” Dalam hati mikir, kok ya nggak boleh, kan disana bakal dengan bapak ibu lainnya juga. Apa Mama takut anaknya ini diculik orang Arab karena terlalu hobi jalan-jalan sendirian, apa mungkin Mama khawatir kalo saya bakal hilang disana, dan kebingungan lainnya yang saya simpan sendiri. Di sisi lain, keberangkatan saya semakin kuat karena niat dan uang tabungan yang telah mencukupi (uangnya terkumpul dari tabungan bertahun-tahun dengan Mama dan disokong uang beasiswa S2). Kedua hal ini sudah di tangan, namun Mama masih diam nggak bergeming.
Pun 2018 berganti, menuju awal Februari. Di bulan itu saya mengalami apa yang orang bilang saat di SPBU: “Mulai dari nol ya.” Saya merasa saya harus mulai dari nol. Saya merasa saya harus memohon ampun atas segala keburukan, kekhilafan, dosa, dan kejelekan yang pernah ada pada diri saya, yang mungkin secara sengaja atau nggak sengaja saya lakukan, baik itu kepada diri sendiri atau orang lain. Saya meyakini pula Allah Subhanahu Wataala insyaAllah akan mengampuni semua itu kepada saya. Saya juga berharap rezeki dariNya untuk saya akan diberikan pada tahun ini. Rezeki yang saya rasa hidup saya belum bermakna, saya belum membahagiakan orangtua, dan saya harus sukses bersama orang yang saya yakini akan membimbing saya menuju surga jannah. Terlebih lagi sebuah kejadian membuat saya akhirnya terus berpikir bahwa saya harus ke Mekkah. Yang saya yakini adalah Allah Subhanahu Wataala adalah Sang Pemberi Keputusan Terbaik. Apapun keputusanNya, saya siap. Maka bermodal kedua hal itulah, akhirnya Mama memberikan izin kepada saya. Dan pada tanggal 9 Februari 2018, saya mantap melangkahkan kaki ke kantor bimbingan perjalanan haji dan umroh, Chairul Umam dengan Papa saya.
Teman, perjuangan ini belum selesai, tidak hanya mendaftar dan menyerahkan uang 1 bulan sebelum keberangkatan saja, namun juga selama 1 bulan itu saya dituntut harus bisa mengatur waktu dengan baik. Membaginya dengan seefisien mungkin, termasuk harus meluangkan waktu dari Jum’at hingga Minggu untuk mengikuti manasik umroh. Manasik umroh di Chairul Umam dilaksanakan selama 3 kali dalam 1 minggu. Pertama hari Jum’at di kantor Chairul Umam di Beringin, disana hadir ustadz yang memberikan tausiyah tentang persiapan keberangkatan haji dan umroh. Hari kedua pada hari Sabtu bertempat di Masjid Sukarejo di TheHok, dengan tema yang sama di hari pertama. Hari ketiga adalah hari Minggu di Asrama Haji Kotabaru, dimana saya melaksanakan praktek dari teori yang sudah didapatkan selama 2 hari sebelumnya.
Selama 1 bulan itulah saya bertemu dengan bapak dan ibu, ya sebuah perkenalan yang nggak biasa. Karena selama ini biasanya kenal dengan anak muda, nah sekarang harus bisa beradaptasi dengan orang yang lebih dewasa daripada saya. Bermodalkan salam, senyum, sapa, dan bertanya “Ibu berangkat haji atau umroh?”, maka perbincangan terus mengalir. Kerap saya sedih saat ditanya berangkat dengan siapa, karena memang hanya saya sendiri yang berangkat. Dan serentetan kalimat tanya berikutnya yang saya jawab dengan senyum.
Bukan hanya perkenalan dengan sesama jamaah umroh yang harus saya lakukan, saya juga harus menyiapkan fisik yang prima dan perlengkapan yang nggak boleh tinggal sepeserpun dari Jambi. Saya jadi makin intens olahraga setiap pagi atau sore dengan cara jogging di sekitar area RSJ dekat komplek rumah saya. Saya mendorong diri untuk berlari (meski dengan terengah-engah) dalam waktu dan jarak tertentu agar tubuh saya terbiasa untuk berjalan jauh. Saya juga berusaha untuk mengatur pola makan yang nggak hanya sekedar tekwan, bakso, soto, dan teman-temannya, namun juga mengikuti anjuran dokter untuk makan buah dan istirahat lebih awal (nggak bergadang). Di sisi lain saya juga mendapatkan selembar kertas tentang barang-barang apa saja yang harus saya bawa, saya juga membeli perlengkapan yang sekiranya Mama nggak ada (karena sebagian besar barang-barang umroh saya pakai dari milik Mama). Saya membuat daftar barang yang akan dibeli dan memastikan sudah ada di koper 1 minggu sebelum berangkat. Tambahan lagi, mendekati minggu sebelum berangkat saya harus sementara off mengajar dan menyelesaikan tugas kuliah. Lumayan hectic sih, karena meski saya sudah off mengajar, tetap saja tugas kuliah dituntut harus selesai sebelum saya berangkat, agar saya tenang beribadah di Mekkah. Dan satu hal lagi, setiap malam nggak henti-hentinya saya diingatkan dari A sampai Z mengenai apa yang harus dan tidak harus saya lakukan di Mekkah dan Madinah oleh orangtua saya, pun di sisi lain orang-orang terdekat juga mendukung dan memberikan wejangan. Alhamdulillah bekal ini lumayan membuat saya siap berangkat.
Lantas hari itu tiba. Hari dimana saya harus berangkat sendiri, yang seumur hidup saya bahkan nggak pernah menangis sesenggukan seperti kemarin. Hari dimana saya telah menyelesaikan perlengkapan yang akan saya bawa, hari dimana saya harus melaksanakan sholat safar pertama kali di hidup saya, hari dimana hati saya terombang-ambing dan bertanya: “Apakah saya diterima dengan baik di tanah haram?”
Hingga pagi di tanggal 14 Maret 2018, orangtua dan kedua adik mengantar saya ke bandara. Memakai jilbab Chairul Umam berwarna kuning, baju gamis putih dilapisi baju batik Chairul Umam, dan segenap doa dan restu dari mereka, hingga air mata yang keluar saat saya harus masuk ruang pemeriksaan bandara Sultan Thaha Jambi sambil memegang tisu untuk menyeka air mata, dan berkata kepada Mama, “Ma, doain Ayuk disano yo.”
Hanya itu, hanya itu yang saya ucapkan kepada Mama, sembari mencium tangan Mama dan Papa, serta kedua adik laki-laki. Langkah kaki saya
mantap. Ya, restu itu telah didapatkan. Doa-doa telah dikabulkan untuk tahap pertama keberangkatan ini. Alhamdulillah, panggilan bernama umroh itu akhirnya tiba. (bersambung)