A Journey to Catch a Dream

Heart beating
Aku asyik memilih kain untuk dibuat jilbab di sebuah toko testil di kotaku, Jambi. Jilbab satin yang kupilih tidaklah mudah seperti yang kukira. Perlu waktu beberapa lama untuk mencari warna navy, pink, dan ungu. Seketika aku turun ke lantai bawah, menyegerakan pembayaran di kasir. Sesaat setelah sampai di kasir dan membayar sejumlah uang, aku membuka tablet yang saat itu masih baik kondisinya. Sebuah pesan dari seorang kakak perempuan, mbak Aurel, Public Affairs Assistant masuk melalui media social; Whats App.
“Bellaaa, selamaattt! Kamu lolos untuk ikut program IVLP ke Amerika! Aku barusan dapat kabar dari atasanku.”
Heart beating. Dalam kondisi berkecamuk, bayangan perjuangan masa lalu itu menari-nari di benakku. Jatuh bangun mencapai cita-cita yang diimpikan sejak lama itu membuat air mata meleleh selama di perjalanan menuju ke rumah.

You May Say I’m a Dreamer, but I’m Not the Only One
Tulisan tentang ‘dream’, entah sudah berapa kali aku tulis. Entah sudah berapa kali aku mencari peluang ini. Bermula dengan kalimat bahasa Inggris di atas, peluang yang tak kunjung tiba tadi tidak menyurutkan langkahku untuk terus berusaha. Karena aku yakin, bukan aku sendiri yang bermimpi. Ada banyak orang yang memimpikan hal yang sama, meski memang tujuannya berbeda.
Sejak awal kuliah, bahkan hingga selesai mengajar di Pulau Rote, satu tahun lalu, mimpi itu masih kuletakkan di depan kening ini. Aku sempat berbincang dengan sahabat yang bahkan tetap meyakini diriku untuk mendaftar beasiswa, meski pada saat itu aku sedang tidak ingin mengurus beasiswa. Kadar keinginan itu sedikit berkurang, tak semeluap dulu, namun aku yakin suatu saat akan tiba untukku. It will be my turn someday.
Hingga akhirnya pertemuan tak sengaja dirancang oleh Allah Swt. Pertengahan Desember tahun lalu aku dihubungi oleh kak Cea, pendiri KOalisi Pemuda Hijau Indonesia (KOPHI) yang berpusat di Jakarta. Saat itu kak Cea bertanya apakah ada komunitas yang dapat diajak bekerja sama untuk mengorganisir kegiatan komunitasnya yang mendapat dana hibah dari US Embassy Jakarta. Aku pun menawarkan Sahabat Ilmu Jambi (SIJ), komunitas yang memang dari dulu aku bersama teman-teman menggiatinya.
Kak Cea setuju, dan aku menghubungkannya dengan Yani dan Rieo. Mereka pun berhubungan langsung dengan kak Cea. Aku sama sekali tak ikut campur karena saat itu sudah bekerja. Waktu untuk berkegiatan di SIJ sedikit berkurang, di sisi lain pegiat lain yang lebih muda dan memiliki waktu luang cukup banyak. Jadi aku sama sekali tak ikut campur untuk urusan Social Media for Social Good yang sudah dirancang KOPHI dan US Embassy Jakarta.
Well, waktu pelaksanaan akhirnya tiba. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada pertengahan Januari. Jambi adalah kota pertama roadshow tersebut. Dan kak Cea akhirnya ke Jambi bersama teman-temannya dari KOPHI dan US Embassy Jakarta. Aku pun bertemu dengan kak Cea, dan ini pertemuan kedua kalinya dengan beliau. Aku bertemu dengan kak Cea pada hari kedua roadshow.
Pada hari itu, aku juga berkenalan dengan mbak Aurel, perempuan yang mengirimkanku pesan melalui Whats App tadi. Obrolan yang tidak begitu panjang itu berisikan pertanyaanku tentang tugas beliau di US Embassy Jakarta, kenapa memilih kota Jambi sebagai salah satu destinasi roadshow, apakah sudah pernah ke Jambi, dan apakah ada peluang untuk ikut kegiatan dari US Embassy Jakarta. Saat itu juga mbak Aurel bertanya tentang aktivitasku yang bekerja di SMP SMA SMK Islam Attaufiq, pengajar muda Indonesia Mengajar pada tahun lalu, serta inisiatif pendidikan melalui Sahabat Ilmu Jambi.
Aku menerka pembicaraan tersebut tak lebih dari 30 menit, karena saat itu aku tahu bahwa mbak Aurel akan pulang ke Jakarta pada sore hari, sedangkan aku tiba di lokasi roadshow pukul 14.00. Tak pelak pembicaraan pun tidak banyak, mbak Aurel memberikanku kartu namanya sambil berjanji akan memberitahuku informasi kegiatan di luar negeri suatu hari. Aku tak berharap banyak pembicaraan singkat tersebut akan berdampak manis beberapa bulan kedepan.
Selang dua bulan kemudian, mbak Aurel menghubungiku kembali. Ia mengirimkanku pesan Whats App yang memintaku untuk mengirim curriculum vitae secepat mungkin. Aku yang tidak mengerti kenapa harus kirim CV ini sempat menanyakan hal tersebut kepada beliau. Dan ia menjawab, “Untuk direkomendasikan ikut program ke Amerika.”
Membaca pesan tersebut membuat aku tak ingin terlalu banyak berharap. Aku belajar saat jadi pengajar muda dulu, kami diminta untuk low expectation terhadap tempat belajar kami selama satu tahun. Kini meski sudah berganti status menjadi alumni pengajar muda, dua kata tadi tetap aku ikhtiarkan saat memiliki keinginan baik. Esok harinya, email terkirim. CV singkat sebanyak dua halaman itu aku kirimkan, aku mempersingkat informasi dan menulis lebih detail.
Dua bulan kabar dari mbak Aurel belum menunjukkan hasil yang positif. Aku sedikit pesimis apa bisa lolos atau tidak. Diantara harapan yang muncul itu, aku pernah bertanya soal program yang nantinya lolos apakah dibiayai atau tidak, apa nama programnya, dan lain-lain. Tapi mbak Aurel tidak terlalu menjawab detail. Aku pikir mbak Aurel tidak memberitahu secara detail karena belum ada keputusan dari atasannya.
Akhirnya pada akhir Mei lalu, tepatnya 27 Mei 2015, pesan WA pada paragrap pertama di atas hadir di tabletku. Kepingan memori perjuangan itu menggelayut di benakku. Aku yang antara senang dan sedih membaca pesan itu, membawa motor dengan cukup pelan. Aku ingat perjuangan yang kulakukan saat masih menjadi mahasiswa. Aku ingat harus keliling lapangan KONI. Aku ingat harus berkali-kali menjawab pertanyaan dan mengirimkan email. Aku ingat bahwa lebih dari 10x aku mencoba berusaha untuk ke luar negeri.
Yang kucemaskan adalah, keberangkatanku bertepatan dengan keberangkatan orangtuaku ke Mekkah. Lantas bagaimana dengan adik bungsuku, Sadi? Apa mungkin aku menolak kesempatan yang sudah kutunggu bertahun lamanya? Apakah mama papa mengizinkanku? Apa aku mendapat izin dari sekolah tempatku bekerja?

A Journey of Thousand Miles Begin With a Single Step
Beribu mil perjalanan baru akan dimulai dalam beberapa hari lagi. Sejujurnya beribu mil perjalanan ini tidak hanya sekedar jarak, namun pembelajaran memahami diri dan Islam yang lebih baik. Ya, perjalanan yang panjang untuk meraih mimpi ini juga dimulai dari langkah pertama, yang masih gontai dan tak tentu arah. Finally, a nice journey come to me.
Keikutsertaan dalam program International Visitor Leadership Program ini merupakan single country program dari pemerintah Amerika Serikat, melalui Department of Education State, dan diteruskan melalui US Embassy di masing-masing negara. Insya Allah pembelajaran baru akan dilalui selama 3 minggu di Amerika Serikat bersama 12 peserta lainnya, yang juga pengajar muslim di sekolah Islam, pesantren, perguruan tinggi Islam, dan perwakilan Kementrian Agama. Insya Allah saya berangkat ke Jakarta dari Jambi pada 3 September siang, dan pada 4 September akan ada briefing di kantor US Embassy di Budi Kemuliaan, selanjutnya akan mempersiapkan keberangkatan pada malam hari. Sedangkan keberangkatan dari Jakarta insya Allah akan dimulai tengah malam menuju tanggal 5 September.
Lagi-lagi syukur tak terhingga dipanjatkan kepada Sang Maha Pencipta. Saya bersyukur perjalanan ini ditemani oleh banyak pengajar muslim, yang artinya tak akan ragu untuk memilih makanan halal, menentukan arah kiblat dan waktu sholat, serta memperluas pertemanan (meski saya peserta termuda pada program ini). Muslim Educators, begitu program ini dinamai, membuat saya harumempersiapkan banyak referensi tentang Islam. Tak bisa dipungkiri, aksi segelintir orang pada 11 September 2001 dulu mengakibatkan kepercayaan negara barat terhadap Islam sedikit turun. Saya ingin keberangkatan ke Amerika ini menjadi salah satu cara menjadi agen muslim yang baik, meski saya menyadari saya sendiri belum baik sepenuhnya.
Rencana Allah Swt indah sekali. Bahkan di saat saya sudah hopeless dan membiarkan keinginan untuk ke luar negeri berhenti sementara waktu, ternyata Ia membukakan jalan dengan cara seperti ini. Sang Maha Adil tampaknya mengerti bahwa di saat kita ikhlas, ia akan menggantinya dengan yang lebih baik. :”)

Pulang Kampung

Siapa yang nggak suka pulang kampung?

Saat dimana kita bertemu kembali dengan orang yang kita cintai.

Saat dimana kita bertemu setelah sekian lama kita merindukan keluarga nan jauh disana?

Saat hanya suara saja yang terdengar, tanpa ada wajah yang bertatap muka.

Kini pulang kampung begitu saya rindukan.

Hampir satu tahun lebih tidak pulang, dan rasanya sudah tidak sabar!

Akhirnya siang ini saya pulang kampung.

Selalu rindu dengan tanah kelahiran, meski bukan tempat dimana saya dibesarkan.

Namun, pulang kampung menjadi agenda yang selalu dirindukan.

See you when I see you this night, Palembang! 🙂

Menetralisir Emosi

Saya kadang heran kenapa orang terlalu sibuk membicarakan kehidupan orang lain. Yang sejujurnya itu bukan urusan mereka.

Saya kadang kesal melihat orang mengucapkan kata-kata bahagia seolah mereka tahu segalanya. Sotoy kah itu namanya?

Kadang juga menyebalkan sekali saat apa yang kita beritahu kepada orang lain, dia malah menganggap kita ‘nothing’.

Kepo. Apalagi itu. Sibuk nanya sana-sini, bahkan sudah nggak ditanggepin pun juga tetap nanya. Kepekaannya udah putus kali ya?

Duh maafkeun saya yang agak labil. Masih kurang menetralisir emosi di umur seperempat abad ini. Atau ini sindrom lagi dapet ya? Dan puncaknya dua hari belakangan? Ah, entahlah. -______-

Tentang Amanah Kerja

Alhamdulillah, hari ini sudah masuk kerja. Setelah satu minggu lebih libur, akhirnya hari ini aktif bekerja lagi. Well, di saat masih banyak pemuda yang belum mendapatkan pekerjaan, saya harusnya bersyukur karena mendapatkan pekerjaan tetap.

Pulang dari Rote, NTT, tahun lalu membuat saya galau akan bekerja dimana. Karena saya tahu saya pasti akan mengulang kembali pencarian kerja di tempat saya tinggal, Jambi. Meski pada awalnya saya nggak akan ragu soal rezeki dari Allah Swt, meski juga saya tahu peluang sebagai guru Bahasa Inggris insya Allah banyak, namun saya ketar-ketir juga karena sekolah mana yang akan menerima saya ketika tahun ajaran baru dimulai?

Akhirnya setelah 3 bulan bekerja sebagai guru privat Bahasa Inggris, saya pun mendapatkan rezeki di SMP-SMA-SMK Islam Attaufiq Jambi, tepatnya di Talang Banjar. Saya diamanahkan sebagai Executive Teacher, dimana saya banyak mengganti jam pelajaran guru jika guru tidak hadir. Mengajar apa? Life skill dan learning skill, serta pembelajaran Bahasa Inggris yang berfokus pada kemampuan berbicara. Saya mulai bekerja sejak 3 November 2014 lalu.

Kini tahun ajaran baru dimulai. Amanah saya bertambah, yakni sebagai program manager di perpustakaan sekolah. Saya sedikit bingung, kenapa saya yang dipilih, padahal saya masih 7 bulan di Attaufiq. Apa mungkin karena saya suka baca buku jadi saya diamanahkan disana? Ah semoga saja saya bisa memaksimalkan diri di amanah yang baru ini. Saya berharap semoga bisa memberikan yang terbaik kedepannya. Ya setidaknya hingga satu tahun ajaran 2015/2016 berakhir pada Juni 2016 mendatang (karena saya belum tahu apa akan melanjutkan kontrak setelah itu atau tidak).

Amanah kerja bagi saya bukan pekerjaan sembarangan. Tapi saya selalu meniatkan kalau kerja pasti seperti main, hehe.. Karena saya selalu menyukai apa yang saya kerjakan soalnya 😀

Kerja itu main, setuju? 😀

It’s Long Journey

Perjalanan panjang telah dilewati beberapa tahun terakhir. Ia kadang membuat saya up dan down semaunya. Perjalanan itu pula membuat diri ini belajar bahwa tak semua yang kita inginkan atau harapkan akan terwujud.

Saya belajar dari sebuah perjalanan tentang makna hidup,baik itu positif ataupun negatif. Saya mengerti bahwa setiap orang berhak memulai kehidupan baru setelah luka dan tak henti berharap. Saya jadi sadar bahwa Allah Swt maha baik sekalllliiii,ia menyadarkan saya agar berubah sebelum saya menyesal.

Tak pernah saya menyadari bahwa perjalanan yang saya tunggu-tunggu diijabah oleh Allah Swt. Saat saya hopeless dan mengikhlaskan semuanya,Allah Swt memberikan perjalanan baru. Demikianlah jalan dari Allah Swt,tak diduga dan tak dapat dipahami.

Perjalanan panjang itu akan dilalui dalam beberapa bulan kedepan. Ini mungkin jawaban atas segala doa-doa yang tak kunjung henti dan positif thinking atas keputusanNya. Ini adalah keajaiban bagi saya yang tak pernah saya prediksi sebelumnya. Dan sekali lagi,Allah Swt memberi di saat yang tepat.

Selamat melalui perjalanan panjang. Semoga saya tak pernah lelah untuk belajar. Semoga selalu berpijar menyinari semesta dengan kebaikan dan ketulusan.

Untukmu,masa depanku.

Sedekah, Akankah Menjadi Gaya Hidup?

“Tidak akan pernah berkurang harta yang disedekahkan kecuali ia bertambah…bertambah…bertambah.” HR. Al Tirmidzi

Sedekah ibarat investasi. Ya, menginvestasikan amalan diri untuk bekal di akhirat, sekaligus investasi di dunia, yang akan mendatangkan hasilnya kembali kepada diri berkali lipat dalam hitungan hari. Sedekah membuat siapapun menjadi kaya, karena investasi amalan itu sendiri. Seperti hadits dari HR. Al Tirmidzi tadi, sedekah tidak akan membuat kita miskin, justru akan menambah kepemilikan kita. Nggak percaya? Mungkin kisah di bawah ini dapat mencerahkan kita.

Alkisah ada seorang teman yang setiap bulannya menginvestasikan sebagian penghasilannya untuk kaum dhuafa di negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini. Ia sadar betul bahwa ia tidak meminta imbalan apapun terkait dengan sedekahnya itu. Ia terus bersedekah hingga beberapa tahun kemudian. Suatu hari ia mengikuti pertukaran pemuda ke luar negeri, dan di saat itu Allah Swt memberikan balasan atas apa yang ia lakukan selama ini. Ia mendapatkan kesempatan tersebut setelah gagal beberapa kali.

Di Jambi, ajakan untuk bersedekah sudah menjadi gaya hidup. Bahkan ada komunitasnya lho! SEDekah itU indaH (SEDUH) salah satunya. Komunitas ini digagas oleh anak muda Jambi, yang juga memiliki kepedulian untuk mengajak lebih banyak orang Jambi untuk bersedekah. Pegiatnya telah beberapa kali mendonasikan sedekah yang diperoleh dari relawan untuk kaum dhuafa. Komunitas SEDUH ini layaknya pemantik api. Ketika ia dinyalakan, pancaran api mengenai disekelilingnya dan memberikan cahaya inspirasi untuk bergerak bersama-sama.

Andai sedekah menjadi gaya hidup kita, nggak bisa dipungkiri bahwa masalah kemiskinan, kelaparan, dan ketidakmampuan kaum dhuafa dapat teratasi. Andai sedekah menjadi gaya hidup sehari-hari, nggak akan disangka-sangka rezeki kita akan dilipatgandakan oleh Sang Pencipta. Andai saja semua orang berpikir bahwa dengan sedekah, saya bisa menyelamatkan hajat hidup orang banyak. Andai saja sedekah dari nilai terkecil kita lakukan dengan konsisten. Andai saja bisa dimulai dari diri sendiri. Pasti asyik!

Pernah nonton film Laskar Pelangi kan? Dalam film tersebut, ada seorang tokoh bernama Pak Harfan, guru Lintang dan teman-temannya di sekolah. Pada satu adegan, beliau berkata seperti ini kepada siswa-siswanya: “Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.”

Tentu banyak sekali makna dari kalimat tersebut. Saling membantu antar sesama, tugas manusia di bumi sebagai khalifahNya, lebih baik memberi daripada menerima, dan makna lain yang berhubungan dengan kata mutiara itu. Harapannya slogan tadi masuk ke relung hati kita, terhubungkan ke alam bawah sadar, dan terlaksana atas dasar ikhlas dan tulus berbagi.

Prinsipnya, mulailah bersedekah (meski dengan nominal kecil), mulailah dari diri kita (jangan menunggu orang lain), dan mulailah saat ini juga (jangan menunda waktu). Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah ia yang bermanfaat bagi orang lain?

Tak Kan Berpaling DariMu

Kala malam bersihkan wajahnya dari bintang-bintang
Dan mulai turun setetes air langit
Dari tubuhnya…

Tanpa sadar nikmat dan alam karena kuasaMu
Yang tak kan habis sampai di akhir waktu
Perjalanan ini…

Terima kasihku, padaMu Tuhanku
Tak mungkin dapat terlukis, oleh kata-kata
Hanya diriMu yang tahu
Besar rasa cintaku padaMu

Oh Tuhan, anugerahMu
Tak pernah berhenti
Selalu datang kepadaku
Tuhan Semesta Alam

Dan satu janjiku…
Tak kan berpaling dariMu…

Terima kasihku ya Allah…
AnugerahMu… AnugerahMu…

Ku kan sisihkan semua aral melintang dihadapanku
Dan buat terang seluruh jalan hidupku melangkah…

A song by Rossa “Tak Kan Berpaling DariMu”, which inspired my life :”)

Sekolah Untuk Apa?

Sekolah untuk apa?

Kadang saya berpikir, siswa2 sekolah, datang pagi & pulang bahkan siang atau sore, nggak dapat ilmu di sekolah, hanya sekedar hadir. Guru menjelaskan ini itu di depan kelas, tapi penanaman ilmu & sikap tadi hanya sepintas lalu bagi mereka. Lantas, beberapa bulan kemudian ujian. Itupun saat ujian kepercayaan diri kurang. Akhirnya bertanya kpd teman saat ujian & melihat buku yang diselipkan di bawah meja.

Kemudian rapor dibagikan, nilai standar dan naik kelas. Ini belum ditambah pengaruh lingkungan yg tidak baik, kurangnya bimbingan psikologis dari orangtua, & lemahnya sistem kedisiplinan di sekolah. Lalu yg didapat dari sekolah apa? Menghabiskan uang orangtua?

Sungguh, saya rindu dengan manusia pembelajar di Indonesia ini. Bukan yang hanya pergi ke sekolah dan pulang tanpa hasil, tapi ‘pembelajaran’ yg bagaimana yg kamu pelajari hari ini?

Merefleksikan 25 Tahun

*Sebuah refleksi quarter of life syndrome

“Bel, ikut PPAN (Pertukaran Pemuda Antar Negara) lagi gak tahun ini?” ujar seorang teman kepada saya beberapa waktu lalu.
Saya jawab, “Hmm, masih bingung. Banyak yang dipertimbangkan.”

Beberapa minggu setelah itu, kembali bertanya lagi, dengan orang yang berbeda. Dan saya jawab lebih panjang, lebih rinci, layaknya orang yang mau wawancara beasiswa, ada alasan yang panjang sekali disana.
“Kayaknyo idak lah, banyak nian yang dipertimbangkan. Orangtua minta aku untuk mikirin masa depan. You know lah the term of ‘masa depan’. Beda halnya dengan tahun-tahun kemarin, aku kalo ikut kegiatan-kegiatan dapat izin mudah, leluasa, nah sekarang keknyo diminta mengabdikan diri dulu ke orangtua, karena aku kayaknya banyak kemano-mano dulu tu. Yo mudah-mudahan be nanti aku biso dapat kesempatan lain ke luar negeri, meski bukan dari jalur itu. Dan semoga saja dapat izin belajar bareng dengan pendamping aku suatu hari nanti, entah di luar negeri atau mungkin tetap di Indonesia.”


Masa-masa jadi mahasiswa adalah masa-masa dimana saya banyak belajar dari orang-orang keren di Jambi dan Indonesia pada umumnya. Saat itu dimana jiwa muda pengen banget ini itu. Pengen melakukan ini, pengen buat ini, pengen kesini, dan pengen-pengen lainnya. Menjadi mahasiswa membuat saya juga mengembangkan kapasitas diri.

Saat jadi mahasiswa banyak sekali yang saya lakukan. Alhamdulillah, nggak hanya kuliah pulang – kuliah pulang saja. Mulai dari kegiatan organisasi, bekerja part time, diskusi dan sharing, forum kepemudaan, traveling, pelatihan, kepanitiaan kegiatan, dan lomba. Tema-tema yang saya ikuti tidak lepas dari passion dan ketertarikan saya terhadap pendidikan, lingkungan, jurnalistik, kepemudaan, kepemimpinan, kerelawanan sosial, serta wisata dan budaya.

Saya ingat betul pertama kali saya merasa, “I want to change my life.” Saya ingin melakukan sesuatu yang tidak saya lakukan sebelumnya saat masih jadi siswa. Saya memutuskan untuk belajar menulis melalui organisasi yang saya pilih, Majalah Kampus Trotoar. Bergabung disana membuat saya yang awalnya minder dan tidak memiliki kepercayaan diri menjadi lebih percaya diri dan tidak minderan. Turning back saya bisa dibilang berawal dari sana. Karena sejak dari Trotoar, saya bisa mengembangkan kapasitas diri saya yang justru timbul setelahnya.

Well, turning back saya itulah yang saya manfaatkan untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri saya. Pada akhirnya saya benar-benar merasa “enjoying my life as university student”. Kesempatan terbuka bagi saya, pengalaman terbaik dari orang-orang terbaik. Dari mereka saya belajar untuk nggak hanya ‘study’, tapi lebih kepada ‘learn.’ Beruntungnya saya diberikan keinginan untuk tidak berpuas diri terhadap ilmu yang didapatkan, maka saya pun banyak bertanya, banyak belajar, banyak melihat, banyak mendengarkan, dan banyak berdiskusi.

Saya menyadari bahwa kehidupan lebih baik ini tidak serta merta datang tanpa restu dari Allah Swt dan dukungan orangtua saya. Mungkin ihwal pertama saya keluar dari Jambi tanpa didampingi oleh orangtua juga jadi turning back-nya saya. Waktu itu saya harus ke Lampung untuk mengikuti Simposium Generasi Mahasiswa Pers Nasional, mewakili Majalah Kampus Trotoar dari Universitas Jambi. Padahal saya di mata orangtua saat itu adalah anak perempuan yang kalau pergi kemana-mana agak rawan karena suka pusing-pusing, hehe.. Di sisi lain, orangtua takut anaknya ini belum mandiri dan hilang di rantauan orang. Namun berkat usaha saya ‘merayu’ orangtua, akhirnya diperbolehkanlah saya keluar Jambi. Disini tampaknya kepercayaan orangtua mulai timbul untuk saya.

Dalam kurun waktu 2008 – 2012 hampir 50 kegiatan skala kota, provinsi, dan nasional yang saya ikuti. Dalam kurun waktu itu pula, saya selalu merasa seperti gelas kosong yang airnya belum penuh. Pengen diisi terus, terus, dan terus. Bukan berarti saya sombong, tapi sekali lagi saya bilang masa mahasiswa adalah masa dimana kamu dapat leluasa mengembangkan kapasitas diri yang berguna bagi masa depan.

Hanya saja kegiatan-kegiatan yang saya ikuti tersebut belum ada skala internasional. Maka, sejak itu pulalah saya selalu mengusahakan untuk pergi ke luar negeri, belum pasti tujuan negara mana, yang jelas daftar saja dulu, begitu prinsip saya. Jika dihitung, sepertinya sudah lebih dari 10x saya mendaftar kegiatan internasional. Saya mengirimkan aplikasi dan saya mengikuti seleksi secara face to face. Hasilnya? Belum berhasil 😀 Namun saya tidak menyerah.

Kalo kata Walt Disney, “If you can dream it, you can do it.”
Saya percaya bahwa kekuatan cita-cita dapat mengakumulasikan cita-cita itu sendiri menjadi nyata. Meski memang pada akhirnya saya belum diizinkan oleh Allah Swt sampai sekarang ke luar negeri, tapi saya percaya tidak ada mimpi yang kadaluarsa. Akhirnya di tengah-tengah kegalauan nggak bisa ke luar negeri, saya malah diberikan izin oleh Allah Swt untuk menikmati alam Indonesia dengan berbaur di masyarakatnya satu tahun lalu di Pulau Rote, pulau paling selatan yang kalau dilihat di peta Indonesia, cuma titik doang.
Satu tahun disana membuat kehidupan saya lebih banyak berubah. Belajar dari orang Indonesia membuat saya sedikit hampir melupakan impian saya tadi. Bagi saya, mungkin ini rencanaNya yang pengen saya tetap saja di Indonesia, jangan dulu ke negara luar kalau negara sendiri saja tidak tahu 100%. Mungkin ini juga teguran bagi saya, bahkan bisa jadi ini pembelajaran bagi saya. Jadi kalau mau ke luar negeri ya nggak shock culture banget jauh dari orangtua dan berada di kalangan minoritas.

Hampir satu tahun kembali ke Jambi, dan selama itu pula saya menyadari rencana kita apalah daya dibanding rencana Allah Swt. Saat masih di Rote, saya bilang dengan teman-teman sepenempatan bahwa saya ingin mencoba lagi PPAN dan mungkin mengambil beasiswa S2. Nyatanya sekembalinya ke Jambi, rencana saya sedikit berubah dari sudut pandangan orangtua yang menginginkan anaknya untuk tetap di Jambi. Saya menyadari bahwa kerinduan orangtua terhadap saya begitu besar. Bahwa nanti jika satu atau dua tahun lagi saya menikah dan lantas jauh dari orangtua, penjagaan mereka untuk saya tidak akan sebesar sekarang. Saya juga mengerti bahwa kalau saya lulus PPAN atau S2 ke luar Jambi, it means that akan dalam waktu yang lama, lebih dari 6 bulan bisa jadi. Nah, garis besarnya adalah kapan saya bisa dekat dengan orangtua kalau tidak sekarang?

Namun di sisi lain saya menyadari konsekuensi umur quarter of life ini. Banyak sekali harapan yang belum terwujud dengan umur yang semakin matang dan kerap ditanyai ‘kapan menikah?’ dan saya sendiri belum tahu jawabannya, dan saya jawab ‘masih direncanakan oleh Allah Swt.’ Hehe. Maka jika datang pikiran seperti ini, saya hanya berharap agar impian yang masih memuncak di kepala ini dapat terwujud suatu hari nanti. Harapannya pendamping hidup saya di masa depan nanti tidak melarang saya mengikuti kegiatan yang bermanfaat dan melaksanakan mimpi-mimpi saya. Bahkan mungkin bisa bersama-sama mewujudkannya justru lebih bagus bukan?
Tulisan ini juga berawal dari kegelisahan saya akan dosa-dosa saya di masa lalu, disamping juga hasil refleksi saya di umur 25 tahun pada 2 Mei lalu. Mungkin tidak banyak yang dapat diambil pelajarannya dari tulisan ini, namun saya sendiri sudah agak lega menuliskan keriwetan pikiran saya akhir-akhir ini. Allah Swt menjadi tempat saya memanjatkan doa dan harapan, terima kasih atas 25 tahun yang bermakna, semoga ia membuat saya yang banyak dosa ini jadi lebih baik. Semoga selalu ada kebaikan yang dilimpahkanNya kepada saya.

How Disappointed I Am

Entahlah, kadang saya merasa gagal ketika tidak bisa mengubah sesuatu hal, yang sudah saya lakukan berbulan-bulan.

Kadang saya berpikir apa memang orangnya yang nggak mau berubah, jadi meski sudah banyak dikasih tahu ya tetap begitu, nggak mau berubah.

Kadang saya sempat bertanya, apa orangtua di rumah tidak pernah mengajarkan budi pekerti? Apa tidak pernah diajarkan sopan santun, tata krama, empati, simpati?

Kadang saya bisa saja cuek, masa bodoh terhadap hidup anda. Terserah mau maju atau nggak. Mau lebih baik atau nggak.

Ah Tuhan, jangan buat saya menyerah. Berikan kesabaran yang lebih. :”’)